The Truth Seeker Media

Jumat, 28 Desember 2012

Yang Tak Terucap

Digital-Art-Gallery

Jarak diantara kita malam barusan cuma diam.

Aku tak pernah tahu bagaimana cara mengungkapkan, namun aku paham betul bagaimana bersitumbuh tanpa seorang Ayah.

Aku mengerti sungguh apa yang kau rasakan.

Jarak diantara kita malam barusan cuma diam.
Share

Kamis, 27 Desember 2012

Dialektika Mayleinthami


I
Mayleinthami dan Cerita Kecurangan

wikipaintings.org


Mayleinthami yang baik.
Tabik,

Aku di sini dalam keadaan yang tertib. Mulai bisa mengeja sesuatu dengan tekun. Memang, cerita yang kubagi denganmu beberapa waktu lalu terdengar begitu sumbing. Kau sampai memiris. Padahal belum semua ku ceritakan, sebait pun belum. Namun aku tak berniat menceritakannya pada siapa pun. Membayangkan saja adalah sesuatu yang  kutakuti sekarang, saat ini.
Aku sedang mengalami gangguan kejiwaan, traumatis. Aku trauma.Ya, aku trauma, trauma teramat sangat dengan senoktah kecantikan, dengan ungkapan merayu sendu, dengan suara dan tempat yang amat familiar jahanam. Belum lagi bayangan yang kuhadirkan sendiri. Benar-benar aku  trauma dengan  itu semua.
Tapi ya sudah, kau cukup tahu sampai di titik itu. Karena selebihnya biarkan jadi sebuah  nalar yang terus mengejar agar bisa mengajar tanpa perlu banyak berujar.

Mayleinthami,
Sesaat sejenak ku pikirkan diriku adalah seorang Munir  yang dengan  mata hati melihat malaikat dalam diri Suciwati. Kesesuaian yang  mempertemukan mereka. Kesesuaian akan takdir. Kesesuaian yang terbuka dengan bijaksana. Nun jauh  lebih dewasa dari cerita kusam Adam dan Hawa, bahkan jauh lebih moksa.
Sebentuk kejadian. Apa yang membahagiakan dari itu? Setitik proses lebih bisa mendewasakan, dengan cara yang entah. Tanpa kau harus mereka-reka seperti mengupas bayangan dalam lautan siluet atau seperti mencari peruntungan agar tetap kering di tengah isak hujan yang  menggejala.
Diam-diam rasa sakit mempertemukan  kita bersama pada tempat  pada massa yang tak pernah kita duga sebelumnya. Lalu kita tertawa lepas sampai lupa bahwa bahagia tak ada di dalamnya. Pada momentum  itu sebagian kita sekuat sisa tenaga menahan sadar meski pada akhirnya waras sedikit demi sedikit mulai pudar. Kita pun juga sudah  saling  tahu sebenarnya luka yang menisbahkan kita untuk bertemu pada akhirnya menjadikan kita manusia dewasa.
Dan untuk pertama kali, setiap yang terlihat setiap yang terdengar menyimpulkan rasa yang sama, paradoks. Berkali-kali dengan cara dan perspektif berbeda pun rasanya tetap sama saja habis air mata sia-sia.


Kulihat seseorang berlaku  seperti Tuhan. Mengadiliku dengan beragam sebutan, seolah dia Yang Maha Benar, dia Yang Maha Pintar. Jangan pernah menanyakan arti kesetian padanya atau apa makna sebuah  rasa, ku mohon jangan. Sebab dia tak miliki hati, melainkan maha hati. Hati yang lebih sejati.  Karena dia berlaku seperti Tuhan,  mengadiliku dengan beragam  sebutan.
Barangkali aku terima semua itu, semestinya aku tak bisa terima. Bagaimana tidak? Dengan lembut ia membohongi hidup atau jangan-jangan semua aura di sekelilingnya yang menjadikannya seperti itu. Busuk. Sebuah kesalahan mendasar dan terlalu tipikal. Aku terlalu kompromis terlalu melankolis untuk menyikapi manusia nista seperti itu. Tak ada doa lain selain kutukan, tak ada yang pantas untuk kemudian dimaafkan.

