The Truth Seeker Media

Kamis, 17 Maret 2011

Aku Seorang Badut

Sesosok yang menggelikan lagi menggemaskan. Pencipta sebuah senyuman di wajah manusia yang melihatnya. Tak peduli cuaca dia tetap melahirkan canda dan suka cita.
Raut mukanya yang selalu riang membuat hati ini senang bukan kepalang.


Tersebutlah ia seorang badut.
Mahluk yang secara historis memang diciptakan sebagai bahan tertawaan, bahan ejekan. Tapi ia abaikan bahkan mungkin ia terima dengan senang hati karena ialah sang penghibur sejati. Berteman dengan langit yang cerah dan mewah, setiap tariannya adalah goresan cahaya berpelangi. Dia sangat suka bersenandung dan senandungnya hanya berisi kedamaian. Derap langkahnya berkomposisi seperti musik zaman ini. Bunga-bunga tumbuh dari apa yang ia sentuh.
O, Betapa sempurna hidup sang badut ini.

Suatu ketika, saat selesai dengan hari yang penuh kesenangan badut itu pulang kerumahnya, ia tanggalkan kostum kebesaran yang melekat pada tubuhnya dan merasuk dalam kehidupan nyata. Tampaklah wajah asli sang badut. Tak ada senyuman disana, apalagi air muka bahagia.

Diam-diam gadis kecil mengikutinya, lalu berkata, "Kaukah badut yang aku kenal?? Kenapa hanya kemurungan dalam raut muka itu?? Kemanakah senyuman yang selalu menghiasi wajahmu wahai badut??"

Badut itu menjawab, "Benar, Akulah badut itu. Aku lelah setiap hari harus bersandiwara menampilkan wajah bahagia. Karena aku sendiri tidak bahagia. Lagipula tak ada yang bisa menghiburku selain dirikusendiri. Karena aku seorang badut."
Share

Cinta

Gerimis itu tidak terbendung, langit tidak lagi bisa menahan beban yang ditimpakan kepadanya. Awan-awan hitam mulai datang padahal tidak ada yang mengundang, tak berapa lama hujan pun turun sejadi-jadinya, meski waktu menunjukkan pukul 2 siang tapi seakan sudah petang menjelang malam.

Roswana duduk dengan tenang di sebuah halte di daerah buaran, suara Alicia Keys berkumandang dari playlist handphone baru miliknya yang dibeli dari toko anugrah celular di kawasan mangga dua. Pikirannya melayang seketika itu juga terhipnotis oleh lagu yang menelanjangi telinganya, terkondisikan oleh suasana hatinya. Cuplikan-cuplikan peristiwa terbersit dalam kepalanya yang untuk sementara menghilangkan kesadarannya. "Bajingan....Bajingan.....!!" Bisiknya dalam hati. "Seharusnya aku tidak mempercayainya..." Isak tangis pun muncul berpadu dengan hujan deras siang itu. "Telahku berikan segalanya... Telahku berikan semuanya... Telahku berikan mahkota kebangganku pada dirinya... Telahku berikan kehormatan kewanitaanku pada dirinya... Tapi dia menghianatinya....." Lirihnya dalam hati.

Suara ribut-ribut pedagang kaki lima dan petugas Satpol PP pun memecah semua bayangannya.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore, sudah satu jam Roswana terdiam di halte itu. Ia melihat sepasang kekasih penuh kemesraan disebelahnya, ia terus menatap dengan sinisnya. Kemudian bus yang ditunggu pun akhirnya datang berhenti dihadapannya, tanpa disuruh ia langsung masuk ke dalam bus menuju kursi kosong bagian kiri yang berpapasan langsung dengan jendela angkutan kota tersebut. Pemandangan di luar terlihat jelas dari posisi yang ia tempati. Sepasang kekasih yang dilihatnya masih ada disana, mesra dan belum beranjak. "Korban berikutnya......" Gumamnya dalam hati sambil melihat sepasang kekasih itu.
Share

Elegi Anak Zaman

Wajahnya kusam karena tersengat langsung cahaya matahari. Nafasnya terengah-engah dan tak jarang peluh menetes dari dahi dan sela-sela telinganya. Matanya terlihat dalam dan tajam mengawasi setiap titik yang menarik perhatiannya. Dengan sendal jepit kumal derap langkahnya sangat pasti dan meyakinkan meski yang ia lewati tanah merah basah bekas hujan semalam. Rumput dan ilalang saban hari menggodanya disebuah lapangan di kawasan pamulang. Sebatang pengait besi buatan setia di tangan sebelah kanan ditemani satu karung bulat yang dipapah di punggung kecilnya. Setiap hari ia menghabiskan jarak berpuluh-puluh kilo dalam satu kali perjalanan, padahal usianya belum genap 10 tahun. Usia yang seharusnya mendapatkan dasar-dasar pendidikan yang kita ciptakan dengan kebohongan dan ketidakadilan. Tapi tetap saja ia tidak mempedulikannya, kaki kecil itu terus melangkah ke arah masa depan.

Menjelang malam ia tiba di rumah reot yang terbuat dari kayu-kayu usang bekas sebuah bangunan. Rumah tersebut terletak di kaki sutet simbol pembangunan, hanya sepetakan 2x3 dan diisi oleh tiga kepala keluarga dan salah satu anggota keluarganya adalah dia.
"Kau sudah pulang raihan?? Makanlah dulu... Kau belum makan seharian bukan???" Sambut ibunya dengan pertanyaan.
"Baik mak, aku memang belum makan.." Jawabnya sambil melahap sepiring nasi aking dan sebiji kerupuk.
"Bagaimana hari ini?? Dapat berapa???" Sahut ibunya.
"Lumayan mak, dapat sekarung penuh." Jawabnya sambil terus melahap makanan yang ada dihadapannya.
"Baguslah.... nanti kalau sudah makan, lekaslah tidur! Besok pagi-pagi sekali kau sudah harus mulai memulung lagi. Bapakmu sudah tiga minggu sakit-sakitan." Ujarnya tanpa ekspresi.
"Baik mak." Suara raihan datar, sebelum berada diatas kasur tipis rombeng.

Pagi-pagi sekali berbarengan dengan dimulainya aktifitas di pasar cimanggis kawasan ciputat, raihan sudah bergelut dengan sampah-sampah non-organik. Dia sangat teliti mengawasi setiap jengkal tempat-tempat yang tersembunyi. Sampai tak terasa matahari telah meninggi di wilayah indonesia bagian barat. Sekolah-sekolah pun secara sistematik mengusir murid-muridnya untuk pulang ke rumah. Dan tak lama dalam perjalanannya, ia tiba di depan sebuah SD yang sedang ramai oleh kepulangan murid-muridnya, ia sempat terhenti sejenak memperhatikan anak-anak sebayanya. Lalu seorang laki-laki dewasa berseragam cokelat, yang ternyata seorang guru datang mendekatinya.
"Kau mau kemana?? Tidak pulang ke rumah??" Katanya sambil terheran-heran.
"Sebentar lagi juga saya pulang, saya cuma kebetulan lewat pak.." Jawab raihan.
"Kau tidak sekolah??" Tanya guru itu.
"Tidak pak." Singkat raihan tanpa penjelasan. Tapi sebelum guru itu kembali bertanya bocah itu meneruskan ucapannya.
"Jika jalan ini yang harus saya tempuh. Bapak cukup memperhatikan saja dan tunggulah saya di ujung jalan. Kelak saya akan tiba juga disana." Lalu raihan pun pergi membelakangi guru itu yang masih terbengong-bengong dan terus saja berlalu menlanjutkan perjalanannya.
Share

Mak

"Mak, nasi uduk satu mak..". Ucap Entong sambil terus melihat-lihat gorengan dan semur jengkol di etalase yang menambah nafsu makannya malam itu.
"Bungkus apa makan disini tong??". Tanya mak.
"Makan disini aja mak, biasa...". Jawab entong.
Lalu entong pun melahap sepiring nasi uduk itu dengan diawali menyeruput teh tawar hangat yang disediakan untuknya. Dalam beberapa saat tidak ada percakapan antara keduanya di kedai nasi uduk yang terletak persis di depan pom bensin itu. Hening, yang terdengar hanya suara entong yang mengunyah krupuk dan sesekali suara sendoknya yang beradu dengan piring bermotif bunga. Mak juga diam saja, tak seperti biasanya melamun ke arah jalan yang menghubungkan Parung-Ciputat. Lamunannya buyar hanya ketika dia melayani pelanggannya yang memesan nasi uduk, setelah itu mak akan melanjutkan kembali lamunannya. Entong yang sedari tadi telah selesai makan dan sedang menikmati sebatang rokok ketengan heran melihat mak.
"Mak, kenapa mak?? Dari tadi saya liatin bengong aj, lagi mikirin apaan emangnya??" Tanya entong penasaran.
"Ahh, enggak apa-apa tong. Mak cuma lagi pusing aja." Jawab mak kepada entong yang sebenarnya tidak menjawab apa-apa bagi entong. Entong pun terus mengejarnya dengan kembali bertanya. "Keliatan mak, dari mukanya kalo lagi ada masalah. Apalagi udah pusing gitu! Berarti bener ada masalah kan??".
"Emang keliatan yak??" Tanya mak sambil melempar sebuah senyuman.
"Keliatan mak...." Jawab entong singkat.
Lalu dengan wajah seperti menyerah dan samnbil menghela nafas dalam-dalam mak pun membuka suara, "Gini tong, jadi kemaren abang mak dateng ngasih tahu kalo ada yang mau nikah sama mak. Abang mak yang laen sama mpok-mpok mak juga nyuruh terima aja dari pada jualan nadi uduk terus katanya, dari pada susah terus. Emang sih mak udah jualan nasi uduk 10 tahun, udah kelamaan. Tapi enggak apa-apa, biar begini juga si Adi (Adi adalah anak bungsu mak dari dua anaknya.Yang tertua sudah menikah dan tinggal di daerah semper) bisa sekolah, sekarang udah kelas 2 SMP. Emak udah nolak, si adi juga udah mak ceritain. Terus katanya ''Jangan mau nikah lagi mak!! Biarin miskin begini dari pada mak mesti balik lagi ke agama mak yang dulu. Murtad itu namanya mak! Adi enggak setuju!! Mpok juga kalo tahu enggak bakalan setuju.'' Gitu....
Emak cuma jadi enggak enak sama Abang-abang mak. Tapi juga enggak habis pikir sama jawaban anak emak yang bontot itu." Cerita mak seorang janda keturunan Tiong Hoa beranak dua yang ditinggal mati suaminya kepada entong.
Sekarang giliran entong yang hanya terdiam sambil terus menghisap rokoknya.
Share

