The Truth Seeker Media

Senin, 29 September 2014

SEMILIR ANGIN DI ATAS KAPAL PENYEBERANGAN

clker



Malam bulan bulat sempurna. Nyanyian burung camar berjejal di udara. Hembusan angin menghujam  tanpa pilah. Sebuah bintang kejora seakan berputar sirkular di muka laut berkabut. Akan halnya bulan dan matahari, ia seperti membuntuti tanpa henti. Cahayanya merah keemasan berkilat-kilat. Membuat siapapun yang menatapnya terhipnotis seketika itu juga.

Ada cerita usang yang mengatakan bahwa kemunculan bintang kejora akan membawa keberuntungan kepada siapapun yang melihatnya. 

Namun sampai saat ini aku tak pernah percaya dengan mitos macam itu atau mitos bintang berekor api yang dikarang oleh para lelulur. Bagiku bintang itu sama saja dengan miliyaran bintang lain yang berserak di langit. Tak ada yang istimewa. Meski cahayanya kini mengepungku.

Tak pula ada perbintangan yang membawa sial.

Cahaya sang kejora masih menyembul di antara fajar yang mulai membiru. Warna yang sedari tadi seakan tak pernah muncul disini. Di Dermaga kecil ini. Karena gelap satu-satunya cahaya yang tersisa.

Biru. 

Warna itu pula yang kini ku lihat terbentang sejauh mata memandang dari kapal feri butut ini. Moda transportasi kelas ketengan yang kian lama kian berkarat. Dulu, aku takut sekali dengan laut. Sebabnya sederhana, karena sebuah berita. 

Benar, sebuah berita.

Berita karamnya kapal berpenumpang di Laut Banda, dan para penumpang yang hilang ditemukan dalam perut ikan hiu, Siapa pula yang tak bergidik mendengar berita macam itu? Menjadi santapan hiu! 

Tapi kini, dengan dalih ekonomi, kapal feri jadi satu-satunya alat transportasi yang paling bisa mengerti. Tentu mengerti kedalaman kantungku. Perduli setan dengan rasa takut! Apalagi upah tiga bulan ini belum kuterima. Memang, kadang menyoal uang dalam kamusku itu urusan belakangan. Mimpiku kini telah nyata. Aku bisa menumpas orang-orang jahat seperti cita-citaku di kala kecil dulu, layaknya seorang kesatria. Mau apa lagi? Itu yang terpenting.

Tapi faktanya sekarang, kondisiku memang mengenaskan. Miskin dan butuh uang.. Tak bisa disangkal. Seperti juga buruh-buruh upahan yang acap berdatangan ke Ibukota. Malah, demi lembaran benda mati itu banyak orang yang rela melakukan apa pun. Apa pun.

Pernah terbersit sejenak untuk aku melakukan hal-hal yang demikian -kau tahu- seperti orang kebanyakan, merampas semua yang ada di depan congor tanpa pikir panjang, meski tak jelas asal-usulnya. Apakah dari langit atau keping recehan dari neraka, sungguh tipis bedanya. Tapi ku tahu itu tak akan pernah memberikan kebahagian bahkan sampai mati kelak.

Aku mesti bertahan. Aku dilahirkan bukan untuk berperan sebagai pengumpat.

Dari atas selat sunda ini, bias cahaya merah sang kejora yang berbalut gelombak masih menjadi penampakan tak wajar. Orang-orang di atas kapal tak menggubris, tak minat. Padahal langit serta anasir laut lain saru dengan kekelaman malam. Malam yang kedua. Hanya kejora itu saja yang tampak menyolok mata. Apakah orang-orang tak lagi peduli dengan selain dirinya sendiri? Mungkin jika matahari terbelah pun, mereka tetap antipati.

Baru sepertiga jalan. Mercusuar yang sejak awal jelalatan di tepi dermaga itu telah lenyap di balik laut yang telentang. Begitu pula dengan daratan. Hanya deru kapal ini saja yang memecah hening malam. Keheningan yang lambat laun justru makin menyeramkan.

Tapi sesekali pesawat udara di ketinggian melintas tepat mengatapi kapal. Kelap-kelip merah tanda cahaya berbaur dengan ratusan bintang yang bertabur di angkasa. Membelah langit malam.

Mungkin seseorang di dalamnya punya tujuan yang sama denganku, hanya nasib yang membuatnya demikian berbeda. Aku di bawah, ia di atas. Persis seperti kasta masing-masing kita, ku pikir.