Kau harus mengerti May,
Aku bukan Tuhan dan tak mencoba untuk menjadi atau berpikir seperti itu. Aku manusia biasa yang punya peluang dan ruang untuk kemudian tidak memaafkan. Hatiku terlalu hitam. Belum lagi aku kini hidup dengan sejuta angkara. Apa wajar jika kemudian aku lapang?

Sesungguhnya Tuhan menerima segala jenis penyesalan yang paling dalam dari hamba-Nya. Tuhan Maha Pemaaf, Maha Penerima Taubat. Tapi aku tidak. Aku hanya menerimanya menjadi sebuah kenyataan yang aku harus terima.

Kau harus mengerti. Suatu saat kau akan mengerti.

Selaksa bulan kemudian, ku coba tertidur dengan mengenyahkan semua mimpi. Semuanya tanpa terkecuali. Karena ternyata dalam mimpi pun aku masih saja dicurangi.





II
Mayleinthami dan Romantisme

wikipaintings.org


Mayleinthami yang antik.

Kau tak pernah mengenal diriku, aku pun begitu. Tapi destinasi menghantarkan aku dan kau dalam lembaran kejadian ini. Lembaran yang barang sesaat lagi akan menjadi benang merah sejarah antara masing-masing engkau dan aku. Tak akan pernah terpikir kemudian akan seperti apa selanjutnya. Bahkan setelah titik di akhir kalimat ini pun kita tak pasti tahu apa kelanjutannya.

Seperti itulah Mayleinthami, leluhur dan serta orang-orang sebelumnya menyebut hal yang demikian ganjil dengan istilah yang cukup populis atau patut dicurigai jangan-jangan istilah ini dibiakan oleh rahim para eksistensialis. Buka mata, mungkin saja. Istilah yang esoteris itu diberi nama kehidupan. Kehidupan Mayleinthami.. Kehidupan!

Betul. Sampai sekarang meraba kehidupan menjadi kebiasaan baru yang syarat haikiki repetitif, padahal manusia telah hidup beribu tahun atau malah lebih lama dari yang kita duga-duga. Tik-tak-tik-tak. Tapi tetap saja manusia dengan kalap terus menggerus memperkosa kehidupan sampai pada titik kesempurnaan. Menjadi sempurna dengan segala cara, segala-galanya, yang penting sempurna. Ah, manusia! Tak kan pernah dewasa.

Mungkin itu pula yang menyebabkan aku gagal puitis. Aku gagal puitis dalam dunia yang tak lagi melankolis.  


Mayleinthami sayang,

Hatiku lelah jika kau terus suruh aku merongrong persesuaian. Nyatanya memang sedari awal ketulusan terlampau mahal untuk kita selalu timang. Dan lagi. Semburat terang yang kuantarkan padamu waktu bulan Juli, kini nirarti. Banyak doa, banyak harapan yang gerayangan tanpa tujuan. Cuma luka kesembronoan yang membawaku pulang, remah jejaknya masih tersisa dalam pergelangan tangan dan itu, sakit rasanya. Kau menyaksikan sendiri bukan?

Pada akhirnya perbedaan yang mempertemukan kita. Kita tahu kita berbeda. Tapi kita juga sempat tahu kita pernah terluka dengan cara yang sama, dengan cara-cara yang begitu kita kenal.


Aku ingat betul bagaimana akhirnya kita bertemu.








III
May dan Pertemuan

Ahad, 3 Maret 2013

wikipaintings.org
May yang manis, 

Malam yang romantis,


Hujan memepertemukan kita kembali untuk menyempurnakan malam yang statis.
Tak ada janji khusus, hujan datang begitu saja tanpa perantara.
Ku bayangkan seperti engkau kekasihku,
Ku bayangkan seperti engkau..

Ini malam kudus,
Bagiku,

Bulan dimana dalam sejarahnya, jauh sebelum ku lahir adalah sebuah gerbang takdir,
Untuk bekal dan bahan bakarku seterlah terlahir..

150 tahun dari sekarang dan mungkin lebih jauh kebelakang..


