The Truth Seeker Media

Rabu, 25 September 2013

KEJUTAN




Aduar berkata, terdiam.


KELAHIRAN


Perlahan mata Aduar mulai terbit, pemicunya kicau burung-burung gereja di ranting sukun. Angin malam yang cukup lama berkeliaran kini hanya mewariskan bulir-bulir embun saja. Tampak tak siap menerima terpaan binar-binar mentari.

Dan, bisa ditebak. Sang embun langsung mati. Sebagian yang lain nekat loncat ke dalam tanah hitam yang menjijikan. Terlampau takut akan kepanasan.

Gemuruh dedaunan pun kelewat berisik, hingga belalang dan kupu-kupu mendadak jumpalitan kaget dengan perpindahan malam ke pagi yang begitu cepatnya.

Pagi ini tak ubah sebelumnya. Nyaris sama dengan hari lainnya yang begitu-begitu saja.

Dan rencananya, pada senin yang silau ini Aduar hendak sekali lagi menaklukan dunia. Terlalu lama sudah dunia bertekuk-lutut di hadapannya. Meski tak jelas siapa tuan yang sesungguhnya. Dirinya? Atau justru sang dunia?

Ah, Aduar tak pernah ambil pusing. Buktinya ia hidup! Pertanda dunia masih ada di bawah kakinya. Ya, baginya dunia dan segala isinya kini hanya nurut pada dirinya semata. Lihat bagaimana udara takluk semata untuk terus ia hirupi tanpa batas. Bagaimana air amat pasrah masuk ke dalam kerongkongannya. Tumbuhan dan hewan-hewan yang mau saja ia bodohi untuk menjadi kepentingannya. Tanah dan segala jenis sumber daya alam yang ia rantai bak anjing penjaga. Bahkan sesama manusia pun banyak yang tak berkutik di hadapannya. Karena dirinya adalah seorang raja. Raja bagi semua manusia yang ‘cuih!’ tak berharga.

“Minggir kau monyet!” seorang pegawai kantoran dengan tergesa-gesa mendepak Aduar yang masih menikmati pagi bersandar di bawah lampu merah simpang ibukota dengan khayalan besarnya. “Dasar orang gila!” lanjut pegawai itu dengan masih tersungut-sungut. Aduar hanya tertawa bahagia melihat sang pegawai dikejar-kejar oleh batas dan waktu.

Setelah perutnya terisi dengan beraneka makanan prasmanan dari tempat sampah rumah makan. Ia kini menatap sebuah ruko yang masih berlapis tralis besi. Tempat itu adalah toko penjual piringan hitam. Mejadi sebuah rutinitas harian bagi Aduar untuk menikmati lantunan musik-musik klasik yang biasa disetel oleh sang penjaga toko. Ahong namanya. Peranakan Cina dengan hati yang  baik. Malah terlalu baik. Seringkali ia mempersilahkan Aduar untuk masuk, tak jarang pula ia siap berbagi makanan serta kamar mandinya untuk Aduar. Tapi Aduar menolak. Ia hanya tak mau bergantung dengan orang lain.

“Sudah tiga hari ini kau mainkan Handel, Pak Ahong. Apakah kau sedang mencari-cari arti romantisme?” sergah Aduar saat toko itu baru saja di buka. “Memang romantisme adalah misteri. Tak semurah definisi puisi penyair-penyair gombal atau film-film standar rumah produksi. Kau hebat!” lanjut Aduar agak meluap-luap.

“Kau keliru. Aku sedang tidak dilanda romantika. Hanya ingin mendengarnya saja, tak lebih. Aku bersumpah,” jawab Ahong dengan senyum menjuntai dan mata sipitnya tertutup kian rapat.

Lagi-lagi Aduar hanya tertawa bahagia. Dalam hati ia berkata, “Aku tak pernah butuh sumpahmu!” lantas ia mengunci mulutnya rapat-rapat takut lalat-lalat ekonomi mati tak mengerti karena ucapannya yang maut. Tapi, pikirnya, kenapa aku harus takut? Soal mereka tak mengerti itu bukan urusanku. Kalau pun mereka mati itu juga tak jadi soal bagiku.

Dengan perawakan kunyel. Aduar mulai perjalanannya. Bukan. Baginya ini bukan sebuah perjalanan biasa, tapi ini adalah ziarah. Dan ia adalah seorang peziarah. Tujuannya adalah hidupnya sendiri.




PEZIARAH


Setelah terbangun Aduar lantas mengutuk-ngutuki para burung gereja yang demikian lancang merampas tidurnya. Belum juga beranjak, sisa hujan dan angin semalam kini menetesi sebagian badannya. “Demikian sempurna pagi hari ini,” lirihnya dongkol. 

Padahal semalam ia baru saja mengalami peristiwa yang menyenangkan. Di depan sebuah gedung, sekelompok orang ribut dengan sekelompok yang lain. Salah satu kelompok dengan pakaian serba seragam dan senapan laras panjang di genggaman. Kelompok yang lain dengan atribut warna-warni dan spanduk-spanduk bertuliskan keluhan. Pakaian mereka tak seragam meski di balik pakaian merekalah seragam sesungguhnya ia kenakan.

Ternyata sebuah kerusuhan antara mahasiswa dan aparat kepemerintahan, tepat di depan gedung parlemen. Letusan-letusan molotov hadir silih berganti. Moncong-moncong magasin tak habisnya memuntahkan peluru.
Aduar tertawa bahagia. Tak pernah sebelumnya ia menikmati pergelaran yang luar biasa epik. Di samping pertarungan antara kebodohan dengan kekuatan. Entah siapa yang bodoh, siapa yang kuat. Satu-satunya tontonan yang paling menakjubkan bagi Aduar ialah pada medio 98 lalu. Selain itu hanya sebuah percikan bukan lagi ledakan.

Mahasiswa itu keterlaluan bebal! Katanya. Perlawanan mereka itu tak ada artinya. Kalaupun berarti paling hanya beberapa hari menjadi headline berita-berita di surat kabar dan televisi. Lantas setelah itu kehidupan berjalan seperti biasa lagi. Anak bau kencur bicara perubahan. Cuih!

Persis sama dengan apa yang para pejabat pemerintah lakukan. Bicara segala pernak-pernik perubahan dengan dihiasi kata-kata menawan. Tapi apa? Sekali korup selamanya korup. Dan orang-orang macam itu keterlaluan tak tahu malu. Mungkin sudah putus urat malunya, atau barangkali tak punya lagi kemaluan.
Selepas bosan dengan tontonan yang monoton. Aduar beranjak pergi lagi.

Tatapan mata-mata sinis selalu menghiasi derap Aduar selangkah demi selangkah. Tak jarang pula dengan bumbu-bumbu intimidasi. Ah, betapa Aduar bahagia sekali diperlakukan sebegitu istimewa. Baginya ia layak mendapatkan penghargaan seperti itu. Pertanda bahwa ia satu-satunya sang pembeda dari sekian banyak kasta. Kasta tertinggi, kasta orang hidup. Selebihnya masuk ke dalam kasta orang mati. Para mayat.

Banyak para ahli mengatakan kasta di dunia ini dibagi dengan istilah-istilah yang menggelikan. Kasta priyayi dan kasta kawula. Atau kasta borjuis dengan kasta proletariat. Kasta si ningrat dengan kasta si budak. Dan yang paling mudah diingat tentu kasta untuk para orang kaya dan orang miskin. Keterlaluan goblok! Sebenar-benarnya kasta adalah si hidup dan si mayit. “Hahahaha!” Aduar tak bisa lagi menahan gelaknya memikirkan para mayat masih saja menatapnya dengan merendahkan. “Hahahaha!”

Namun dalam sekejap, huru-hara lebih dahsyat pecah di depan kedua mata Aduar. Kali ini antara pemuda berpakaian serba loreng hitam-oranye dengan sekelompok orang berlogat kasar yang katanya putra daerah Ibukota. Peperangan kali ini murni tanpa sebab yang jelas, meski bau tengik mulut-mulut mereka menjadi semacam penjelasan yang lain. Mereka mabuk. Emosi mereka senewen layaknya seorang gadis datang bulan. Melihat itu Aduar girang bukan kepalang. Satu lagi spectacle yang sedikit bisa menghibur dirinya dari suasana serba kaku dan palsu. Betapa ia terkesima dengan umpatan serta beringasnya orang-orang dalam medan pertempuran. Tak ragu mereka saling tikam dan hunus berbagai senjata tajam. Sungguh artistik.

