The Truth Seeker Media

Kamis, 17 Maret 2011

Elegi Anak Zaman

Wajahnya kusam karena tersengat langsung cahaya matahari. Nafasnya terengah-engah dan tak jarang peluh menetes dari dahi dan sela-sela telinganya. Matanya terlihat dalam dan tajam mengawasi setiap titik yang menarik perhatiannya. Dengan sendal jepit kumal derap langkahnya sangat pasti dan meyakinkan meski yang ia lewati tanah merah basah bekas hujan semalam. Rumput dan ilalang saban hari menggodanya disebuah lapangan di kawasan pamulang. Sebatang pengait besi buatan setia di tangan sebelah kanan ditemani satu karung bulat yang dipapah di punggung kecilnya. Setiap hari ia menghabiskan jarak berpuluh-puluh kilo dalam satu kali perjalanan, padahal usianya belum genap 10 tahun. Usia yang seharusnya mendapatkan dasar-dasar pendidikan yang kita ciptakan dengan kebohongan dan ketidakadilan. Tapi tetap saja ia tidak mempedulikannya, kaki kecil itu terus melangkah ke arah masa depan.

Menjelang malam ia tiba di rumah reot yang terbuat dari kayu-kayu usang bekas sebuah bangunan. Rumah tersebut terletak di kaki sutet simbol pembangunan, hanya sepetakan 2x3 dan diisi oleh tiga kepala keluarga dan salah satu anggota keluarganya adalah dia.
"Kau sudah pulang raihan?? Makanlah dulu... Kau belum makan seharian bukan???" Sambut ibunya dengan pertanyaan.
"Baik mak, aku memang belum makan.." Jawabnya sambil melahap sepiring nasi aking dan sebiji kerupuk.
"Bagaimana hari ini?? Dapat berapa???" Sahut ibunya.
"Lumayan mak, dapat sekarung penuh." Jawabnya sambil terus melahap makanan yang ada dihadapannya.
"Baguslah.... nanti kalau sudah makan, lekaslah tidur! Besok pagi-pagi sekali kau sudah harus mulai memulung lagi. Bapakmu sudah tiga minggu sakit-sakitan." Ujarnya tanpa ekspresi.
"Baik mak." Suara raihan datar, sebelum berada diatas kasur tipis rombeng.

Pagi-pagi sekali berbarengan dengan dimulainya aktifitas di pasar cimanggis kawasan ciputat, raihan sudah bergelut dengan sampah-sampah non-organik. Dia sangat teliti mengawasi setiap jengkal tempat-tempat yang tersembunyi. Sampai tak terasa matahari telah meninggi di wilayah indonesia bagian barat. Sekolah-sekolah pun secara sistematik mengusir murid-muridnya untuk pulang ke rumah. Dan tak lama dalam perjalanannya, ia tiba di depan sebuah SD yang sedang ramai oleh kepulangan murid-muridnya, ia sempat terhenti sejenak memperhatikan anak-anak sebayanya. Lalu seorang laki-laki dewasa berseragam cokelat, yang ternyata seorang guru datang mendekatinya.
"Kau mau kemana?? Tidak pulang ke rumah??" Katanya sambil terheran-heran.
"Sebentar lagi juga saya pulang, saya cuma kebetulan lewat pak.." Jawab raihan.
"Kau tidak sekolah??" Tanya guru itu.
"Tidak pak." Singkat raihan tanpa penjelasan. Tapi sebelum guru itu kembali bertanya bocah itu meneruskan ucapannya.
"Jika jalan ini yang harus saya tempuh. Bapak cukup memperhatikan saja dan tunggulah saya di ujung jalan. Kelak saya akan tiba juga disana." Lalu raihan pun pergi membelakangi guru itu yang masih terbengong-bengong dan terus saja berlalu menlanjutkan perjalanannya.
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar