The Truth Seeker Media

Jumat, 28 Desember 2012

Yang Tak Terucap

Digital-Art-Gallery

Jarak diantara kita malam barusan cuma diam.

Aku tak pernah tahu bagaimana cara mengungkapkan, namun aku paham betul bagaimana bersitumbuh tanpa seorang Ayah.

Aku mengerti sungguh apa yang kau rasakan.

Jarak diantara kita malam barusan cuma diam.
Share

Kamis, 27 Desember 2012

Dialektika Mayleinthami


I
Mayleinthami dan Cerita Kecurangan

wikipaintings.org


Mayleinthami yang baik.
Tabik,

Aku di sini dalam keadaan yang tertib. Mulai bisa mengeja sesuatu dengan tekun. Memang, cerita yang kubagi denganmu beberapa waktu lalu terdengar begitu sumbing. Kau sampai memiris. Padahal belum semua ku ceritakan, sebait pun belum. Namun aku tak berniat menceritakannya pada siapa pun. Membayangkan saja adalah sesuatu yang  kutakuti sekarang, saat ini.
Aku sedang mengalami gangguan kejiwaan, traumatis. Aku trauma.Ya, aku trauma, trauma teramat sangat dengan senoktah kecantikan, dengan ungkapan merayu sendu, dengan suara dan tempat yang amat familiar jahanam. Belum lagi bayangan yang kuhadirkan sendiri. Benar-benar aku  trauma dengan  itu semua.
Tapi ya sudah, kau cukup tahu sampai di titik itu. Karena selebihnya biarkan jadi sebuah  nalar yang terus mengejar agar bisa mengajar tanpa perlu banyak berujar.

Mayleinthami,
Sesaat sejenak ku pikirkan diriku adalah seorang Munir  yang dengan  mata hati melihat malaikat dalam diri Suciwati. Kesesuaian yang  mempertemukan mereka. Kesesuaian akan takdir. Kesesuaian yang terbuka dengan bijaksana. Nun jauh  lebih dewasa dari cerita kusam Adam dan Hawa, bahkan jauh lebih moksa.
Sebentuk kejadian. Apa yang membahagiakan dari itu? Setitik proses lebih bisa mendewasakan, dengan cara yang entah. Tanpa kau harus mereka-reka seperti mengupas bayangan dalam lautan siluet atau seperti mencari peruntungan agar tetap kering di tengah isak hujan yang  menggejala.
Diam-diam rasa sakit mempertemukan  kita bersama pada tempat  pada massa yang tak pernah kita duga sebelumnya. Lalu kita tertawa lepas sampai lupa bahwa bahagia tak ada di dalamnya. Pada momentum  itu sebagian kita sekuat sisa tenaga menahan sadar meski pada akhirnya waras sedikit demi sedikit mulai pudar. Kita pun juga sudah  saling  tahu sebenarnya luka yang menisbahkan kita untuk bertemu pada akhirnya menjadikan kita manusia dewasa.
Dan untuk pertama kali, setiap yang terlihat setiap yang terdengar menyimpulkan rasa yang sama, paradoks. Berkali-kali dengan cara dan perspektif berbeda pun rasanya tetap sama saja habis air mata sia-sia.


Kulihat seseorang berlaku  seperti Tuhan. Mengadiliku dengan beragam sebutan, seolah dia Yang Maha Benar, dia Yang Maha Pintar. Jangan pernah menanyakan arti kesetian padanya atau apa makna sebuah  rasa, ku mohon jangan. Sebab dia tak miliki hati, melainkan maha hati. Hati yang lebih sejati.  Karena dia berlaku seperti Tuhan,  mengadiliku dengan beragam  sebutan.
Barangkali aku terima semua itu, semestinya aku tak bisa terima. Bagaimana tidak? Dengan lembut ia membohongi hidup atau jangan-jangan semua aura di sekelilingnya yang menjadikannya seperti itu. Busuk. Sebuah kesalahan mendasar dan terlalu tipikal. Aku terlalu kompromis terlalu melankolis untuk menyikapi manusia nista seperti itu. Tak ada doa lain selain kutukan, tak ada yang pantas untuk kemudian dimaafkan.

Kau harus mengerti May,
Aku bukan Tuhan dan tak mencoba untuk menjadi atau berpikir seperti itu. Aku manusia biasa yang punya peluang dan ruang untuk kemudian tidak memaafkan. Hatiku terlalu hitam. Belum lagi aku kini hidup dengan sejuta angkara. Apa wajar jika kemudian aku lapang?

Sesungguhnya Tuhan menerima segala jenis penyesalan yang paling dalam dari hamba-Nya. Tuhan Maha Pemaaf, Maha Penerima Taubat. Tapi aku tidak. Aku hanya menerimanya menjadi sebuah kenyataan yang aku harus terima.

Kau harus mengerti. Suatu saat kau akan mengerti.

Selaksa bulan kemudian, ku coba tertidur dengan mengenyahkan semua mimpi. Semuanya tanpa terkecuali. Karena ternyata dalam mimpi pun aku masih saja dicurangi.





II
Mayleinthami dan Romantisme

wikipaintings.org


Mayleinthami yang antik.

Kau tak pernah mengenal diriku, aku pun begitu. Tapi destinasi menghantarkan aku dan kau dalam lembaran kejadian ini. Lembaran yang barang sesaat lagi akan menjadi benang merah sejarah antara masing-masing engkau dan aku. Tak akan pernah terpikir kemudian akan seperti apa selanjutnya. Bahkan setelah titik di akhir kalimat ini pun kita tak pasti tahu apa kelanjutannya.

Seperti itulah Mayleinthami, leluhur dan serta orang-orang sebelumnya menyebut hal yang demikian ganjil dengan istilah yang cukup populis atau patut dicurigai jangan-jangan istilah ini dibiakan oleh rahim para eksistensialis. Buka mata, mungkin saja. Istilah yang esoteris itu diberi nama kehidupan. Kehidupan Mayleinthami.. Kehidupan!

Betul. Sampai sekarang meraba kehidupan menjadi kebiasaan baru yang syarat haikiki repetitif, padahal manusia telah hidup beribu tahun atau malah lebih lama dari yang kita duga-duga. Tik-tak-tik-tak. Tapi tetap saja manusia dengan kalap terus menggerus memperkosa kehidupan sampai pada titik kesempurnaan. Menjadi sempurna dengan segala cara, segala-galanya, yang penting sempurna. Ah, manusia! Tak kan pernah dewasa.

Mungkin itu pula yang menyebabkan aku gagal puitis. Aku gagal puitis dalam dunia yang tak lagi melankolis.  


Mayleinthami sayang,

Hatiku lelah jika kau terus suruh aku merongrong persesuaian. Nyatanya memang sedari awal ketulusan terlampau mahal untuk kita selalu timang. Dan lagi. Semburat terang yang kuantarkan padamu waktu bulan Juli, kini nirarti. Banyak doa, banyak harapan yang gerayangan tanpa tujuan. Cuma luka kesembronoan yang membawaku pulang, remah jejaknya masih tersisa dalam pergelangan tangan dan itu, sakit rasanya. Kau menyaksikan sendiri bukan?

Pada akhirnya perbedaan yang mempertemukan kita. Kita tahu kita berbeda. Tapi kita juga sempat tahu kita pernah terluka dengan cara yang sama, dengan cara-cara yang begitu kita kenal.


Aku ingat betul bagaimana akhirnya kita bertemu.








III
May dan Pertemuan

Ahad, 3 Maret 2013

wikipaintings.org
May yang manis, 

Malam yang romantis,


Hujan memepertemukan kita kembali untuk menyempurnakan malam yang statis.
Tak ada janji khusus, hujan datang begitu saja tanpa perantara.
Ku bayangkan seperti engkau kekasihku,
Ku bayangkan seperti engkau..

Ini malam kudus,
Bagiku,

Bulan dimana dalam sejarahnya, jauh sebelum ku lahir adalah sebuah gerbang takdir,
Untuk bekal dan bahan bakarku seterlah terlahir..

150 tahun dari sekarang dan mungkin lebih jauh kebelakang..


Malam ketiga bulan maret, hujan yang sama mendekap kita lagi,
Seakan memberikan waktu untuk kita agar terus bicara..
Kau tahu?
Aku kehabisan kata-kata.
Di depam mataku hadir engkau yang membuatku terkesima. Aku kehabisan kata-kata.
Ada cahaya dalam nuranimu luar biasa menyala,
Aku terkesima..