Dalam ekstase yang seolah tak berkesudahan, mendadak sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya. Langkah yang sedari tadi plong seketika membatu. Acaranya pun terganggu. Empat orang berpakaian serba hitam tanpa aba-aba menyergap Aduar yang telanjang. “Mau apa kalian?” berontak Aduar. “Sudah diam! Masih untung ada yang mau peduli sama sampah macam kau!” bentak salah seorang. “Brengsek! Kalian para mayat tak pantas bersanding dengan diriku! Kalian para mayat tak patut memeperlakukan satu-satuya orang yang hidup di dunia ini seperti ini! Kalian para mayat sok mengerti hidup padahal kalian sendiri sudah lama mati! Kalian para mayat….!” Aduar terus saja mengerang bak singa kalah pertempuran. Sepanjang perjalanan orang-orang asing itu menangkap beberapa orang lagi sebelum sampai di sebuah bangunan lapuk.
Bangunan itu adalah sebuah panti. Dipenuhi dengan orang-orang yang mengidap gangguan kejiwaan. Mereka dalam proses rehabilitasi.

Melihat hal itu Aduar semakin meronta-ronta. “Bajingan! Kau pikir aku ini gila? Aku ini satu-satunya orang hidup di dunia ini dasar kalian para mayat! Kalian tak lebih dari bangkai! Lepaskan aku sekarang!” Sebuah obat bius pun terpaksa membungkam dirinya untuk beberapa saat.

Pada sebuah alam bawah sadar. Aduar kini bediri di atas haluan. Satu-satunya haluan yang ia temukan sejauh sudut mata memandang. Tak ada apa-apa selain maha latar gelap nan serba hitam. Dari atas tempat ia berdiri, terdapat beberapa persimpangan, persis arah delapan penjuru mata angin. Namun lambat laun segala penampakan itu makin lama semakin menghilang. Dan mata Aduar terbuka dengan sempurna. Aduar telah sadar.




TERSIBAK!


Setelah berjam, bermalam, bahkan berhari-hari di bangsal busuk ini. Aduar tetap tak terima dengan keadaan. Ia belum juga berdamai, dan tak akan pernah berdamai dengan para mayat yang tak tahu diri-tak tahu diuntung itu. Kebahagian yang ia bangun kini harus tertawan oleh para najis yang selama ini kerap ia kutuk. Kebahagian sejati. Tanpa ada andil serta pretensi apa pun. Bukan kebahagian yang melulu diukur dengan materi serta popularitas seperti kebahagian para mayat. Sungguh tak bisa diterima. Kebahagian miliknya kini terancam. Dan parahnya lagi, mereka anggap Aduar gila dengan konsekuensi segera direhabilitasi. Sebuah lelucon yang benar-benar tidak lucu.

“Andai saja tangan serta kakiku tak dipasung sedemikian hina mungkin aku telah menemukan jalan keluar dari tempat ini,” bisiknya dalam hati.

Dari balik pintu tiba-tiba seorang pria paruh baya datang mendekat. Seorang dokter. Dokter yang sama dengan hari-hari lalu. Sejurus, ia keluarkan stetoskop dan sebilah jarum suntik. Aduar pun lagi-lagi kalap. Segala caci maki begitu deras keluar dari mulutnya. Tapi tetap ia tak bisa berbuat apa-apa. Belenggu pada seluruh persendiannya terpasang begitu kencang. Seinci pun ia tak bisa bergerak. “Bangsat! Mau apa lagi kau setan alas! Berani-beraninya kau perlakukan seorang raja seperti ini! Aku ini rajamu! Cepat kau sujud di hadapanku! Minta ampun secepatnya!”

Sang dokter tak bergeming. Selepas pemeriksaan dan pengambilan darah rutin, ia langsung beringsut tanpa ekspresi apa pun. Sedangkan Aduar masih saja dengan rentetan serapahnya.

Lama sudah Aduar tak pernah semarah ini. Mungkinkah akibat sikap lunaknya belakangan ini kepada dunia? Ataukah sikap permisifnya kepada orang-orang yang semestinya ia musnahkan? Semesta kemungkinan berkecamuk dalam benak Aduar. “Harusnya aku bantai mereka semua! Agar damai,” geramnya.

