The Truth Seeker Media

Selasa, 11 Desember 2012

Ciledug dalam Instrumentalia Bulan Desember

            Dan Ciledug, titik pertemuan dua arus. Kunamakan demikian, karena untuk mengatakan itu sebuah cinta, terlalu murah harganya, apalagi tak akan pernah ada cinta di sana. Tak pernah. Walaupun aku memang telah jatuh cinta pada pesonanya. Cintaku pada pandangan pertama, pada keasriannya, pada kejujurannya, pada kesederhanaannya, pada kebijaksanaannya. Ya, pada Ciledug. Jika di tengah pulau jawa keindahan bisa terdefinisikan dengan kehadiran Bumi Ayu, maka di sebuah sudut kota Tengerang definisi keindahan ada pada Ciledug. Entah, aku tak pernah tahu apa sebabnya. Tapi bukankah memang seperti itu cinta? Datang tiba-tiba tanpa pernah tahu sebab pastinya. Seperti angin yang selalu entah datang darimana.
            Perspektif lain dari Ciledug adalah kampung halaman, seketika nyaman dan keramahan menyelimuti saat itu juga. Padahal kampung halamanku jauh beribu kilo jaraknya. Seberang lautan, seberang eksistensiku sendiri. Agak aneh untukku untuk bisa kembali lagi ke sana. Karena di sini pun aku ada, mungkin seharusnya. Teringat akan sebuah nasihat. Bukan dari Bapakku, karena ia sudah lama menemukan tempatnya di sana. Bukan juga Ibuku atau Kakak Perempuanku yang sudah lama aku tak pernah melihat mereka. Namun dari aku yang bermetamorfosa ke dalam wujudku di masa depan. Aku yang ini -- aku yang lain – dengan elegan mengatakan,”Pada akhirnya kau akan tahu mau apa”. Ucapan itu seolah mempertanyakan kembali makna perfeksionisme dalam aku.

            Lalu bulan desember, tak ada lagi bulan yang kurindukan selain bulan ini. Tingkat kerinduanku sama dengan kerinduan akan sesuatu yang kini ku tak tahu lagi apa itu. Namun jika harus mendeskripsikan desember. Bagiku pribadi, desember adalah bulan dimana jawaban mengenai harga sebuah kesetiaan terkuak. Persis seperti yang dikatakan Cholil dalam “Desember”. Tak akan pernah ada yang lebih menyakitkan dari itu semua. Sungguh semacam ironi dalam drama musikal. Dan mungkin dalam desember ini juga, tak ada lagi alasan aku harus ke Ciledug. Karena untuk apa? Bagiku Ciledug cuma memori membatu, kaku, dalam bulan yang seharusya kutemukan tempat untuk tertawa bahagia. Namun untuk saat ini aku hanya sanggup untuk sekedar tetap bernafas. Baru bisa itu saja yang kulakukan.
            Mengingat Ciledug adalah caraku untuk melupakannya.
            Geneologi. Dalam sudut ini harus kukatakan bahwa kasihan anakmu, kelak harus membawa  sifat-sifat yang begitu. Kenapa tak juga membaur dengan tempat asalmu yang Ciledug itu? Agar keasriannya,  kejujurannya, kesederhanaannya,  kebijaksanaannya menyatu dengan darahmu.
            Lalu bagaimanapun post rock, ambient dan instrumentalia lainnya tetap tak bisa menggambarkan seperti apa wujud kekecewaan yang terdalam, meski seberapa berat aku berkontemplasi dalam diam, dalam kesepian.
            Seperti bulan desember yang diam, serta ciledug di dalamnya.
            Penyesalanku ialah aku bernah berujar,”Kau bisa saja meninggalkanku, tapi aku tidak”. Ternyata kini aku punya lebih banyak alasan untuk meninggalkanmu. Bahkan untuk menempatkannya dalam jagad memori yang terkelam sekalipun. Ciledug.
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar