---oOo----
Pernah suatu ketika canggungku lebih menggebu dari sebuah
rindu. Rindu yang juga menggebu. Rindu yang terpendam dalam, yang menguap
menjadi jalinan-jalinan asa. Rasa rindu. Rindu yang beku, kaku lagi membatu.
Lalu sebuah senyum yang seharusnya untukku, ku relakan akibat tabiat rasa canggung itu. Perasaaan yang membunuh rindu-rinduku tanpa tahu malu!
Sebuah senyum yang melebur, bukan untukku. Sebuah senyum yang melebar, hanya untuknya entah siapa.
Lalu sebuah senyum yang seharusnya untukku, ku relakan akibat tabiat rasa canggung itu. Perasaaan yang membunuh rindu-rinduku tanpa tahu malu!
Sebuah senyum yang melebur, bukan untukku. Sebuah senyum yang melebar, hanya untuknya entah siapa.
Pernah pada suatu ketika rasa ingin tahuku akan engkau
Nawangwulan terbayar dengan kepedihan, kepedihan yang menyesakkan. Sebuah realitas
yang pantas untuk ku retas. Kemudian ku bilas ke wajahku yang muram memelas.
Pernah juga pada suatu ketika kulihat engkau dan hidup,
kulihat hidup dan engkau, kulihat berdampingan seperti sisi-sisi mata uang. Diam, aku ajukan
pertanyaan membatin, “Apakah aku sudah hidup?”. Pertanyaan itu menghantuiku,
semakin menggangguku, menawanku hingga tak tahu lagi aku mana hidup itu. “Tapi mungkin
engkau punya jawabnya”, pikirku.
Lalu pernah pada suatu ketika gerombolan awan perlahan mengkelabu, berarak tepat di atas kepalaku. Menari-nari seperti ribuan monolog kosong dan sejuta kali lebih kelam dari gelap malam. Tak ada yang dapat ku lakukan selain mengirim sebuah salam kepadamu Nawangwulan.
Atau pernah pada suatu ketika mata kita bertemu pada satu
titik. Titik itu hitam pekat berbinar, titik itu pelan-pelan menelan dengan
kelemah lembutan, titik itu seketika membius dengan ajaib, titik itu bicara
dengan sinestesia, titik itu adalah pusat cakrawala, semesta dalam ruang citra.
Titik itu mata kita. Nawangwulan.
Dan pernah pada suatu ketika, aku bernazar tentang rasa. Bagaimana
aku harus mencintanya, bagaimana aku harus menghargainya, bagaimana aku harus
menjaganya, bagaimana aku ingin mencinta & cinta itu engkau Nawangwulan.
Kemudian pernah pada suatu ketika, aku berkaca pada
bayangangku sendiri. Sebab bayanganmu tak pernah bisa ku dekati. Bayanganku mencacimaki,
mengancam untuk bunuh diri karena kerap membiarkanmu pergi, Nawangwulan.
Pernah pula pada suatu ketika, aku merupa karang-karang
teguh berdiam, meski kesinisan & keasinganmu mentertawakan aku begitu
nyata. Aku layu, kekecewaan menjadi tiang gantungan untukku kala itu. Namun lagi-lagi
aku merupa karang. Tidakkah kau ingat? karang.
Pada akhirnya pernah suatu ketika, aku terbebas dari
keterpasungan mimpi. Aku merah, aku marah berontak berdarah. Lalu ku kubur
mimpi itu dalam tanah serupa sejarah. Ku buat ia hidup, ku buat ia nyata
seperti retorika. Sebagian mereka menyebutnya dengan takdir, sebagian lagi
menyebutnya dengan sebutan-sebutan yang mereka suka. Lucu benar, karena aku
sendiri yang merasakannya. Aku merasakan kau nyata, benar-benar nyata, Nawangwulan.
*Terinspirasi dari riwayat Jaka Tarub.