The Truth Seeker Media

Rabu, 25 September 2013

KEJUTAN




Aduar berkata, terdiam.


KELAHIRAN


Perlahan mata Aduar mulai terbit, pemicunya kicau burung-burung gereja di ranting sukun. Angin malam yang cukup lama berkeliaran kini hanya mewariskan bulir-bulir embun saja. Tampak tak siap menerima terpaan binar-binar mentari.

Dan, bisa ditebak. Sang embun langsung mati. Sebagian yang lain nekat loncat ke dalam tanah hitam yang menjijikan. Terlampau takut akan kepanasan.

Gemuruh dedaunan pun kelewat berisik, hingga belalang dan kupu-kupu mendadak jumpalitan kaget dengan perpindahan malam ke pagi yang begitu cepatnya.

Pagi ini tak ubah sebelumnya. Nyaris sama dengan hari lainnya yang begitu-begitu saja.

Dan rencananya, pada senin yang silau ini Aduar hendak sekali lagi menaklukan dunia. Terlalu lama sudah dunia bertekuk-lutut di hadapannya. Meski tak jelas siapa tuan yang sesungguhnya. Dirinya? Atau justru sang dunia?

Ah, Aduar tak pernah ambil pusing. Buktinya ia hidup! Pertanda dunia masih ada di bawah kakinya. Ya, baginya dunia dan segala isinya kini hanya nurut pada dirinya semata. Lihat bagaimana udara takluk semata untuk terus ia hirupi tanpa batas. Bagaimana air amat pasrah masuk ke dalam kerongkongannya. Tumbuhan dan hewan-hewan yang mau saja ia bodohi untuk menjadi kepentingannya. Tanah dan segala jenis sumber daya alam yang ia rantai bak anjing penjaga. Bahkan sesama manusia pun banyak yang tak berkutik di hadapannya. Karena dirinya adalah seorang raja. Raja bagi semua manusia yang ‘cuih!’ tak berharga.

“Minggir kau monyet!” seorang pegawai kantoran dengan tergesa-gesa mendepak Aduar yang masih menikmati pagi bersandar di bawah lampu merah simpang ibukota dengan khayalan besarnya. “Dasar orang gila!” lanjut pegawai itu dengan masih tersungut-sungut. Aduar hanya tertawa bahagia melihat sang pegawai dikejar-kejar oleh batas dan waktu.

Setelah perutnya terisi dengan beraneka makanan prasmanan dari tempat sampah rumah makan. Ia kini menatap sebuah ruko yang masih berlapis tralis besi. Tempat itu adalah toko penjual piringan hitam. Mejadi sebuah rutinitas harian bagi Aduar untuk menikmati lantunan musik-musik klasik yang biasa disetel oleh sang penjaga toko. Ahong namanya. Peranakan Cina dengan hati yang  baik. Malah terlalu baik. Seringkali ia mempersilahkan Aduar untuk masuk, tak jarang pula ia siap berbagi makanan serta kamar mandinya untuk Aduar. Tapi Aduar menolak. Ia hanya tak mau bergantung dengan orang lain.

“Sudah tiga hari ini kau mainkan Handel, Pak Ahong. Apakah kau sedang mencari-cari arti romantisme?” sergah Aduar saat toko itu baru saja di buka. “Memang romantisme adalah misteri. Tak semurah definisi puisi penyair-penyair gombal atau film-film standar rumah produksi. Kau hebat!” lanjut Aduar agak meluap-luap.

“Kau keliru. Aku sedang tidak dilanda romantika. Hanya ingin mendengarnya saja, tak lebih. Aku bersumpah,” jawab Ahong dengan senyum menjuntai dan mata sipitnya tertutup kian rapat.

Lagi-lagi Aduar hanya tertawa bahagia. Dalam hati ia berkata, “Aku tak pernah butuh sumpahmu!” lantas ia mengunci mulutnya rapat-rapat takut lalat-lalat ekonomi mati tak mengerti karena ucapannya yang maut. Tapi, pikirnya, kenapa aku harus takut? Soal mereka tak mengerti itu bukan urusanku. Kalau pun mereka mati itu juga tak jadi soal bagiku.

Dengan perawakan kunyel. Aduar mulai perjalanannya. Bukan. Baginya ini bukan sebuah perjalanan biasa, tapi ini adalah ziarah. Dan ia adalah seorang peziarah. Tujuannya adalah hidupnya sendiri.




PEZIARAH


Setelah terbangun Aduar lantas mengutuk-ngutuki para burung gereja yang demikian lancang merampas tidurnya. Belum juga beranjak, sisa hujan dan angin semalam kini menetesi sebagian badannya. “Demikian sempurna pagi hari ini,” lirihnya dongkol. 