Malam ketiga bulan maret, hujan yang sama mendekap kita lagi,
Seakan memberikan waktu untuk kita agar terus bicara..
Kau tahu?
Aku kehabisan kata-kata.
Di depam mataku hadir engkau yang membuatku terkesima. Aku kehabisan kata-kata.
Ada cahaya dalam nuranimu luar biasa menyala,
Aku terkesima..



May,

Perlahan sesuatu itu menggugah
Seperti kata-katamu yang entah membawa pada titik sebuah pencerahan.
Aku ingin mengenalmu lebih, sekaligus menjagamu tetap seperti itu.
Jauh dari pengaruhku, pola pikir peripatetis.
Kau yang jauh dari filsafat namun filosofis..
Kau yang jauh dari teofani namun teis pragmatis..
Aku tak pantas di duniamu..

Kau terus membawel, bicara dan tertawa hingga kau menaruh memorandum di antaranya...

Aku massih terkesima kehabisan kata-kata..

"Sejak pertama kali bertemu, ku doakan kebahagian untukmu", bisikku dalam hati.
Share

Selasa, 11 Desember 2012

Ciledug dalam Instrumentalia Bulan Desember

            Dan Ciledug, titik pertemuan dua arus. Kunamakan demikian, karena untuk mengatakan itu sebuah cinta, terlalu murah harganya, apalagi tak akan pernah ada cinta di sana. Tak pernah. Walaupun aku memang telah jatuh cinta pada pesonanya. Cintaku pada pandangan pertama, pada keasriannya, pada kejujurannya, pada kesederhanaannya, pada kebijaksanaannya. Ya, pada Ciledug. Jika di tengah pulau jawa keindahan bisa terdefinisikan dengan kehadiran Bumi Ayu, maka di sebuah sudut kota Tengerang definisi keindahan ada pada Ciledug. Entah, aku tak pernah tahu apa sebabnya. Tapi bukankah memang seperti itu cinta? Datang tiba-tiba tanpa pernah tahu sebab pastinya. Seperti angin yang selalu entah datang darimana.
            Perspektif lain dari Ciledug adalah kampung halaman, seketika nyaman dan keramahan menyelimuti saat itu juga. Padahal kampung halamanku jauh beribu kilo jaraknya. Seberang lautan, seberang eksistensiku sendiri. Agak aneh untukku untuk bisa kembali lagi ke sana. Karena di sini pun aku ada, mungkin seharusnya. Teringat akan sebuah nasihat. Bukan dari Bapakku, karena ia sudah lama menemukan tempatnya di sana. Bukan juga Ibuku atau Kakak Perempuanku yang sudah lama aku tak pernah melihat mereka. Namun dari aku yang bermetamorfosa ke dalam wujudku di masa depan. Aku yang ini -- aku yang lain – dengan elegan mengatakan,”Pada akhirnya kau akan tahu mau apa”. Ucapan itu seolah mempertanyakan kembali makna perfeksionisme dalam aku.

            Lalu bulan desember, tak ada lagi bulan yang kurindukan selain bulan ini. Tingkat kerinduanku sama dengan kerinduan akan sesuatu yang kini ku tak tahu lagi apa itu. Namun jika harus mendeskripsikan desember. Bagiku pribadi, desember adalah bulan dimana jawaban mengenai harga sebuah kesetiaan terkuak. Persis seperti yang dikatakan Cholil dalam “Desember”. Tak akan pernah ada yang lebih menyakitkan dari itu semua. Sungguh semacam ironi dalam drama musikal. Dan mungkin dalam desember ini juga, tak ada lagi alasan aku harus ke Ciledug. Karena untuk apa? Bagiku Ciledug cuma memori membatu, kaku, dalam bulan yang seharusya kutemukan tempat untuk tertawa bahagia. Namun untuk saat ini aku hanya sanggup untuk sekedar tetap bernafas. Baru bisa itu saja yang kulakukan.
            Mengingat Ciledug adalah caraku untuk melupakannya.
            Geneologi. Dalam sudut ini harus kukatakan bahwa kasihan anakmu, kelak harus membawa  sifat-sifat yang begitu. Kenapa tak juga membaur dengan tempat asalmu yang Ciledug itu? Agar keasriannya,  kejujurannya, kesederhanaannya,  kebijaksanaannya menyatu dengan darahmu.
            Lalu bagaimanapun post rock, ambient dan instrumentalia lainnya tetap tak bisa menggambarkan seperti apa wujud kekecewaan yang terdalam, meski seberapa berat aku berkontemplasi dalam diam, dalam kesepian.
            Seperti bulan desember yang diam, serta ciledug di dalamnya.
            Penyesalanku ialah aku bernah berujar,”Kau bisa saja meninggalkanku, tapi aku tidak”. Ternyata kini aku punya lebih banyak alasan untuk meninggalkanmu. Bahkan untuk menempatkannya dalam jagad memori yang terkelam sekalipun. Ciledug.
Share

Senin, 17 September 2012

Musik Pop Yang Tidak Populer

AnneAhira

Seperti yang kita ketahui banyak perdebatan mengenai musik pop dimasyarakat pecinta musik di tanah air. Saking banyaknya masyarakat yang kontradiktif terhadap masyarakat yang lain, yang akhirnya (entah disengaja atau tidak) memunculkan beragam argumen tentang musik pop diantara mereka. Perbedaan yang paling mencolok adalah musik pop sebagai "musik yang populer" atau musik pop sebagai "jenis musik". Untuk lebih jelasnya kita akan memetakan terlebih dahulu mana yang musik pop sebagai "musik yang populer" dan musik pop sebagai "jenis musik". Jika kita melihat musik pop sebagai "musik yang populer" tentu hal tersebut sangat terkait dengan industri, media, pasar, dll. Musik seperti ini diciptakan memang untuk dijual. Seberapa pun idealismenya musik mereka jika tujuannya hanya untuk mencapai target sekian juta copy tentu masuk kedalam musik "penghilang kesadaran" atau -musik yang populer- ini. Di dalam kategori musik ini semua jenis musik bisa masuk ke dalamnya, tak hanya musik pop sebagai "jenis musik" tetapi jenis-jenis musik lain pun bisa msuk ke dalam kategori ini dari musik melayu, dangdut, rock dan genre-genre lainnya yang lebih spesifik pada jenis musik tertentu seperti hip-hop, punk, R&B, metal dsb.
Ironisnya dunia musik kita telah dipenuhi hama ini. Selanjutnya jika kita melihat musik pop sebagai "jenis musik" tentu kita harus memahami terlebih dahulu musik pop sebagai "jenis musik". Musik pop sebagai "jenis musik" yaitu musik yang easy listening, mudah dicerna dan tanpa ada unsur-unsur musik lain (baik iramanya maupun alat musiknya itu sendiri) dan bisa dikatakan musik yang "lurus-lurus saja", baku.. Jadi segala jenis musik haruslah tereduksikan dari penjelasan di atas. Ada hal yang menarik dari kategori musik ini yaitu; Pertama, ada musik pop sebagai-jenis musik-yang populer. Musik ini merupakan afiliatif dan sintesis dari kedua kategori di atas. Musik inilah musik pop yang sejati. Kedua, ada musik pop sebagai-jenis musik-yang tidak populer. Ada dua tendensi yang menyebabkannya demikian. Tendensi pertama adalah karena memang tidak populer artinya tidak disukai oleh masyarakat tanpa ada kesengajaan (maksudnya musik ini tetap mencoba untuk populer tetapi memang masyarakat tidak menyukainya). Tendensi kedua adalah karena memang sengaja untuk tidak populer biasa kita sebut sebagai musik yang idealis atau musik indie -kita sebut saja begitu- yang tidak terikat dengan industri (label rekaman). Musik ini sebenarnya senantiasa hidup dari massa ke massa seiring dengan pergolakan sosial-politik pada masanya, apalagi di zaman sekarang. Musik ini sebenarnya bisa juga menjadi musik populer tetapi mungkin karena memang karyanya yang berkualitas (perlu digaris bawahi -karya yang berkualitas- dan tanpa bermaksud untuk populer) sehingga keadaan yang menjadikannya demikian. Musik ini sebenarnya telah banyak di dunia musik di tanah air tetapi tidak sebagai "hama" seperti musik populer yang ada, melainkan sebagai pelepas dahaga bagi prestasi permusikkan di Indonesia karena tak bisa dipungkiri ternyata musik jenis ini lebih diakui keberadaanya dan lebih diapresiasi di mata internasional dibanding di negeri sendiri. 
Musik pop sebagai -jenis musik- yang tidak populer sebenarnya tidak kalah keras bersuara dengan idealisme dan gagasan-gagasannya dibanding dengan jenis-jenis musik lain yang tidak populer juga (musik indie/ idealis/ underground). Jadi sungguh menggelikan jika ada pecinta musik tertentu yang meremehkan keberadaan musik pop sebagai "jenis musik" yang tidak populer hanya karena memainkan musik pop! Padahal belum tentu musik pop yang mereka remehkan ternyata lebih pop dari pada musik yang mereka sukai! Selain itu dalam dunia musik juga telah ada"scene" masing-masing dalam bermusik. Di dalam kategori musik pop sebagai "jenis musik" yang tidak populer ada satu lagi bentuknya yang bisa dikatakan lebih ekstrem dari jenis-jenis musik yang ada yaitu "Musikalisasi Puisi". Musik ini lebih menitik beratkan pada kandungan isi liriknya tanpa mengurangi perhatian pada kulaitas musikalitasnya. Orang-orang yang memainkan musik ini lebih bisa dikatakan sebagai "Seniman" dari pada "Musisi" karena substansi bermusiknya lebih luas dari bermusik itu sendiri, tak jarang dengan memasukkan unsur-unsur tradisi-kebudayaan. Maka sebaiknya masyarakat di tanah air bisa lebih melek dalam menikmati musik. Maju Terus Musik Indonesia!!!