Taman (Makam) Pahlawan

Disebuah alun-alun taman kota, berkumpullah orang-orang sambil bercengkrama satu sama lainnya. Ditemani riak-riak air mancur yang muncrat dari tengah taman, suara-suara burung kecil yang beradu di atas pohon-pohon cemara, wanita-wanita transparan yang berlalu lalang serta anggur yang tiada duanya di dunia memenuhi cawan-cawan di meja sekitar taman. Lalu terlihat wajah-wajah yang beraneka ragam diantara kerumunan orang-orang disana. Tak berapa jauh dari alun-alun taman kota, tepatnya disebuah lapangan terlihat dua orang sedang menghadap ke arah tiang bendera sambil terus mengambil sikap hormat. Keduanya sangat khusyuk tanpa bicara sepatah kata pun. Seorang diantaranya menggunakan stelan safari dan seorang lagi menggunakan kemeja lengkap dengan jas serta kopiah di kepalanya. Mereka bedua ternyata Bung Karno dan Bung Hatta. Sudah cukup lama mereka disana berdiri sambil hormat menghadap tiang bendera yang tak terdapat lagi benderanya. Kemudian disaat yang sama terlihat sebuah pesawat tempur sedang melayang-layang di udara, tanpa ragu pesawat itu menggerayangi setiap sudut langit saat itu. Entah apa tujuannya, padahal sudah lama pesawat itu tidak pernah diterbangkan dan telah diabadikan di lanud halim perdana kusuma. Setelah sekian lama, barulah orang-orang tahu kalau penerbang pesawat itu ialah Ir. Juanda. Dan diantara kerumunan orang-orang di bawah, Bung Tomo dan Jendral Soedirman bertepuk tangan kegirangan melihat atraksi-atraksi pesawat tempur itu. Seorang anak kecil yang sedang bermain sepeda fixienya, karena melihat ke arah langit-langit penasaran dengan keberadaan pesawat tersebut jatuh tersungkur di trotoar jalan. Bocah itu pun menangis tersedu-sedu. Lalu seorang wanita berkebaya membantu anak kecil itu, wanita itu menyeka air mata serta mengobati luka-luka yang ada di tubuh anak kecil itu. Kemudian setibanya di rumah, bocah itu menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada ibunya. Lalu ibunya berkata, "Oo... Kamu barusan telah diobati sama ibu fatmawati nak. Sudah...tidak apa-apa, lukamu pasti lekas sembuh.".
  Menjelang sore terdengarlah kumandang adzan disebuah masjid yang di sampingnya berdiri sebuah gereja, wihara, kuil dan di belakanganya berdiri sebuah klenteng kecil. Suara adzan itu padat, dalam sekali makna yang terkandung dari suara adzan itu hingga menyentuh hati yang mendengarnya. Ternyata itu suara W. S Rendra. Tak berapa lama. mulailah orang-orang berdatangan ke masjid. Gusdur yang baru saja selesai baca koran sembari minum teh terlihat datang ke masjid. Sholat Ashar berjama'ah pun dimulai dengan H. Agus Salim sebagi imamnya.
  Di tempat lain, tujuh jendral beserta keluarganya sedang berada di pinggir kolam, kolam itu dahulu bekas kolam buaya. Mereka sedang menikmati suasana sore hari disana. Seorang gadis kecil, anak dari salah satu jendral pergi bermain terlalu jauh. Ibunya yang sadar akan kehilangan anaknya kemudian mencari lalu mengejarnya, "Kamu jangan main jauh-jauh ade irma.... disini saja.". Ucap ibunya mengingatkan.
  Di pinggir jalan Tan Malaka, Sultan Hasanudin, Teuku Umar dan Pattimura sedang joging disore hari. Biji-biji peluh menetes dari badannya, mereka berempat singgah disebuah warung untuk istirahat dan minum. "Skak....!!!!!". Tiba-tiba suara seseorang yang sedang main catur mengaggetkan mereka. Orang-orang alim, menggunakan sorban, gamis serta kain sarung lokal ini sedang bermain catur di atas sawung bambu. Setelah dicermati kedua orang itu ialah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hayim Asy'ari. Televisi yang terus melototi mereka dengan berita-beritanya tak mereka indahkan. Cuma orang disebelahnya yang selalu tertawa melihat acara di tv itu, Mbah Surip namanya. Di tangan kanannya melekat sebatang rokok dan di tangan kirinya tersedia secangkir kopi. Belum sempat ia menyeruput kopi itu, datang seorang pengamen,"......Aku tahu ku tak kan bisa menjadi seperti yang engkau minta.....". Belum habis lagu tersebut dinyanyikan mbah surip menangis terharu karena ternyata dia adalah penggemar Chrisye, pengamen yang menyanyi di depannya. Berbincanglah mereka seperti dua orang saudara yang baru berjumpa. Banyak sekali yang mereka bicarakan dari eksklusifnya TIM sampai perkembangan musik di tanah air.
  Tak jauh dari tempat itu Dono, Kasino, Benyamin serta Timbul sedang main kartu dengan asyiknya. Dalam permainan itu timbul selalu kalah karena dicurangi oleh dono, kasino, serta benyamin. Tapi seperti biasa timbul cuma nyengar-nyengir dengan senyum khasnya.
  Kembali ke lapangan, bung karno dan bung hatta tampaknya telah selesai dengan ritual mereka. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Akan tetapi di tengah perjalanan bung hatta melihat seseorang berdiri di atas mimbar di tengah jalan. Orang itu tidak bersuara, hanya ada raut muka kecut di wajahnya. Sudah berkali-kali busway yang lewat terpaksa menghindar, karena ia berdiri tepat di atas perlintasan busway. Aroma busuk dari kali yang menghitam di samping jalan juga tak dihiraukannya. Pedagang kaki lima berserakan disekitarnya. Lalu bung hatta mendekatinya, "Maaf, pak. Bapak sedang apa di tengah-tengah lampu merah ini??". Orang itu cuma menoleh sejenak ke arah bung hatta tanpa bersuara. "Lho? Pak Ali Sadikin?! Kenapa berdiam diri ditempat ini?? Ayo mampir ke rumah saya tak jauh dari sini pak...". Ucap bung hatta denga keterkejutannya. Tapi ali sadikin tetap tidak bersuara.