Lalu sang dokter muncul lagi. Kali ini dengan beberapa orang di belakangnya. Sesuatu yang buruk tampak akan terjadi. Pikir Aduar.

“Kalian para bangkai busuk lekas lepaskan aku! Aku ini pewaris dunia. Satu-satunya yang hidup. Sungguh lancang apa yang kalian lakukan!” terjang Aduar yang tak juga ditanggapi. Mereka terus saja bergerak memindahkan Aduar. Tak lama mereka telah berada dalam sebuah mobil. Mirip mobil jenazah, hanya sedikit lebih buruk. Dalam perjalanan Aduar tak henti-hentinya menyumpah serapah. Wajahnya memerah. Urat-urat di lehernya pun semakin terlihat kentara.

Kurang lebih tiga jam perjalanan, lama waktu yang ditempuh sebelum mobil angker ini benar-benar berhenti. Tepat di sebuah antah-berantah. Aduar yang sempat tertidur kini terbangun. Burung-burung gereja terus saja mengeluarkan suara-suara khasnya sambil terus bertengger dari satu dahan ke dahan lain. Belantara pepohonan begitu rapatnya hingga tak menyisakan apapun.

Mereka terus saja bergerak seperti mencari titik tertentu.

“Hei! Lepaskan aku bajingan! Sebelum kau menyesal! Aduar mulai menyembur. Mereka tetap tak minat, sambil terus menyisir sudut-sudut rimba. “Apa yang kalian lakukan? Aku ini manusia kasta tertinggi! Kalian orang-orang mati harus segera melepaskan aku!” seolah telah khatam dengan kata-kata Aduar. Mereka tetap dingin.

“Ini dia!” luap sang dokter sambil menunjuk sebongkah batu hitam kusam persegi panjang. Aduar yang sedari tadi membanyol tak karuan mendadak terdiam saat melihat batu hitam ganjil itu. Semakin terhenyak setelah tahu bahwa itu adalah batu nisan sebuah kuburan lama atas nama dirinya.


Share

Jumat, 24 Mei 2013

Realita: Pil Merah atau Pil Biru?




"Aku bayangkan bahwa saat ini kau merasa seperti Alice yang jatuh ke dalam
lubang kelinci?" ujar Morpheus.

 "Kira-kira begitu," jawab Neo. 

"Aku bisa melihat di matamu. Wajahmu seperti orang yang menerima apa yang ia lihat
karena ia berharap untuk terjaga. Ironisnya, ini tak jauh dari realitas. Kau
percaya pada takdir Neo?" tanya Morpheus.

 "Tidak," tandas Neo.

 "Kenapa tidak?" Morpheus balik bertanya. 

"Sebab aku tak suka jika aku tak bisa kendalikan hidupku," tegas Neo. 

"Aku paham sekali maksudmu. Aku akan jelaskan kenapa kau ada di sini. Kau ada di sini karena kau tahu sesuatu. Kau tak bisa menjelaskan apa yang kau ketahui itu. Tapi kau merasakannya. Kau merasakannya selama hidup, ada yang tak beres dengan dunia ini. Kau tak tahu apa yang salah tapi itu ada, seperti sesuatu dalam benakmu yang membuatmu gila. Perasaan itulah yang yang membawamu kepadaku. Kau paham ucapanku ini?" pancing Morpheus. 

"Matrix?" tebak Neo. 

"Kau mau tahu apa itu? Matrix ada di mana-mana. Ia ada di sekeliling kita. Bahkan saat ini di ruangan ini. Kau bisa melihatnya jika kau melihat ke jendelamu atau jika kau menyalakan televisimu. Kau bisa merasakannya saat kau pergi bekerja, saat kau pergi ke gereja, saat kau membayar pajak. Itu adalah dunia yang disajikan di depan matamu untuk menutupi realitas", jelas Morpheus.

"Realitas apa?" tanya Neo. 

Morpheus segera menjawab, "Bahwa kau adalah seorang budak. Seperti yang lain, kau lahir dalam keadaan terkekang, lahir dalam penjara yang tak bisa kau cium, rasakan atau sentuh. Sebuah penjara bagi pikiranmu. Sayangnya, tak ada yang bisa ceritakan apa itu Matrix. Kau harus melihatnya sendiri. Inilah kesempatan terakhirmu. Setelah ini kau tak bisa kembali lagi. Kau telan pil biru, ceritanya berakhir, kau bangun di ranjangmu dan percaya apa pun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di Negeri Ajaib dan aku tunjukkan sejauh mana lubang kelincinya. Ingat, aku hanya menawarkan realitas. Tak lebih dari itu."






