The Truth Seeker Media

Senin, 18 Februari 2013

Marsial


--1
Berangkat dari sejuta gejala yang ada, baik maya maupun nyata. Indikasi pergeseran makna akan kehadiran seorang manusia yang notabene diciptakan sekaligus diberitugaskan untuk menjadi manajer eksekutif alam jagad raya benar adanya. Benar-benar kabur. Awalnya adalah mitos. “Manusia akan menjadi perusak semesta berikut isinya karena terlalu sibuk dengan urusan mereka”.  Begitulah kira-kira isi editorial dari pernyataan setan yang terkutuk pada permulaan dan sepanjang zaman. Lalu Tuhan terlalu memanjakan manusia dengan keangkuhan ‘Arsy-Nya. Tuhan membela manusia dengan segala misteri yang tak kan pernah tersentuh oleh daya upaya manusia.

--2
          Agaknya penerawangan para setan tak sepenuhnya keliru. Padahal di awal mula kehidupan itu tak ada definisi ajaib semutakhir teknologi yang dibangga-banggakan oleh manusia. Tapi kenapa manusia yakin sekali bahwa dunia telah jatuh ke dalam genggamannya? Atau tepatnya, kenapa manusia hanya memikirkan kehidupan yang sangat-sangat terbatas pada istilah dan nama-nama formal yang membeku dalam kamus? Sebuah kesalahan yang fundamental dan signifikansinya akan terlihat begitu sentral  jika mengatakan bahwa kehidupan ini begitu luas. Masalahnya kehidupan yang seperti apa? Kehidupan yang bagaimana? Kehidupan yang sudah terlanjur kita asumsikan selama ini merupakan silabel dari rintisan anasir yang terlalu mainstream nan popular serta terbatas. Kehidupan semata-mata tak tersentuh oleh blok-blok artikulasi.

--3
          Dalam kesempatan yang sama dengan jarak berjuta kecepatan cahaya. Sesuatu atau katakanlah entitas tertentu memiliki lingkungan yang ritmis dan cenderung ultramodern. Padahal jauh dari keruwetan teknologi. Cuma terdapat satu persamaan antara tempat ini dengan bumi: Tuhan (Yang Menciptakan). Dengan bahasa manusia, kita namakan antah-berantah ini dengan Mars, Marikh, Anggakara. Tak jelas memang informasi shahih mengenai planet yang digambarkan berwarna merah jingga. Selain karena terbatas, deskripsi yang menyertainya pun masih haris dikaji. Sebab kita masih menggunakan standar-standar bumi untuk menamai apa-apa yang letaknya tak juga di sini. 
          Kami ingat betul, bagaimana pada sebuah kehampaan, pada suatu ketika kami dipaksa untuk sepakat menamai sebuah ruang yang begitu luas dengan sebutan "Dunia". "Apa itu dunia? Tempat seperti apa itu? Apa yang bisa dilakukan di tempat itu?', Belum habis pertanyaan dan keraguan, kami dicekoki lagi dengan istilah-istilah yang sompral yang belum tentu bisa kami cerna dengan sehat akal dan tajam rasa.
          Hingga pada akhirnya, kami sadar, bahwa kami berupa template, kami hanya copy-paste manusia yang mengenal dunia itu seperti apa yang ia kira dan duga. Lalu kami melakukannya dengan cara yang sama. Persis seperti manekin dalam etalase yang saban kali ditelanjangi lalu dipasangi baju serta ornamen berkilau namun lantas ditelanjangi lagi untuk kemudian dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau dan ditelanjangi lagi lalu dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau lantas ditelanjangi lagi dan dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau terus dipasangi lagi hingga pada akhirnya dipasangi lagi baju serta ornamen yang berkilau. Begitu, kontiniti.

--4
          Makrokosmos. Demikian ia dikatakan. Untuk mengungkapkan betapa unlimited-nya akses kita terhadap segala sesuatu serta betapa tertibnya alam semesta. Beruntunglah kita pada akhirnya mempunyai ilmuwan yang mensimplikikasi tanda-tanda tertentu dan matilah kita yang membiakkan kutu-kutu zaman dalam alam kenyataan. Jika puncak peradaban terdapat di sisi Everest atau Kilimanjaro dan kita puas akan hal itu, maka Olympus Mons adalah puncak tata surya dan para marsial tak juga pongah atau terindikasi untuk itu. Atau bagaimana lebih psikedeliknya cara angin surya berhembus dari angin-angin temaram kebanyakan, lebih menggelegar dari sekedar angin ribut yang carut-marut, lebih mensemesta dari sepasang angin darat dan angin laut, lebih puitis dari angin sepoy-sepoy penghantar penghujan. 
         
--5
          Setelah beberapa pijak kaki kita yang hina melangkah di atas bulan, diam-diam kita mengaku sebagi Tuhan. Lantas menamakan segala sesuatu dengan yang kita suka. Phobos serta Deimos. Entah atas izin siapa. Kita hanya mikroorganism yang hidup pada ruang tersempit dalam mikrokosmos. Untuk menjaga tanah dan air saja kita tak kuasa. Sedangkan tanah di sini tak juga ada harganya selain untuk mengurai bangkai kita sendiri bulat-bulat.

--6
          Dan serulah basalt! Di mana dalam kandungannya terdapat bulan, venus serta asteroid-asteroid yang bahkan tak pernah tersentuh oleh titik kulminasi imanjiner kita sekalipun! Paling banter, tingkat tertinggi imaji kita adalah cinta, anarki serta ungkapan-ungkapan profan yang terbingkai daalam pesan-pesan instan mikroblog. Jangan pernah bicara cinta di sisni, jika cinta yang kalian maksud hanya sebatas bentura-benturan fisik. Sebab definisi cinta bukan cantik, bukan gagah, bukan duit, bukan sange dan ngaceng, bukan pula romantisme seperti yang telah lama digembar-gemborkan secara menggebu sejak zaman Adam yang kehilangan rusuk. Bukan. Cinta itu universal, tanpa ada tendensi kegombalan berlebih sedikitpun. Maka perlakukanlah cinta secara universe, mensemesta. Seperti tulisan absurd ini yang mencoba untuk itu. Hahaha!

--7
          Mungkin para marsial juga akan mengeluarkan gelak yang lebih merendahkan macam itu, cuma konsonan bunyi, frekuensi, serta lengkungan longitudinal yang pasti tak masuk di akal. Wajar, sebab siapa tahu mereka lebih mendekati definisi manusia daripada kita.
Share