Padahal semalam ia baru saja mengalami peristiwa yang menyenangkan. Di depan sebuah gedung, sekelompok orang ribut dengan sekelompok yang lain. Salah satu kelompok dengan pakaian serba seragam dan senapan laras panjang di genggaman. Kelompok yang lain dengan atribut warna-warni dan spanduk-spanduk bertuliskan keluhan. Pakaian mereka tak seragam meski di balik pakaian merekalah seragam sesungguhnya ia kenakan.

Ternyata sebuah kerusuhan antara mahasiswa dan aparat kepemerintahan, tepat di depan gedung parlemen. Letusan-letusan molotov hadir silih berganti. Moncong-moncong magasin tak habisnya memuntahkan peluru.
Aduar tertawa bahagia. Tak pernah sebelumnya ia menikmati pergelaran yang luar biasa epik. Di samping pertarungan antara kebodohan dengan kekuatan. Entah siapa yang bodoh, siapa yang kuat. Satu-satunya tontonan yang paling menakjubkan bagi Aduar ialah pada medio 98 lalu. Selain itu hanya sebuah percikan bukan lagi ledakan.

Mahasiswa itu keterlaluan bebal! Katanya. Perlawanan mereka itu tak ada artinya. Kalaupun berarti paling hanya beberapa hari menjadi headline berita-berita di surat kabar dan televisi. Lantas setelah itu kehidupan berjalan seperti biasa lagi. Anak bau kencur bicara perubahan. Cuih!

Persis sama dengan apa yang para pejabat pemerintah lakukan. Bicara segala pernak-pernik perubahan dengan dihiasi kata-kata menawan. Tapi apa? Sekali korup selamanya korup. Dan orang-orang macam itu keterlaluan tak tahu malu. Mungkin sudah putus urat malunya, atau barangkali tak punya lagi kemaluan.
Selepas bosan dengan tontonan yang monoton. Aduar beranjak pergi lagi.

Tatapan mata-mata sinis selalu menghiasi derap Aduar selangkah demi selangkah. Tak jarang pula dengan bumbu-bumbu intimidasi. Ah, betapa Aduar bahagia sekali diperlakukan sebegitu istimewa. Baginya ia layak mendapatkan penghargaan seperti itu. Pertanda bahwa ia satu-satunya sang pembeda dari sekian banyak kasta. Kasta tertinggi, kasta orang hidup. Selebihnya masuk ke dalam kasta orang mati. Para mayat.

Banyak para ahli mengatakan kasta di dunia ini dibagi dengan istilah-istilah yang menggelikan. Kasta priyayi dan kasta kawula. Atau kasta borjuis dengan kasta proletariat. Kasta si ningrat dengan kasta si budak. Dan yang paling mudah diingat tentu kasta untuk para orang kaya dan orang miskin. Keterlaluan goblok! Sebenar-benarnya kasta adalah si hidup dan si mayit. “Hahahaha!” Aduar tak bisa lagi menahan gelaknya memikirkan para mayat masih saja menatapnya dengan merendahkan. “Hahahaha!”

Namun dalam sekejap, huru-hara lebih dahsyat pecah di depan kedua mata Aduar. Kali ini antara pemuda berpakaian serba loreng hitam-oranye dengan sekelompok orang berlogat kasar yang katanya putra daerah Ibukota. Peperangan kali ini murni tanpa sebab yang jelas, meski bau tengik mulut-mulut mereka menjadi semacam penjelasan yang lain. Mereka mabuk. Emosi mereka senewen layaknya seorang gadis datang bulan. Melihat itu Aduar girang bukan kepalang. Satu lagi spectacle yang sedikit bisa menghibur dirinya dari suasana serba kaku dan palsu. Betapa ia terkesima dengan umpatan serta beringasnya orang-orang dalam medan pertempuran. Tak ragu mereka saling tikam dan hunus berbagai senjata tajam. Sungguh artistik.

Dalam ekstase yang seolah tak berkesudahan, mendadak sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya. Langkah yang sedari tadi plong seketika membatu. Acaranya pun terganggu. Empat orang berpakaian serba hitam tanpa aba-aba menyergap Aduar yang telanjang. “Mau apa kalian?” berontak Aduar. “Sudah diam! Masih untung ada yang mau peduli sama sampah macam kau!” bentak salah seorang. “Brengsek! Kalian para mayat tak pantas bersanding dengan diriku! Kalian para mayat tak patut memeperlakukan satu-satuya orang yang hidup di dunia ini seperti ini! Kalian para mayat sok mengerti hidup padahal kalian sendiri sudah lama mati! Kalian para mayat….!” Aduar terus saja mengerang bak singa kalah pertempuran. Sepanjang perjalanan orang-orang asing itu menangkap beberapa orang lagi sebelum sampai di sebuah bangunan lapuk.
Bangunan itu adalah sebuah panti. Dipenuhi dengan orang-orang yang mengidap gangguan kejiwaan. Mereka dalam proses rehabilitasi.

Melihat hal itu Aduar semakin meronta-ronta. “Bajingan! Kau pikir aku ini gila? Aku ini satu-satunya orang hidup di dunia ini dasar kalian para mayat! Kalian tak lebih dari bangkai! Lepaskan aku sekarang!” Sebuah obat bius pun terpaksa membungkam dirinya untuk beberapa saat.

Pada sebuah alam bawah sadar. Aduar kini bediri di atas haluan. Satu-satunya haluan yang ia temukan sejauh sudut mata memandang. Tak ada apa-apa selain maha latar gelap nan serba hitam. Dari atas tempat ia berdiri, terdapat beberapa persimpangan, persis arah delapan penjuru mata angin. Namun lambat laun segala penampakan itu makin lama semakin menghilang. Dan mata Aduar terbuka dengan sempurna. Aduar telah sadar.




TERSIBAK!


Setelah berjam, bermalam, bahkan berhari-hari di bangsal busuk ini. Aduar tetap tak terima dengan keadaan. Ia belum juga berdamai, dan tak akan pernah berdamai dengan para mayat yang tak tahu diri-tak tahu diuntung itu. Kebahagian yang ia bangun kini harus tertawan oleh para najis yang selama ini kerap ia kutuk. Kebahagian sejati. Tanpa ada andil serta pretensi apa pun. Bukan kebahagian yang melulu diukur dengan materi serta popularitas seperti kebahagian para mayat. Sungguh tak bisa diterima. Kebahagian miliknya kini terancam. Dan parahnya lagi, mereka anggap Aduar gila dengan konsekuensi segera direhabilitasi. Sebuah lelucon yang benar-benar tidak lucu.

“Andai saja tangan serta kakiku tak dipasung sedemikian hina mungkin aku telah menemukan jalan keluar dari tempat ini,” bisiknya dalam hati.

Dari balik pintu tiba-tiba seorang pria paruh baya datang mendekat. Seorang dokter. Dokter yang sama dengan hari-hari lalu. Sejurus, ia keluarkan stetoskop dan sebilah jarum suntik. Aduar pun lagi-lagi kalap. Segala caci maki begitu deras keluar dari mulutnya. Tapi tetap ia tak bisa berbuat apa-apa. Belenggu pada seluruh persendiannya terpasang begitu kencang. Seinci pun ia tak bisa bergerak. “Bangsat! Mau apa lagi kau setan alas! Berani-beraninya kau perlakukan seorang raja seperti ini! Aku ini rajamu! Cepat kau sujud di hadapanku! Minta ampun secepatnya!”

Sang dokter tak bergeming. Selepas pemeriksaan dan pengambilan darah rutin, ia langsung beringsut tanpa ekspresi apa pun. Sedangkan Aduar masih saja dengan rentetan serapahnya.

Lama sudah Aduar tak pernah semarah ini. Mungkinkah akibat sikap lunaknya belakangan ini kepada dunia? Ataukah sikap permisifnya kepada orang-orang yang semestinya ia musnahkan? Semesta kemungkinan berkecamuk dalam benak Aduar. “Harusnya aku bantai mereka semua! Agar damai,” geramnya.

Lalu sang dokter muncul lagi. Kali ini dengan beberapa orang di belakangnya. Sesuatu yang buruk tampak akan terjadi. Pikir Aduar.

“Kalian para bangkai busuk lekas lepaskan aku! Aku ini pewaris dunia. Satu-satunya yang hidup. Sungguh lancang apa yang kalian lakukan!” terjang Aduar yang tak juga ditanggapi. Mereka terus saja bergerak memindahkan Aduar. Tak lama mereka telah berada dalam sebuah mobil. Mirip mobil jenazah, hanya sedikit lebih buruk. Dalam perjalanan Aduar tak henti-hentinya menyumpah serapah. Wajahnya memerah. Urat-urat di lehernya pun semakin terlihat kentara.

Kurang lebih tiga jam perjalanan, lama waktu yang ditempuh sebelum mobil angker ini benar-benar berhenti. Tepat di sebuah antah-berantah. Aduar yang sempat tertidur kini terbangun. Burung-burung gereja terus saja mengeluarkan suara-suara khasnya sambil terus bertengger dari satu dahan ke dahan lain. Belantara pepohonan begitu rapatnya hingga tak menyisakan apapun.

Mereka terus saja bergerak seperti mencari titik tertentu.

“Hei! Lepaskan aku bajingan! Sebelum kau menyesal! Aduar mulai menyembur. Mereka tetap tak minat, sambil terus menyisir sudut-sudut rimba. “Apa yang kalian lakukan? Aku ini manusia kasta tertinggi! Kalian orang-orang mati harus segera melepaskan aku!” seolah telah khatam dengan kata-kata Aduar. Mereka tetap dingin.

“Ini dia!” luap sang dokter sambil menunjuk sebongkah batu hitam kusam persegi panjang. Aduar yang sedari tadi membanyol tak karuan mendadak terdiam saat melihat batu hitam ganjil itu. Semakin terhenyak setelah tahu bahwa itu adalah batu nisan sebuah kuburan lama atas nama dirinya.


Share