Kenapa dunia ini begitu sinis? Membelah kehidupan ke berbagai kasta. Kasta orang susah dan kasta orang mudah. Walaupun kau dan aku tahu klasifikasi yang paling sejati adalah antara yang hidup dan yang mati, demikian sederhana.

Geladak kini dikerubungi dengan sekelompok muda, mereka para mapala. Sayup-sayup kudengar mereka akan ke Gunung Kerinci. Salah satu gunung tertinggi di negeri ini. Di puncaknya, langit hanya sejengkal jaraknya. Awan-awan berarak tepat di depan hidung kita. Bunga-bunga edelweis kerap tumbuh seakan tak pernah layu. Belum lagi ada mahluk dengan telapak kaki terbaliknya yang termasyhur. Misterinya membuat sensasi lain dalam menapaki gunung di tengah Sumatra itu.

Setelah menyantap mie seduh hangat yang kubeli dari kantin kapal, perutku sudah mulai bersahabat, keonaran yang sedari tadi siang mengancam kenyamanan tampak telah berdamai. Meski tak terlalu kenyang, setidaknya perutku kini terisi.

Bertahun-tahun sudah aku tak pulang ke rumah. Terjebak dalam carut-marut kehidupan metropolis. Bahkan terjebak dalam segala asa dan cita. Andai saja aku tahu akan seperti ini, tentu aku tak mau ke Ibukota. Dimana gemerlap kepalsuan menjadi satu-satunya impian para manusianya.


***


“Tolong, t-t-tolong lepaskan aku! Aku tak bersalah! Hah..hah..hah..” suara sang laki-laki terdengar parau. Nafasnya tersenggal seakan udara kian tipis dalam kantung hitam yang membungkus kepalanya. Sesekali isaknya terdengar dengan keadaannya yang bertelungkup duduk di atas lutut. “Tolooong..” ratapnya lagi.

--DOR!-- Tiga butir peluru akhirnya menembus dadanya. Tak terdengar lagi suara-suaranya yang menjengkelkan. Eksekusi berhasil.

Aku hanya terpekur sejenak, seperti biasa, layaknya ritual setelah melakukan tugas mulia sebagai algojo. Bukan kali ini saja para terpidana mati mengerang-ngerang minta keadilan. Beberapa diantaranya bahkan mesti dikendalikan oleh enam orang petugas. Namun ada juga yang terdiam pasrah, seakan menerima sebagai bentuk rasa penyesalan atas apa yang telah dilakukan.

Pernah suatu kali aku mendapati terpidana mati kasus pembunuhan berantai. Sesosok laki-laki gagah, sinar matanya teduh, wajahnya pun menenangkan, tak sedikitpun ada aura pembunuh dalam dirinya. Bahkan ia sempat tersenyum kepadaku suatu ketika. Andai ia tahu bahwa ia akan mati ditanganku apakah ia akan tersenyum seperti itu?

Seringkali aku merasa amat bersalah.

Keraguan kerap bercokol di benakku. Benarkah aku telah menumpas orang-orang jahat seperti cita-citaku di kala kecil dulu layaknya seorang kesatria? Seorang algojo pantaskah disebut sebagai kesatria?

Alamak, seharusnya tak usah ku terima pekerjaan ini. Tapi memang tak bisa ku sangkal, bujukan Munawir membuat diriku terhipnotis. Dalihnya dulu kepadaku agar kejahatan berkurang benar-benar berhasil. Namun sayang hidupnya harus berakhir di tanganku sendiri setahun yang lalu.

Ya, Munawir dihukum mati. Padahal ia seorang hakim.

Sebelum peluruku menembus jantungnya, ia sempat berkata,”Kawanku Pen, pernahkah kau memandangi langit akhir-akhir ini? Semakin hari bintang bertambah banyak bukan? Andai nanti jiwaku menjelma satu di antaranya.”

Meski kepalanya terbungkus kantung hitam, aku masih ingat betul setiap kata-kata orang yang menjerumuskanku ke pekerjaan tak elok ini.

O Tuhan, harus bicara apa aku pada istri dan keluarganya? Mereka sudah ku anggap sebagai keluargaku sendiri. Sedang aku membunuh tulang punggung mereka. Takdir apa lagi yang hendak kau berikan padaku?

Ah, takdir.

Mungkin itu pula yang merubahku dari seorang anak nelayan menjadi sang penumpas kejahatan. Seorang algojo. Seseorang yang tugasnya melulu menumpas penjahat yang kejahatannya luar biasa jahat.

Tak pernah terbersit sedikit pun olehku ada profesi macam begitu. Yang ku tahu hanya soal ombak dan arah angin. Itu pun setelah seumur hidup memperhatikan bagaimana Atuk dulu bekerja mencari ikan.

Padahal Atuk tak pernah mencicipi pendidikan, namun ia satu-satunya orang yang paling mahir dan dituakan dalam kampungku, kampung nelayan. Orang kampung menjulukinya “Kara” yang berarti “Karang”. Ya, Atuk memang terkenal tangguh di laut lepas, segala ombak seakan-akan jinak di hadapannya.

“Kau mesti sabar, tak usahlah kau lawan ombak dan angin itu, biarkan mereka melebur dan menyatu dengan dirimu”, ucapnya suatu ketika saat ku tanyakan apa rahasia menjadi pelaut ulung.

Aku nurut, mengangguk tanda setuju, meski dalam hati banyak sekali pertanyaan --menjurus protes-- mengenai kata-kata Atuk itu. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan dalam gulungan ombak dan terjangan angin jika satu-satunya pertahanan yang paling baik tak boleh dilakukan? Ya, bukankah pertahanan yang baik adalah melawan? Bagaimana pula kita bisa bertahan jika tak juga melawan?

Ada sebuah penyesalan ketika aku tak juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Atuk. Karena tiap kali melaut dan membiarkan ombak serta angin membawaku ke dalam arusnya, aku terjungkal, terus berulang-ulang.

Dan pada akhirnya aku tetap diam terbungkam tanpa satu pun mendapati jawaban, karena nyatanya hanya pengalaman sajalah yang berbaik hati memberitahukan segala rahasia.

--DOR!— 

Satu orang lagi telah tereksekusi. Matanya masih nyalang tak terpejam sempurna.


***


Waktu pun nyaris pagi. Garis arsir kuning mengkilat terombang-ambing di muka air merupa bentara fajar. Deru kapal usang ini belum juga menampakkan tanda lelahnya, berbanding terbalik dengan para anak buah kapal yang lusuh dan berpeluh. Bahkan sebagian yang lain seperti ikut kontes mendengkur, dimana suara-suara dengkuran saling sahut satu sama lain. Pertanda kerja keras mereka selama dalam bahtera ini tak menguap percuma.

Tampak di kejauhan di sudut lain pesisir pantai, muka dermaga yang sedari tadi berupa bintik-bintik kecil kini telah semakin jelas bentuknya. Sesak oleh kapal-kapal yang tenang di tepian dan para pelancong yang  baru saja datang berjubel berebut mencari jalan keluar. Suara tangisan bayi berpadu dengan suara-suara teriakan penumpang kapal yang tak sabar, serta suara-suara panggilan sanak-saudara yang sudah menunggu lama kedatangan salah satu kenalan mereka.

Tak ada yang menjemputku. Karena tak seorang pun yang kuberi tahu kabar kedatanganku kali ini. Meski demikian entah kenapa mataku tetap saja awas mencari-cari seseorang yang tak mungkin juga datang.

Entahlah. Mungkin aku terlalu berharap pada intuisi. Intuisi yang sedang kurasa kuharap juga dirasakan oleh istri dan kedua anakku. Dan aku percaya intuisi akan mempertemukan kita dengan cara yang ajaib seperti biasanya.

“Bang Pen! Bang Pen!” terdengar suara samar di antara suara-suara yang terlalu banyak dari atas dermaga ini. Pusat suara pun belum bisa kupetakan. “Bang Pen! Bang Pen!” ada lagi. Tak diragukan seseorang memanggil namaku.

Aku beringsut ke pusat suara dan terbelalak melihat pelaku yang memanggilku berulang-ulang ternyata Sandewi! “Bang Pen, apa kau melihat suamiku Munawir?” mulainya. “Jika ia tak juga pulang hanya kaulah orang yang tahu keberadaannya, katanya suatu hari kepadaku,” raut mukanya perlahan sendu “Benarkah itu Bang? Kau tahu?”

Seketika semuanya menjadi hening, menggerak lambat. Diriku masih mematung tanpa melakukan apa-apa. Bintang kejora yang sejak awal seperti membuntutiku, kini semakin jelas kehadirannya bersamaan dengan bintang-bintang lain yang serupa. Semilir angin menyentuh tengkukku dengan hati-hati sekali. Semilir angin yang sama dengan semilir angin di atas kapal barusan.
 


Jakarta, Mei 2014


Share

KIDUNG DEMOS KADUNG KRATOS




Ilustrasi oleh www1.curriculum.edu.au



Ketepak kaki kuda berentet mengalunkan suara tertib dalam ritme triplet. Pecut-pecut prajurit membabi-buta menghajar siapa pun yang halangi jalan. Banyak yang tergencet, ada pula yang tersungkur meniduri tanah. Para jelata di bibir pasar itu kisruh, saling dorong, takut terkena sabetan. Tapi orang di dalam kereta kuda tak bergeming barang sebentar saja.

Sirene polisi meraung seperti sangkakala. Motor-motor besar serupa belalang tempur memalang apa pun dihadapan. Gerombolan mobil berharga triliunan melesat ringan satu barisan. Tak ada perhatian terhadap dunia luar atas orang berdasi ini dari balik tabir surya. Atas nama standar prosedur, jalan ini adalah milik mereka semata. Padahal perempuan bunting setengah mati meregang nyawa dalam omprengan butut.

Kilat. Rombongan kereta kuda kini telah ada di serambi kastil nan megah. Tiang-tiang penyangga berlapis marmer menjulang. Langit kubah penuh lukisan bidadari telanjang. Lantai keramik berlumur intan permata. Guci-guci emas menunggui setiap sudut ruangannya seperti demit. Cawan-cawan berisi tujuh puluh jenis buah setia pada meja megah berbahan kayu jati berbalut kemilau emas. Wanita-wanita molek mendekat dengan jinak, namun tak diindahkan. Tersungut-sungut ia banting segala yang tergapai sambil nyemburkan kesumat. Anak buahnya yang sial tertebas batang lehernya.

Percikan darah si pengawal istana malang mengenai stelan jas parlente hitam yang membalut dirinya. Selaras pistol yang ia tembakan pada jidad sang anak buah kini terpelanting di permadani bermotif panorama, hadiah dari salah satu tamu negaranya bulan lalu. “Siapa yang begitu lancang mengusik dirimu Pak?” suara perempuan bersanggul memecah ketegangan. Rupanya sang istri mafhum, Presiden ini memang acap kalap jika sesuatu tak sesuai selera.

Dalam perjalanannya barusan, khalayak meludah bahkan melempari rombongan dengan sampah. Sesuatu yang tak pantas untuk seorang raja, yang telah memberi mereka hidup. Mengingat insiden itu, rahangnya gemeratak, tangan terkepal memegang pedang berlumur darah, otot-ototnya ngembang, nahan amuk.

“Akan mewaris turun-temurun Pak,” tangan sang istri yang ada di dadanya kini membasuh laranya sesaat. Ia masih saja terbengong ketika melihat Ibu Negara ini berseri. F-16 yang penuh amunisi itu pun ia perintahkan untuk kembali. Nyaris saja masyarakat tak tahu diuntung mati gosong.


***


Alkisah, pada sebuah negeri di puncak gunung, dimana langit hanya berjarak lima jengkal, awan-awan seliweran dipacu angin tak kasat, dan puluhan jentayu terbang berputar, terdapatlah sebuah ritus yang termahsyur sejazirah. Seremoni sakral bagi umat manusia. Ribuan tahun sudah acara ini terselenggara secara mewaris. Seperti telah dinubuatkan para leluhur: Tuhan akan datang ke negeri ini setiap lima tahun. Seseorang akan ditasbihkan serta disembah meski ia berkedok anonim atau bahkan dari antah berantah sekalipun. Penduduk negeri telah amat lama menantikan peristiwa bersejarah ini.

Mendengar desas-desus tentang kabar itu, seluruh penguasa dari pelosok dunia datang dengan arogan. Masing-masing mengaku merekalah sosok tuhan. Sang pesohor. Yang maha dari segala. Mereka datang komplotan sesuai dengan jubah kebesaran dan terciri koloni: dengan gajah purba, dengan naga api, ada yang jalan kaki, ada yang muncul begitu saja secara gaib, ada kelompok perempuan yang datang dari balik rembulan, ada yang bangkit dari kubur, lalu ada yang mengendarai awan, bahkan ada yang datang dengan hanya berupa bayangan.

Akan halnya dengan sang raja dan presiden. Mereka datang. Mereka ingin rakyat negerinya bangga dengan ia ternobat sebagai tuhan. Mereka ingin rakyat mencintainya. Mereka ingin menggenggam kepatuhan rakyat bulat-bulat. Absolut.

Namun, ketika melihat bagaimana cara-cara penguasa lain datang, ciutlah nyali mereka seperti domba di kandang singa. Mereka pucat.

Berbondong-bondong rakyat sepelosok nyerbu dari delapan penjuru. Mereka penasaran. Mereka lapar tuhan idaman. Sudah bukan rahasia umum kalau kinerja tuhan sekarang amat mengecewakan. Rakyat tak mau lagi kecolongan untuk yang kedua kali. Tuhan harus sesuai dengan selera mereka sendiri. Harga mati.