Share

Selasa, 05 Maret 2013

Sebuah Nama

iswara
          


           Pada sebuah malam di rumah sakit yang antik, lahirlah seorang anak manusia setelah sebelumnya ia dan sang ibu berkutat di garis pandir kehidupan dan kematian pada medan pertempuran yang sesungguhnya. Saat itu, ruang persalinan bukan penuh oleh perawat, sanak atau kerabat yang memang telah hadir semenjak bukaan pertama, melainkan oleh para malaikat. Kehadiran mereka di sini hanya ingin memastikan siapa nama anak manusia ini nanti. Dan mereka telah juga menunggu sembilan bukan lamanya, saat pertama kali ruh cerah cemerlang tanpa nama itu baru diantarkan ke tempat peraduan manusia, rahim.

         Ketika anak itu telah mempunyai nama, nama itulah yang akan dikenakan selamanya. Nama itu menjadi sebuah doa untuk orang yang menggunakannya. Nama itu senantiasa hadir, senantiasa melindungi serta menjadi penghubung kepada orang tuanya. Nama itu yang akan menjelajahi kehidupan sekaligus menjadi perisai secara bersamaan. Singkat kata, nama itu akan menjadi sejarah manusia.[...]



            Bayi itu terus menerus mengeluarkan tangis dan sesekali berhenti jika kelelahan dalam inkubator yang menciptakan kehangatan. Kali ini, tertera sebuah nama dalam ranjangnya. Sang ayah memperhatikan dengan haru dan bangga. Ingin sekali ia mendekapnya dengan mesra serta mengajari banyak hal, tapi bayi itu tentu belum siap total. Lantas ia kecup kening istrinya yang tertidur.
     
  "Terima kasih istriku, kau telah membawa kehidupan. Kini kau telah menjadi wanita sempurna. Kau telah memberiku keturunan..", ucapnya pelan.

Waktu senja.

          Anak itu telah beranjak remaja. Di dalam kamarnya ia hanya bermain PES, Counter Strike atau menonton film seorang diri. Ia tak punya teman. Atau, lebih tepatnya, tak ada yang mau berteman dengannya. Bahkan tetangganya pun demikian. Mereka menganggapnya sebagai anak yang aneh, demikian juga dengan keluarganya. Keluarga ini dipandang sebagai keluarga bermasalah. Entah atas dasar apa. Ibunya sering menyuruhnya agar terus bersabar, begitupun ayahnya. Namun ia tak habis pikir kenapa demikian. Seolah kesabaran adalah senjata satu-satunya dalam sebuah peperangan. 

Apa karena nama?

            Pernah suatu ketika ia baru kenal dengan seseorang. Orang itu amat menyenangkan dan bersahabat. Namun ketika ia memberitahukan namanya, sejurus kemudian orang tersebut beringsut kabur, lalu menghilang saat itu juga. Seakan melihat sesuatu, terbelalak.

  "Apa benar karena namaku?", bisiknya dalam hati.[...]




             Anak itu kini telah dewasa. Mampu mempersunting kekasih hatinya yang amat ia cinta. Wanita yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, orang-orang yang ia kenal, orang-orang yang menganggap dirinya aneh dan penuh masalah. Yang memandangnya dengan merendahkan dan menjatuhkan. Orang-orang yang tahu namanya namun tak juga mengenal dirinya.
             
             Pada sebuah malam yang temaram suami istri ini sempat berdialog dari hati ke hati.
   
 "Kenapa kau mau menikah denganku Soraya istriku?", tanyanya lembut.
 "Tentu karena aku mencintaimu, suamiku", ujar istrinya.
 "Kau tidak risih dan takut dengan namaku seperti orang-orang kebanyakan??", tanyanya kembali, kini lebih hati-hati.
 "untuk apa? Aku mencintaimu bukan karena namamu namun karena hatimu sayangku.. Hatimu lebih lembut dari sutera. Sikapmu terang bercahaya dan sifatmu menentramkan hatiku...", setelah itu mereka bercumbu. [...]




           Pada suatu siang yang sompral. Sang anak melewati sebuah pemakaman, barisan nisan berjejer dengan baik dan tertib. satu persatu ia perhatikan nama-nama di nisan itu. Nama-nama yang bagus, malah tak jarang pula ia temukan nama-nama yang menggugah indah. Nama yang sarat akan doa serta harapan kedua orang tuanya. Nama yang sengaja diberikan agar si pengguna nama menyerap energi-enegrgi positif yang terdapat dalam sebuah nama.  Sebuah nama yang magis nan ajaib.

               Lama ia perhatikan nama-nama di jejeran nisan itu, ada yang sama satu dengan yang lain, ada pula yang sekadar mirip, lalu ada juga yang patronimik. Tapi dari sekian banyak nama yang ia saksikan, tak satu pun nama yang sama dengannya. Mungkinkah nama ini memang sebuah nama yang buruk serta terkutuk untuk diucapkan dan dikenakan. Mungkinkah nama ini menjadi sebuah dosa bagi yang mendengarnya.

         Masih tersimpan rapi dalam memorinya, bagaimana dulu sang ayah menjelaskan kenapa ia memberikan nama tersebut untuknya. Mayoritas orang kebanyakan berharap energi postif sebuah nama dapat berimbas kepada manusia penggunanya, atau agar orang yang mengenakan nama tersebut bisa sejalan, seirama, serta sesuai dengan nama-nama yang di sandang. Maka tidak demikian dengan sang ayah, ia memberikan nama itu kepadanya dengan harapan agar sang anak bisa lebih baik bahkan bisa membalik makna hakiki dari nama yang ia dapatkan. Sang ayah ingin anaknya bisa menguasai nama yang diberikan padanya, bukan malah sebuah nama yang menguasai dirinya. Bukan.

               Atas dasar itu ia selalu bertindak terbalik dengan namanya, bukan karena ekspektasi tapi lebih karena kemauannya sendiri, intuisi, dan pembawaan pribadinya yang asri. Hal-hal kecil dan detail sekalipun yang jarang orang lain lakukan, biasa ia lakukan. Sikap, sifat dan hatinya benar-benar tidak sesuai dengan namanya. Nama yang diberikan oleh ayahnya. Kelakuannya persis seperti dimensi dari cerita seorang pelacur dan anjing kudisan dalam sebuah riwayat. Mungkin karena hal itulah istrinya begitu cinta bahkan semakin cinta setiap harinya, serta tak ambil pusing dengan nama suaminya.[...]




               Kemudian, pada akhirnya, lahirlah buah cinta mereka berdua yakni sepasang anak manusia yang cantik jelita, sepasang anak kembar.

                Namun bersamaan dengan itu, sang suami tertimpa kecelakaan dahsyat ketika menuju rumah sakit . Sang suami tak sadarkan diri dan langsung diboyong ke UGD rumah sakit terdekat. Terdapat pendarahan dalam otaknya. Ia benar-benar semaput, koma dan mungkin sebentar lagi maut menjemput, mati.

         Sang istri belum juga siuman setelah melahirkan sepasang kehidupan. Tubuhnya masih lemah. Sedangkan sang suami belum juga menampakkan wajahnya. Mungkin saja itu yang menyebabkannya  betah berlama-lama tak sadarkan diri, ia sungguh mengaharapkan kehadiran suami tercinta di sampingnya. Sepasang anak mereka tertidur, anteng.

                Keadaan sang suami semakin parah. Ia melayang entah kemana, lalu seketika berhenti di tempat yang senantiasa gelap nircahaya...

 "HAI MANUSIA! NAMAMU BENAR-BENAR FAMILIAR DI SINI, APA KAU TAHU??
   RIBUAN MANUSIA MEMPUNYAI NAMA YANG SAMA DENGANMU DAN YANG TERAKHIR 
   DATANG KE SINI IALAH BAPAKMU. KAU MEMILIKI MATANYA YANG TAJAM.
   KALIAN MANUSIA! BENAR-BENAR MENGGELIKAN, MENGGUNAKAN NAMA YANG KEKAL
  TERKUTUK MENJADI SEBUAH HARAPAN PICISAN, MENJADIKANNYA SEBAGAI DOA YANG 
  TAK TERTERA DAN TERUCAP!!".

Tiba-tiba suara menggelegar itu sirna tak tahu kemana. [...]




               Sepuluh tahun kemudian, keluarga ini berlibur ke Nagashima. Hari-hari yang menyenangkan bagi keluarga sederhana ini. Akan tetapi tiba-tiba sang istri melontarkan pertanyaan kepada suaminya,

"Suamiku, kenapa kau memberikan nama yang sama kepada anak kembar kita? Apakah tidak menjadi masalah untuk mereka kelak?". 

Suaminya sejurus kemudian menjawab,

"Istriku, nama yang ku berikan itu adalah nama dari garis keturunan leluhurku. Bapak dari bapak-bapakku menggunakan nama yang sama. Sejatinya nama itu adalah  sebuah doa, doa agar kami bisa menguasai nama itu bukan malah nama itu yang menguasai kami. Ada rahasia besar di balik itu semua. Dan kau teruslah berdoa agar kami mampu menguasai nama itu, agar hati, sikap, dan sifat kami jauh berbalik dari nama yang kami kenakan... Iblis Jahannam...".
        


Share

Modus

Cerita Pertama


Kelahiran


"Selamat! Anak anda terlahir normal dengan berat 31kg dan panjang 55cm. Apa nama yang akan anda berikan untuknya?", tanya seorang perawat yang mengenakan masker serta sarung tangan khas rumah sakit ini. | "Anakku ini kan ku beri nama Modus...", ucap sang ayah.





Cerita Kedua
Pernikahan


"Lihat! Mereka sungguh-sungguh serasi, pasangan yang sempurna..", berkata seorang teman lama di sebuah resepsi pernikahan. | "Tapi ku dengar pernikahan mereka ini dilandasi atas dasar modus yang tulus diantara keduanya", sanggah satu lagi seorang teman lama.






Cerita Ketiga

Kematian


"Ah, snobis sejati. Bahkan matipun hanya demi sebuah modus!", sambil menatap tiang gantungan.






Cerita Keempat
Dunia


"Peradaban, pengetahuan dan agama hadir ke tengah-tengah manusia tidak lain karena kehendak modus...!!", koar seorang alim yang juga panutan masyarakat di sela-sela khotbah keagamaan.
Share

Senin, 18 Februari 2013

Marsial


--1
Berangkat dari sejuta gejala yang ada, baik maya maupun nyata. Indikasi pergeseran makna akan kehadiran seorang manusia yang notabene diciptakan sekaligus diberitugaskan untuk menjadi manajer eksekutif alam jagad raya benar adanya. Benar-benar kabur. Awalnya adalah mitos. “Manusia akan menjadi perusak semesta berikut isinya karena terlalu sibuk dengan urusan mereka”.  Begitulah kira-kira isi editorial dari pernyataan setan yang terkutuk pada permulaan dan sepanjang zaman. Lalu Tuhan terlalu memanjakan manusia dengan keangkuhan ‘Arsy-Nya. Tuhan membela manusia dengan segala misteri yang tak kan pernah tersentuh oleh daya upaya manusia.

--2
          Agaknya penerawangan para setan tak sepenuhnya keliru. Padahal di awal mula kehidupan itu tak ada definisi ajaib semutakhir teknologi yang dibangga-banggakan oleh manusia. Tapi kenapa manusia yakin sekali bahwa dunia telah jatuh ke dalam genggamannya? Atau tepatnya, kenapa manusia hanya memikirkan kehidupan yang sangat-sangat terbatas pada istilah dan nama-nama formal yang membeku dalam kamus? Sebuah kesalahan yang fundamental dan signifikansinya akan terlihat begitu sentral  jika mengatakan bahwa kehidupan ini begitu luas. Masalahnya kehidupan yang seperti apa? Kehidupan yang bagaimana? Kehidupan yang sudah terlanjur kita asumsikan selama ini merupakan silabel dari rintisan anasir yang terlalu mainstream nan popular serta terbatas. Kehidupan semata-mata tak tersentuh oleh blok-blok artikulasi.