Share

Selasa, 07 Agustus 2012

Nawangwulan

Langkahku terpaku beberapa silam lalu. Ketika itu, ketika berjuta helai moksa mengalihkan arah perhatianku. Ku pikir Nawangwulan kembali tertinggal oleh kawanan atau masih terjebak oleh pencarian sehelai selendang. Tapi ternyata dialah tersangka yang memaku langkahku. Tepat di depan ke dua mataku, aku terpaku.

---oOo----

Pernah suatu ketika canggungku lebih menggebu dari sebuah rindu. Rindu yang juga menggebu. Rindu yang terpendam dalam, yang menguap menjadi jalinan-jalinan asa. Rasa rindu. Rindu yang beku, kaku lagi membatu.
Lalu sebuah senyum yang seharusnya untukku, ku relakan akibat tabiat rasa canggung itu. Perasaaan yang membunuh rindu-rinduku tanpa tahu malu!
Sebuah senyum yang melebur, bukan untukku. Sebuah senyum yang melebar, hanya untuknya entah siapa.
Pernah pada suatu ketika rasa ingin tahuku akan engkau Nawangwulan terbayar dengan kepedihan, kepedihan yang menyesakkan. Sebuah realitas yang pantas untuk ku retas. Kemudian ku bilas ke wajahku yang muram memelas.
Pernah juga pada suatu ketika kulihat engkau dan hidup, kulihat hidup dan engkau, kulihat  berdampingan seperti  sisi-sisi mata uang. Diam, aku ajukan pertanyaan membatin, “Apakah aku sudah hidup?”. Pertanyaan itu menghantuiku, semakin menggangguku, menawanku hingga tak tahu lagi aku mana hidup itu. “Tapi mungkin engkau punya jawabnya”, pikirku.

Lalu pernah pada suatu ketika gerombolan awan perlahan mengkelabu, berarak tepat di atas kepalaku. Menari-nari seperti ribuan monolog kosong dan sejuta kali lebih kelam dari gelap malam. Tak ada yang dapat ku lakukan selain mengirim sebuah salam kepadamu Nawangwulan.
Atau pernah pada suatu ketika mata kita bertemu pada satu titik. Titik itu hitam pekat berbinar, titik itu pelan-pelan menelan dengan kelemah lembutan, titik itu seketika membius dengan ajaib, titik itu bicara dengan sinestesia, titik itu adalah pusat cakrawala, semesta dalam ruang citra. Titik itu mata kita. Nawangwulan.

Dan pernah pada suatu ketika, aku bernazar tentang rasa. Bagaimana aku harus mencintanya, bagaimana aku harus menghargainya, bagaimana aku harus menjaganya, bagaimana aku ingin mencinta & cinta itu engkau Nawangwulan.
Kemudian pernah pada suatu ketika, aku berkaca pada bayangangku sendiri. Sebab bayanganmu tak pernah bisa ku dekati. Bayanganku mencacimaki, mengancam untuk bunuh diri karena kerap membiarkanmu pergi, Nawangwulan.

Pernah pula pada suatu ketika, aku merupa karang-karang teguh berdiam, meski kesinisan & keasinganmu mentertawakan aku begitu nyata. Aku layu, kekecewaan menjadi tiang gantungan untukku kala itu. Namun lagi-lagi aku merupa karang. Tidakkah kau ingat? karang.
Pada akhirnya pernah suatu ketika, aku terbebas dari keterpasungan mimpi. Aku merah, aku marah berontak berdarah. Lalu ku kubur mimpi itu dalam tanah serupa sejarah. Ku buat ia hidup, ku buat ia nyata seperti retorika. Sebagian mereka menyebutnya dengan takdir, sebagian lagi menyebutnya dengan sebutan-sebutan yang mereka suka. Lucu benar, karena aku sendiri yang merasakannya. Aku merasakan kau nyata, benar-benar nyata, Nawangwulan.




*Terinspirasi dari riwayat Jaka Tarub.




Share

Rabu, 06 Juni 2012

Odong-odong, Bus Tingkat dan Sensitifitas Jakarta


Belakangan ini gue akuin gue emang agak sedikit sensi. Bagaimana gak coba? Kajur di Fakultas udah mulai underestimate & skeptis pula sama kehidupan perkuliahan gue. Bacotnya itu lho! Pedasnya bukan main. Gue dibilang males lah, gue di bilang gak serius lah, ahh pokoknya banyak konotasinya yang bikin kuping gue panas. Tapi beruntung gue masih bisa nerima semua serapah kayak gitu. Soalnya yang jadi bahaya itu sensitifitas gue terkadang kebawa jadi emosi, walaupun jarang banget emosi gue sampe meledak-ledak. Suka gak suka ngaruh sama mood  juga pada akhirnya. Ngeliat ada yang kurang sreg atau ngerasa ada yang gak beres pasti gue akan meracau.

Waktu gue lagi asyik-asyiknya mikirin kuliah, tiba-tiba satu unit odong-odong lewat dengan suara musik Chery belle-nya yang menggelegar. Anjrot! Kaget gue man! Bukan menyoal lagunya yang pantes atau gak buat anak-anak. Tapi murni karena suaranya yang kuenceng banget. Belum lagi tukang getuk ikutan lewat. Tahu sendiri kan gimana cirri tukang getuk? Musik campur sari broh! Jadilah di depan rumah gue perang suara. Chery belle disudut merah, Campur sari di sudut biru. Kapasitas suara & volume anggap aja sama. Tapi kemudian gak ada yang menang. (Ya perang juga gak gimana mau menang?) Karena ternyata tukang getuk cuma lewat doang. Padahal odong-odong udah ngetem.

Ngeliat odong-odong yang digemari sama anak-anak. Gue jadi salut sama yang buat odong-odong, kreatornya. (selanjutnya dibaca tukang odong-odong) Kalo gue gak salah odong-odong itu produk abad 21 kan? Tahun 90an belum ada tuh gituan. Baru 200x (baca: duaribu sekian) lahirlah odong-odong. Meskipun ide awalnya berasal dari permainan anak-anak yang pake koin bersifat menetap artinya diam di suatu tempat, semisal di pusat belanja. Biasanya berbentuk hewan atau kendaraan. Dalam salah satu adegan di serial Mr. Bean permainan ini juga ada & sudah mulai popular. Siilahkan kalkulasikan sendiri berapa lama evolusi yang dilakukan sampai akhirnya orang Indonesia menemukan permainan model baru (keliling) yakni odong-odong.

Berkaca pada kejeniusan tukang odong-odong, gue lantas mikir kenapa gak dia aja yang jadi Gubernur DKI atau Menteri Perhubungan. (Maaf sebelumnya kalo jadi Presiden RI gak ada yang lebih pantees dari gue) Analogi yang bisa demikian canggih semat-mata gak lepas dari kejeniusan tukang odong-odong. Karena gak tahu dengan mata batinnya atau gak dia bisa ngeliat peluang yang bermanfaat bagi kemaslahatan balita & batita. Seharusnya, ingat! Seharusnya Gubernur DKI atau Menteri Perhubungan bisa mencontoh atau langsung meng-copy sekaligus mem-paste apa yang dilakukan sang kreator odong-odong. Lantas diterapkan ke dalam kehidupan transportasi Jakarta.

Kemudian kalo harus menilik transportasi Jakarta, gak ada kesimpulan yang lebih patut diungkap selain kesemerawutan & ketidakberesan. Gue pikir semua orang (dunia) udah tahu itu. Lalu satu kasus perlu dicatat & dianjurkan untuk digarisbawahi menyangkut transportasi Jakarta, yakni pemunahan atau pemberangusan bus tingkat (bahasa kerennya penghapusan). Bus yang terdiri dari 2 lantai ini pada periode 90an masih menjadi primadona sebagai salah satu angkutan masal dalam kota. Gak tanggung-tanggung ratusan penumpang siap angkut sekali jalan. Bus yang sebagian besar diselimuti warna biru tua itu sampai sekarang ternyata masih menjadi angkutan kota favorit gue. Betapa gue saat itu sangat mengidolakan bus tingkat bahkan sampai sekarang. Apalagi saat berada di lantai 2, sungguh amat menyenangkan! Sebuah perjalanan seakan memiliki arti tersendiri untuk diresapi. Mungkin perasaan yang sama dengan anak-anak zaman sekarang waktu naik odong-odong.

Lalu menurut berbagai sumber yang valid atau gak, penghapusan bus tingkat dari mode transportasi umum bukan tanpa alasan. Pertama, menurut pihak DAMRI suku cadang harus diimport dari luar negeri & harganya pun mahal. Tapi lucunya sekarang bukan cuma suku cadang yang ngimport, pesawat aja kita ngimport dari luar! Alasan-alasan lain juga masih berdasar kendala teknis seperti transmisi otomatis, perpindahan gigi, dll. Kalo masalah-masalah sepele kayak gitu bisa menjadi sebuah pergerakkan buat menghapus keberadaan bus tingkat yang notabene punya kualifikasi untuk seharusnya kemudian bisa menjadi sebuah sarana transportasi masal pada saat itu. Maka hal demikain harus kembali dipertanyakan. Dibanding dengan realita & fakta lapangan sekarang angkutan-angkutan umum, bus kota khusunya jauh lebih busuk kondisinya dari bus tingkat pada masa keemasannya dulu. Atau pernahkan menghitung pertambahan berapa banyak merek taksi yang berkeliaran di Jakarta setelah periode keemasan bus tingkat? Apakah merek-merek taksi tersebut semakin bertambah menyoal kualitasnya?

Jujur aja blak-blakan gue bilang, bahwa gue curiga sama DISHUB, Menteri Perhubungan & Gubernur DKI Jakarta. Karena dia-dia oranglah yang paling bertanggungjawab dengan tata kelola transportasi Jakarta. Rasa curiga itu bikin kesensitifan gue meningkat 2x lipat. Ngehe! Bawaannya marah-marah aja. Tapi untung disaat gue lagi panas kayak gini, tukang odomg-odong lewat dengan lagunya kali ini Anang & Ashanty “Jodohku”. Wooooossaaaahhhh!!!!! Gue narik napas dalam-dalam.  Emang gak ada yang lebih menggembirakan dari tukang odong-odong
Share