  Disaat yang sama bung karno mampir ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam. Disana ia melihat Munir dan Marsinah yang sedang serius berbincang, entah masalah apa. Bung karno tapi langsung pergi karena ia sudah janji dengan istrinya untuk segera pulang. Saat bung karno beranjak pulang, Buya Hamka dan Sutan Takdir Alisyahbana baru saja datang di perpustakaan itu, disusul kemudian oleh Chairil Anwar yang rambutnya telah memanjang dan diikat ke belakang.
  Waktu sekarang menunjukkan pukul 8 malam. Wilayah senayan saat ini sedang ramai-ramainya karena ada pertandingan final sepakbola antara Persija Jakarta melawan Persib Bandung. Di tengah-tengah ribuan penonton terlihat Fan Tek Fong dan Yakob Sihasale juga ikut hadir untuk menonton laga klasik itu. Sedangkan di kelas VIP Maladi dan Soeratin sedang anteng menonton pertandingan itu. Sesekali mereka berbincang mengenai sepakbola indonesia kedepannya seperti apa.
  Lalu ditempat lain Raden Patah sedang termenung seorang diri di puncak Monas. Kadang ia berpindah ke atap gedung DPR, ke atap Istana Negara, kadang pula ia hanya berputar-putar di atas langit Taman Mini. Hanya itu yang ia lakukan selama ini. Keesokan harinya Hayam Wuruk melihatnya terlelap di atas jembatan semanggi. Padahal banyak yang sedang demonstrasi menuntut percepatan penegakan HAM di bawah jembatan itu. Mungkin itu pula yang dibicarakan Munir di perpustakaan, karena ia hadir bersama Marsinah, Rustomo, Sumiarsih, Sugeng serta tak lupa elemen-elemen dari Mahasiswa. Tampak di tengah-tengah seragam polisi, seragam jaksa, seragam hakim serta UUD yang dibakar, Wawan mahasiswa Atma Jaya sedang berorasi. Sigit anak YAI serta Muzammil anak UI juga hadir dalam demonstrasi tersebut. Hayam Wuruk yang segera membangunkan Raden Patah lalu lekas pergi dari tempat itu menuju alun-alun taman kota, karena takut dianggap pelaku intelektual.
  Sementara itu Gajah Mada dan Tutwuri Handayani pergi ke sekolah-sekolah untuk sekedar melihat aktifitas disana. Mereka sungguh kaget karena para murid SMA kerjanya cuma di kantin sambil merokok atau di depan gerbang sekolah bergandengan tangan siswa/i-nya. Mereka pun cuma bisa menggelengkan kepala. Belum lagi ketika mereka berdua pergi ke kampus-kampus , yang ada cuma anak-anak muda yang suka nongkrong tanpa tahu harus berbuat apa. Tak berapa lama ada seorang warga yang lari ketakutan, dengan serta merta gajah mada dan tutwuri handayani menghentikannya lalu menguak informasi apa gerangan yang terjadi dari orang itu. Lalu orang itu bercerita dengan terburu-buru bahwa ada keributan melibatkan warga Keramat Sentiong dengan warga Tanah Tinggi. Beritanya sudah tersiar di tv-tv nasional. Penyebab keributan cuma karena salah satu kelompok warga kalah main futsal lalu tidak terima. Keributan begitu brutalnya sampai terlihat seperti medan perang. Mobil serta kendaraan bermotor lainnya tak luput dari amuk warga. Pangeran Diponegoro yang sedang makan di Warteg sehabis belanja di Pasar Senen karena melihat berita tersebut dengan seketika muncul di tengah keributan. Kedua kelompok warga yang bertikai tersebut tidak menghiraukannya. Mereka terus saja saling lempar meski pangeran diponegoro berada di tengah-tengah mereka. Lalu pangeran diponegoro yang tak sabar akhirnya memukulkan telapak tangannya ke atas aspal yang ia berdiri di atasnya. Sontak, kedua kelompok warga itupun mental seperti ditiup angin kencang. Api yang berasal dari barang-barang yang terbakar pun padam saat itu juga. Dua kelompok warga itu ketakutan. Tak lama pangeran diponegoro berteriak, "Jika kalian tidak berhenti dan segera saling memaafkan maka tempat ini akan aku ratakan dengan tanah!! Ini sumpah ku Diponegoro!!!". Tanpa dikomando kedua kelompok warga ini berangsur-angsur berbaur satu dengan lainnya. Ada yang bersalaman ada pula yang berpelukan sambil meneteskan air mata. Seorang warga yang ingin mengucapkan terima kasih kepada diponegoro harus gigit jari, karena pengeran diponegoro telah menghilang dari tempat iru menuju alun-alun taman kota. Gajah mada dan tutwuri handayani yang melihat peristiwa itu juga menyusulnya menuju alun-alun taman kota.
  Dialun-alun taman kota, berkumpullah orang-orang sambil bercengkrama satu sama lainnya. Ditemani riak-riak air mancur yang muncrat dari tengah taman, suara-suara burung kecil yang beradu di atas pohon-pohon cemara, wanita-wanita transparan yang berlalu lalang serta anggur yang tiada duanya di dunia memenuhi cawan-cawan di meja sekitar taman. Lalu terlihat wajah-wajah yang beraneka ragam diantara kerumunan orang-orang disana.







[ Maaf jika ada kesamaan nama pelaku serta tempat kejadian karena hal ini hanya suatu kesengajaan yang benar-benar disengaja. Semoga mereka semua yang disebutkan dalam narasi fiksi di atas menjadi pahlawan seseungguhnya -setidaknya- dalam hati sang penulis. Amiin..] Share