--3
          Dalam kesempatan yang sama dengan jarak berjuta kecepatan cahaya. Sesuatu atau katakanlah entitas tertentu memiliki lingkungan yang ritmis dan cenderung ultramodern. Padahal jauh dari keruwetan teknologi. Cuma terdapat satu persamaan antara tempat ini dengan bumi: Tuhan (Yang Menciptakan). Dengan bahasa manusia, kita namakan antah-berantah ini dengan Mars, Marikh, Anggakara. Tak jelas memang informasi shahih mengenai planet yang digambarkan berwarna merah jingga. Selain karena terbatas, deskripsi yang menyertainya pun masih haris dikaji. Sebab kita masih menggunakan standar-standar bumi untuk menamai apa-apa yang letaknya tak juga di sini. 
          Kami ingat betul, bagaimana pada sebuah kehampaan, pada suatu ketika kami dipaksa untuk sepakat menamai sebuah ruang yang begitu luas dengan sebutan "Dunia". "Apa itu dunia? Tempat seperti apa itu? Apa yang bisa dilakukan di tempat itu?', Belum habis pertanyaan dan keraguan, kami dicekoki lagi dengan istilah-istilah yang sompral yang belum tentu bisa kami cerna dengan sehat akal dan tajam rasa.
          Hingga pada akhirnya, kami sadar, bahwa kami berupa template, kami hanya copy-paste manusia yang mengenal dunia itu seperti apa yang ia kira dan duga. Lalu kami melakukannya dengan cara yang sama. Persis seperti manekin dalam etalase yang saban kali ditelanjangi lalu dipasangi baju serta ornamen berkilau namun lantas ditelanjangi lagi untuk kemudian dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau dan ditelanjangi lagi lalu dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau lantas ditelanjangi lagi dan dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau terus dipasangi lagi hingga pada akhirnya dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau. Begitu, kontiniti.

--4
          Makrokosmos. Demikian ia dikatakan. Untuk mengungkapkan betapa unlimited-nya akses kita terhadap segala sesuatu serta betapa tertibnya alam semesta. Beruntunglah kita pada akhirnya mempunyai ilmuwan yang mensimplikikasi tanda-tanda tertentu dan matilah kita yang membiakkan kutu-kutu zaman dalam alam kenyataan. Jika puncak peradaban terdapat di sisi Everest atau Kilimanjaro dan kita puas akan hal itu, maka Olympus Mons adalah puncak tata surya dan para marsial tak juga pongah atau terindikasi untuk itu. Atau bagaimana lebih psikedeliknya cara angin surya berhembus dari angin-angin temaram kebanyakan, lebih menggelegar dari sekedar angin ribut yang carut-marut, lebih mensemesta dari sepasang angin darat dan angin laut, lebih puitis dari angin sepoy-sepoy penghantar penghujan. 
         
--5
          Setelah beberapa pijak kaki kita yang hina melangkah di atas bulan, diam-diam kita mengaku sebagi Tuhan. Lantas menamakan segala sesuatu dengan yang kita suka. Phobos serta Deimos. Entah atas izin siapa. Kita hanya mikroorganism yang hidup pada ruang tersempit dalam mikrokosmos. Untuk menjaga tanah dan air saja kita tak kuasa. Sedangkan tanah di sini tak juga ada harganya selain untuk mengurai bangkai kita sendiri bulat-bulat.

--6
          Dan serulah basalt! Di mana dalam kandungannya terdapat bulan, venus serta asteroid-asteroid yang bahkan tak pernah tersentuh oleh titik kulminasi imanjiner kita sekalipun! Paling banter, tingkat tertinggi imaji kita adalah cinta, anarki serta ungkapan-ungkapan profan yang terbingkai daalam pesan-pesan instan mikroblog. Jangan pernah bicara cinta di sisni, jika cinta yang kalian maksud hanya sebatas bentura-benturan fisik. Sebab definisi cinta bukan cantik, bukan gagah, bukan duit, bukan sange dan ngaceng, bukan pula romantisme seperti yang telah lama digembar-gemborkan secara menggebu sejak zaman Adam yang kehilangan rusuk. Bukan. Cinta itu universal, tanpa ada tendensi kegombalan berlebih sedikitpun. Maka perlakukanlah cinta secara universe, mensemesta. Seperti tulisan absurd ini yang mencoba untuk itu. Hahaha!

--7
          Mungkin para marsial juga akan mengeluarkan gelak yang lebih merendahkan macam itu, cuma konsonan bunyi, frekuensi, serta lengkungan longitudinal yang pasti tak masuk di akal. Wajar, sebab siapa tahu mereka lebih mendekati definisi manusia daripada kita.
Share