May,

Perlahan sesuatu itu menggugah
Seperti kata-katamu yang entah membawa pada titik sebuah pencerahan.
Aku ingin mengenalmu lebih, sekaligus menjagamu tetap seperti itu.
Jauh dari pengaruhku, pola pikir peripatetis.
Kau yang jauh dari filsafat namun filosofis..
Kau yang jauh dari teofani namun teis pragmatis..
Aku tak pantas di duniamu..

Kau terus membawel, bicara dan tertawa hingga kau menaruh memorandum di antaranya...

Aku massih terkesima kehabisan kata-kata..

"Sejak pertama kali bertemu, ku doakan kebahagian untukmu", bisikku dalam hati.
Share

Selasa, 11 Desember 2012

Ciledug dalam Instrumentalia Bulan Desember

            Dan Ciledug, titik pertemuan dua arus. Kunamakan demikian, karena untuk mengatakan itu sebuah cinta, terlalu murah harganya, apalagi tak akan pernah ada cinta di sana. Tak pernah. Walaupun aku memang telah jatuh cinta pada pesonanya. Cintaku pada pandangan pertama, pada keasriannya, pada kejujurannya, pada kesederhanaannya, pada kebijaksanaannya. Ya, pada Ciledug. Jika di tengah pulau jawa keindahan bisa terdefinisikan dengan kehadiran Bumi Ayu, maka di sebuah sudut kota Tengerang definisi keindahan ada pada Ciledug. Entah, aku tak pernah tahu apa sebabnya. Tapi bukankah memang seperti itu cinta? Datang tiba-tiba tanpa pernah tahu sebab pastinya. Seperti angin yang selalu entah datang darimana.
            Perspektif lain dari Ciledug adalah kampung halaman, seketika nyaman dan keramahan menyelimuti saat itu juga. Padahal kampung halamanku jauh beribu kilo jaraknya. Seberang lautan, seberang eksistensiku sendiri. Agak aneh untukku untuk bisa kembali lagi ke sana. Karena di sini pun aku ada, mungkin seharusnya. Teringat akan sebuah nasihat. Bukan dari Bapakku, karena ia sudah lama menemukan tempatnya di sana. Bukan juga Ibuku atau Kakak Perempuanku yang sudah lama aku tak pernah melihat mereka. Namun dari aku yang bermetamorfosa ke dalam wujudku di masa depan. Aku yang ini -- aku yang lain – dengan elegan mengatakan,”Pada akhirnya kau akan tahu mau apa”. Ucapan itu seolah mempertanyakan kembali makna perfeksionisme dalam aku.

            Lalu bulan desember, tak ada lagi bulan yang kurindukan selain bulan ini. Tingkat kerinduanku sama dengan kerinduan akan sesuatu yang kini ku tak tahu lagi apa itu. Namun jika harus mendeskripsikan desember. Bagiku pribadi, desember adalah bulan dimana jawaban mengenai harga sebuah kesetiaan terkuak. Persis seperti yang dikatakan Cholil dalam “Desember”. Tak akan pernah ada yang lebih menyakitkan dari itu semua. Sungguh semacam ironi dalam drama musikal. Dan mungkin dalam desember ini juga, tak ada lagi alasan aku harus ke Ciledug. Karena untuk apa? Bagiku Ciledug cuma memori membatu, kaku, dalam bulan yang seharusya kutemukan tempat untuk tertawa bahagia. Namun untuk saat ini aku hanya sanggup untuk sekedar tetap bernafas. Baru bisa itu saja yang kulakukan.
            Mengingat Ciledug adalah caraku untuk melupakannya.
            Geneologi. Dalam sudut ini harus kukatakan bahwa kasihan anakmu, kelak harus membawa  sifat-sifat yang begitu. Kenapa tak juga membaur dengan tempat asalmu yang Ciledug itu? Agar keasriannya,  kejujurannya, kesederhanaannya,  kebijaksanaannya menyatu dengan darahmu.
            Lalu bagaimanapun post rock, ambient dan instrumentalia lainnya tetap tak bisa menggambarkan seperti apa wujud kekecewaan yang terdalam, meski seberapa berat aku berkontemplasi dalam diam, dalam kesepian.
            Seperti bulan desember yang diam, serta ciledug di dalamnya.
            Penyesalanku ialah aku bernah berujar,”Kau bisa saja meninggalkanku, tapi aku tidak”. Ternyata kini aku punya lebih banyak alasan untuk meninggalkanmu. Bahkan untuk menempatkannya dalam jagad memori yang terkelam sekalipun. Ciledug.
Share