Para kandidat tuhan giat mengeluarkan kiat untuk menarik simpati rakyat. Tak jarang mereka serampangan nampilkan siapa yang lebih prima. Adu kesaktian berlangsung sengit. Arena pesta sejurus kemudian seperti obral tenung, dan segala macam ajian. Jual-beli serangan tak bisa dihindarkan. Banyak hal ajaib nyeruak mengadegan. Tapi kerumunan massa yang menyimak tetap anteng seperti nonton layar tancap.

Setali tiga uang, sang raja dan presiden juga tak nyangka dengan apa yang dilihat. Takjub. Mereka kikuk sendiri. Sampai akhirnya mereka juga terkena serangan, meledaklah amarah mereka! Sang raja berubah wujud jadi raksasa. Negeri itu kini hanya sebesar jempol kakinya. Pun demikian dengan sang presiden, serta-merta jutaan pesawat tempur memberondong penguasa lain. Ribuan kapal perang di semenanjung juga memuntahkan rudal atas perintahnya. Kondisi pesta berubah jadi medan pertempuran.

Dari kejauhan seorang musafir melihat letusan janggal tersebut. Gegas, ia meluncur ke tempat perkara. Derapnya kencang, pakaian lusuhnya melambai-lambai, begitu pula rambut gimbal berkerak yang menjuntai hingga tungkai. Kontur yang terjal terasa ringan karena ia telah terbiasa dengan pegunungan.

Potret di puncak gunung itu sontak membuatnya terkejut. Huru-hara besar ada dalam sebuah pentas. Dan, sekumpulan massa hanya bertepuk tangan kegirangan melihat semua tragedi.

Seperti itulah.

Seperti juga keberingasan sosok raksasa sang raja yang membawa petaka, atau keampuhan senjata pemusnah masal sang presiden yang mencabut nyawa orang banyak. Tapi bagi khalayak, semakin banyak si kandidat membantai karena dalih melindungi diri, semakin bertambahlah nilai prestisiusnya. Pertanda bahwa kemampuannya untuk melindungi umat manusia benar-benar mumpuni kelak.

Sang musafir terus memerhati. Mencoba untuk paham segala aral yang membingungkan. Mungkinkah ini hanya perang tipu-tipu atau tonil lawakan belaka? Namun ceceran tubuh manusia begitu nyatanya, hingga amis darah merebak kemana-mana. Wanita dan bocah yang buyar pun tampak bukan rekaan. Lautan air mata yang tergenang juga asli dari kesedihan. Cengut, ia tambah bingung dengan sebagian yang lain, yang justru bersorak-sorai. Mereka terus berfoya-foya dengan babi guling dan segentong anggur anta.


***


Puluhan rembulan telah lewat sempurna, pesta itu masih saja bertaji. Khalayak tak jemu mantengi setiap alur pergerakan dan lobi-lobi. Halaman balai kota telah berubah bentuk menjadi tempat penampungan. Para penduduk tak segan tidur dalam tenda, bahkan jika harus berbantalkan lengannya sendiri.

Sementara itu, baku hantam tetap jadi kegiatan yang rutin dilakukan para kandidat. Meski semaput, berwajah bonyok, serta kuping buntung, jurus-jurus masih menerjang tak habis-habis. Ambisi mereka sama besar. Tak ada yang mau ngalah.

Kelompok massa lambat laun jauh dari waras. Berbagai atraksi mereka lakukan agar sang gacoan bertambah sakti. Taburan kembang tujuh rupa, kemenyan, tembako, kupi hitam, kolor biru muda, bahkan ada yang bawa-bawa jubah pocong dari jenazah yang baru dikubur.

Parahnya lagi, ada beberapa yang saling menyakiti diri sesama mereka, caranya pun bermacam-macam, mulai dari saling hantam menggunakan cambuk runcing, balok kayu, palu-arit, botol beling, anak panah, racun arsenik, batu, belati, molotov, pekikan suci, hingga ada yang membakar tubuhnya sendiri dengan geretan atau bom rakitan. Namun pesta tetap terkendali, mereka tak sabar dengan hasil.

Kini tinggal sang raja dan presiden saja yang tersisa. Mereka bunuh-bunuhan. Bayangan untuk jadi tuhan tinggal satu langkah lagi. Mayat-mayat kandidat lain serta rakyat yang ketiban sial menjadi korban salah sasaran bergelimpangan dimana-mana, kubangan darah yang terbentuk hingga setinggi lutut, sedangkan lautan air mata kian lama kian mengering. Tetapi pertarungan kuasa tuhan terus berlangsung. Massa yang menyaksikan malah bertambah, seperti lautan manusia. Mereka meneriaki yel-yel dukungan kepada sepasang kandidat sisa, meskipun mereka tak kenal betul dengan keduanya. Malah mereka tak pernah tahu asal-usul serta rekam jejak keduanya yang sebentar lagi jadi tuhan ini.

Obituari. Sang presiden baru saja mati. Mayatnya tak utuh, berhamburan. Ia baru saja dibejak oleh raksasa jelmaan raja yang kini berpangkat tuhan. Tuhan baru yang hadir seperti nubuat para leluhur setelah meluluh-lantak para pesaingnya. Gelak tawa sang raksasa menggema seantero jagat. Gemuruh halilintar bersambaran seakan ikut merayakan pesta kemenangannya. Wedus gembel dari dalam gunung juga tak ketinggalan mengepul penuhi langit pesta. Suara-suara binatang hutan dari jangkrik sampai gorila ribut saling sahut seakan punya firasat. Gelombang air pasang mencakar-cakar di tengah lautan. Tampak batu-batu meteor bermanuver satu arah gerakan. Suasana semesta seakan-akan merespon kemenangan mutlak sang raja dengan berbagai macam alasan. Entah.
Namun sang musafir justru linglung. Kerumunan massa malah mulai menyusut. Mereka perlahan bubar secara bergilir. Seperti telah kenyang, seperti telah tersalur birahinya. Tak ada lagi hingar-bingar pesta semalam suntuk atau sampai mabuk. Mereka kembali ke aktifitasnya sehari-hari: berkebun, melaut, dagang, ngemis, melacur, ada juga yang jadi tukang pulung. Mendadak mereka seperti baru terbangun dari mimpi. Musafir lapuk itu heran. Padahal sebelumnya para penduduk gempita di tengah pesta.

“Kisanak hendak kemana? Bukankah tuhan baru saja terpilih?” seorang paruh baya dengan langkah ringkih dan pakaian yang serba kumal mendadak berhenti mendengar suara sang musafir. Tampak ia seperti seorang petani, dari kaki dan tangan membercak lumpur. Saat di tengah barisan massa tadi, ia terlihat begitu vokal mendukung salah seorang, tapi kini ia hendak bergegas pulang.

“Engkau ini bagaimana? Tuhan itu kami,” sang musafir terperanga sambil memandangi renta lusuh yang berbaur dengan kerumunan rakyat.
Sedangkan sang raksasa terus saja berkoar minta pengakuan.


Cerpen ini diambil dari sini (Jakarta, April 2014)
Share

BUKU PUTIHKAN





Gemericik hujan mengklamufase keberadaan Amin yang terpaku menyemat lekat pandangannya pada sudut lazuardi nun jauh mengangkasa dengan lekuk matanya yang cekung, pipi tirus dan air muka keruh. Rambut panjang kusam dan bau badannya yang anyir pun semakin keras berjejal di udara. Keadaannya amat ngenas.

“Aku terlewat,” gumamnya pada langit, di tengah ribuan kendaraan menggeletak semrawut seruasan jalan, beberapa gosong terbakar akibat benturan. Sepur yang mengonggok, yang lain berserak terjungkal dari jalur. Bangkai boeing belah menimpa gedung, remahnya dimana-mana. Semua porak-poranda.

Amin berdiri di antara cengkraman keheningan yang mencekik penjuru kota. Keheningan tanpa tanding. Tiada sesiapa bahkan sekadar jejak. Engahan nafas jadi satu-satunya harmoni siang itu.

Amin ingat betul, bagaimana ia berontak untuk lupa terhadap gembar-gembor berita tentang pejabat pemerintah yang hilang mendadak, yang telah mengguncang rutinitas kehidupan masyarakat. Ekspose media terhadap berita itu lamat-lamat menjadikannya tak hanya aib, namun mitos –pemerintah versus masyarakat— yang nyata terjadi.

Para pejabat mengklaim penghilangan paksa semata-mata ulah masyarakat yang jengah atas ketimpangan sosial. Masyarakat berkilah, malah nyerang balik. Menuntut anu-menuntut itu.

Sengit. Selama pemerintah dan masyarakat saling tengkar, para pejabat semakin banyak yang hilang. Benar-benar runyam, tak ada yang paham. Kantor-kantor pemerintahan tak lagi berpenghuni, bahkan gedung parlemen sekalipun. Bagai rumah hantu, semua tempat itu mendadak angker. 



***


“Memang cuma tersisa aku,” akunya seraya menelusur dari puncak sebuah menara. Hanya ada kota sengkarut awut-awutan dengan gerobak dan sampah liar bertebaran. 

Malam itu, perayaan tahun baru menjadi semacam komoditas yang lumayan. Lautan manusia merayakan dengan kembang api tersulut. Seantero langit dipenuhi pijar bertubi-tubi. Manusia merupa zombi beku oleh kembang api. Ada desas-desus kuno; manusia berubah jadi srigala apabila malam bulan purnama. Tapi kini hanya ada manusia zombi yang membatu oleh silau cahaya. Mungkin sekadar bukti otentik bahwa evolusi sedang terjadi.
Aku berjumpa wanita ranum berselendang malam itu,. Mina, demikian namanya, adalah wanita yang sampai saat ini masih ku kagumi. Parasnya membuatku takjub. Aku ragu bila wanita ini adalah penipu ulung seperti yang dikatakan orang padaku.


***


Hilangnya para pejabat bikin gempar. Boleh jadi kualat. Masyarakat seolah terkena imbas. Satu-satu diciduk tangan gaib. Namun, lagi-lagi mereka mengkambing-hitamkan pemerintah. Padahal pemerintah  nyaris punah.

Alangkah panik. Seakan kota tengah terbalik. Ketakutan mengunkung demikian rupa. Hingga pada akhirnya mereka minta petuah kepada dukun dan ahli nujum, namun dukun-dukun itu lenyap begitu juga. Ada pula yang sowan ke professor, doktor, mereka juga menghilang. Filsuf pun demikian. Lalu mereka mencari ahli dan laskar pembela agama agar dapat jawaban yang tuntas. Mereka juga musnah. Ide cemerlang datang saat mereka niat ngemis perlindungan pada tokoh-tokoh hukum dan peradilan. Tapi percuma, mereka adalah kloter pertama yang bablas.

Masyarakat sejatinya dalam masalah. Mereka sendiri. Semua telah menghilang, pengusaha pun, pelajar pun, petugas hotel melati pun, seniman pun, semua! Dan, yang lebih mencengangkan, jenazah-jenazah dalam kubur juga ikut raib.

Mereka yang masih ada kini hidup segan mati tak mau. Hilang secara misterius perlahan dengan seporadis mengembat siapa saja. Geliat eksodus meningkat. Mereka terisolir, selain tak ada tujuan karena seluruh negara tak satupun lagi terdapat manusianya, lalu lintas udara dan laut juga tak tampak tanda hidup.

Menahun sudah Amin ngais nasib hanya untuk ketemu seseorang di tanah kelahirannya. Nihil. Tak ada lagi, melainkan dia seorang. Pun tak ada jalan pulang, negara yang nganggur ini kini naungannya semata. Satu-satunya pilihan adalah pasrah. Tapi terkadang mulutnya tak henti merapal mantra, berharap akan keajaiban. Ia terlalu yakin masa depan sedang mendekat. Entah, bisa jadi hanya firasat mentahnya.

Peripatetik, sang nomad mulai pencariannya yang kesejuta kali. Seandainya dahulu aku tak meninggalkan Mina, tentu kini kami bersama. Dambanya.

Demikianlah. Amin telah merajut kasih dengan Mina. “Apa kau mau beristrikan seorang penipu?” sindiran sahabatnya tak diindahkan. Mereka kadung dicinta. Tali asmara mesti terjalin walau Amin seorang loper koran dan Mina dukun beranak pada perkampungan kumuh di tengah perumahan. Saat bertemu, Mina telah buron dalam waktu yang cukup lama. Tapi, pikirnya, mungkin karena kecelakaan persalinan saja. Maut memang misteri bukan?

Kini Amin pun dirundung rindu berkerat-kerat.


***


Matahari kuning sepenggalah. Amunisi perut menipis, akan halnya badan Amin yang juga menciut. Tapi baginya kelaparan bukan musuh benar. Tersedia begitu banyak tempat untuk dijarah.

Ketakutan besarnya ada pada kesepian. Kala sepi menyerang, bayang-bayang mengerikan berjejal antri di pelupuk mata. Satu demi satu adegan menyingkap dengan sendirinya, laksana teka-teki yang maksa segera dipecahkan, seringkali gambaran itu datang berulang, seperti televisi hitam-putih, film bisu atau pola psikedelik yang kabur.

Adalah langit gelap mencekam dengan kepungan awan hitam menyerupai beliung. Sesambaran halilintar riuh memekakkan telinga, begitu pula kilat yang berkejap-kejap. Serangan beribu pusara angin itu datang serempak seperti hujan lebat, padahal tak setetes pun air turun. Suara lolongan manusia mulai menggema seantero jagat, beberapa mengerang histeris seolah sedang dikuliti berlapis sayat. Mendengarnya bulu kuduk mekar. Impian itu yang melulu gentanyangan di pikiran Amin.

Sejenak pandangan mata Amin kini tertuju pada padang ilalang yang terhampar segaris horizon. Belahan sungai terlampau bening hingga terlihat dasarnya, seperti tak pernah terjamah kebodohan. Gerombolan burung dara hitam bergantian datang laksana Sukhoy mendarat teratur. Panorama itu memesona puasa estetisnya selama era busuk ini. Ia tertegun, matanya berkaca-kaca menahan haru. Tak pernah dinyana panorama se-eksotis ini ia acuhkan begitu saja. Padahal jalan ini sering ia lewati saat mulai perannya sebagai loper koran.

-Kraak!- Gemelatak ranting terdengar dari balik pohon kalpataru, sekelebat bayangan kelabu beringsut ke tengah belukar. Diam-diam Amin mengekor. Samar. sosok asing itu kian lama kian berjarak dan semakin tak terkejar.

Pupus sudah harapannya agar bisa bertemu seseorang.
Tapi Amin nekat. Paru-paru kota itu ia sisir agar benar yakin. Namun ternyata gerak-gerak barusan diciptakan oleh beberapa menjangan saja.

Langit memerah, kepulan asap tebal agak mengganggu seperti mercon yang kerap dibakar saat pertandingan sepakbola. Amin juga baru menembakkan lampu serupa, lampu tembak terakhirnya. Hingga gulita, tak merubah apa-apa. Kota tetap hening mengerikan. Untuk membunuh takutnya ia senandungkan tembang-tembang kesukaan. Ia ingat betul bagaimana sang paman pernah berkata di tengah kebun apelnya, dengan senandung niscaya setan tak berani mendekat. Energi positif senantiasa memancar karena senandung merupa suara hati yang terdalam, dan di sana, bersemayamlah Tuhan.


***


Pernah suatu ketika ia bertanya perihal penipuan apa. Mina hanya tersenyum. Amin keburu meleleh. Tak ada lagi niat untuk mencari tahu. Hanya saja mungkin Mina tak mau keburukannya diketahui oleh orang yang dicinta, ia tetapkan pembenaran.

Tapi di sela kelimbungan, Mina bertutur. Kata-kata meluncur dari mulutnya seperti asap mesin uap. Mina terus menderas, setelah kemudian ditutup “Mereka anggap aku gila,” sambil tersenyum ke arah Amin. Amin pun tersenyum linglung.

Amin tak juga paham apa maksud sang kekasih misterius itu. Seperti juga saat dituduh kafir tukang sihir, kemudian buron. Mungkinkah seorang wanita lembut bisa melakukan hal-hal demikian?


***


Setengah sayu mata Amin perlahan terbuka. Ia baru saja hendak melakukan pencarian selanjutnya, namun siluet seseorang menerpa matanya, menghentikan langkahnya seketika. Seorang wanita kusam mematung dihadapannya.

MINA?! Meski molek tubuhnya berganti dengan kulit pembalut tulang, aura kecantikan masih terpancar. Wanita itu adalah Mina.

Tak sempat Amin menumpahkan bahagia, Mina seakan memberi isyarat agar terus bergerak –lakukan pencarian. Gelagapan, Amin nurut, walau agak dongkol dan sedikit menggerutu. Rasanya keinginan akan pencarian pudar seiring Mina menampakkan dirinya. Sosoknya telah memadamkan api nestapa Amin selama penantian panjang ini. Ia hanya ingin melepas rindu mesra, mungkin bersenggama.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka terbiasa dengan kekakuan. Banyak tanda tanya berkitar namun tak satu pun buka suara.

Waktu nyaris beku.


***


“Langit menghisap mereka semua,” suara Mina pun pecah dalam keantengan, tatapannya menyapu puing sunyi. Amin menelan ludah, membayangi huru-hara yang tengah terjadi kala itu.

“Dan tugas kita terus mencari…” Mina terus saja berjalan sambil komat-kamit tanpa sedikitpun melirik Amin yang terpekur, dahinya mengerut menerka seluruh maksud ucapan wanita berlesung pipi ini.

“Sebab, orok tak mungkin mendusta, seperti mereka semua,” lanjut kekasihnya itu.

Amin tetap berjalan di belakang Mina. Terus mencari.


Cerpen ini di ambi dari Sini  (Jakarta, Maret 2014)
Share