Gemericik hujan
mengklamufase keberadaan Amin yang terpaku menyemat lekat pandangannya pada
sudut lazuardi nun jauh mengangkasa dengan lekuk matanya yang cekung, pipi
tirus dan air muka keruh. Rambut panjang kusam dan bau badannya yang anyir pun
semakin keras berjejal di udara. Keadaannya amat ngenas.
“Aku terlewat,”
gumamnya pada langit, di tengah ribuan kendaraan menggeletak semrawut seruasan
jalan, beberapa gosong terbakar akibat benturan. Sepur yang mengonggok, yang
lain berserak terjungkal dari jalur. Bangkai boeing belah menimpa gedung,
remahnya dimana-mana. Semua porak-poranda.
Amin berdiri di antara
cengkraman keheningan yang mencekik penjuru kota. Keheningan tanpa tanding.
Tiada sesiapa bahkan sekadar jejak. Engahan nafas jadi satu-satunya harmoni
siang itu.
Amin ingat betul,
bagaimana ia berontak untuk lupa terhadap gembar-gembor berita tentang pejabat
pemerintah yang hilang mendadak, yang telah mengguncang rutinitas kehidupan
masyarakat. Ekspose media terhadap berita itu lamat-lamat menjadikannya tak
hanya aib, namun mitos –pemerintah versus masyarakat— yang nyata terjadi.
Para pejabat mengklaim
penghilangan paksa semata-mata ulah masyarakat yang jengah atas ketimpangan
sosial. Masyarakat berkilah, malah nyerang balik. Menuntut anu-menuntut itu.
Sengit. Selama pemerintah
dan masyarakat saling tengkar, para pejabat semakin banyak yang hilang. Benar-benar
runyam, tak ada yang paham. Kantor-kantor pemerintahan tak lagi berpenghuni, bahkan
gedung parlemen sekalipun. Bagai rumah hantu, semua tempat itu mendadak angker.
***
“Memang cuma tersisa
aku,” akunya seraya menelusur dari puncak sebuah menara. Hanya ada kota sengkarut
awut-awutan dengan gerobak dan sampah liar bertebaran.
Malam itu, perayaan
tahun baru menjadi semacam komoditas yang lumayan. Lautan manusia merayakan
dengan kembang api tersulut. Seantero langit dipenuhi pijar bertubi-tubi.
Manusia merupa zombi beku oleh kembang api. Ada desas-desus kuno; manusia
berubah jadi srigala apabila malam bulan purnama. Tapi kini hanya ada manusia
zombi yang membatu oleh silau cahaya. Mungkin sekadar bukti otentik bahwa
evolusi sedang terjadi.
Aku berjumpa wanita
ranum berselendang malam itu,. Mina, demikian namanya, adalah wanita yang sampai
saat ini masih ku kagumi. Parasnya membuatku takjub. Aku ragu bila wanita ini adalah
penipu ulung seperti yang dikatakan orang padaku.
***
Hilangnya para pejabat bikin
gempar. Boleh jadi kualat. Masyarakat seolah terkena imbas. Satu-satu diciduk
tangan gaib. Namun, lagi-lagi mereka mengkambing-hitamkan pemerintah. Padahal
pemerintah nyaris punah.
Alangkah panik. Seakan
kota tengah terbalik. Ketakutan mengunkung demikian rupa. Hingga pada akhirnya mereka
minta petuah kepada dukun dan ahli nujum, namun dukun-dukun itu lenyap begitu
juga. Ada pula yang sowan ke professor, doktor, mereka juga menghilang. Filsuf
pun demikian. Lalu mereka mencari ahli dan laskar pembela agama agar dapat
jawaban yang tuntas. Mereka juga musnah. Ide cemerlang datang saat mereka niat ngemis
perlindungan pada tokoh-tokoh hukum dan peradilan. Tapi percuma, mereka adalah
kloter pertama yang bablas.
Masyarakat sejatinya dalam
masalah. Mereka sendiri. Semua telah menghilang, pengusaha pun, pelajar pun,
petugas hotel melati pun, seniman pun, semua! Dan, yang lebih mencengangkan,
jenazah-jenazah dalam kubur juga ikut raib.
Mereka yang masih ada
kini hidup segan mati tak mau. Hilang secara misterius perlahan dengan seporadis
mengembat siapa saja. Geliat eksodus meningkat. Mereka terisolir, selain tak
ada tujuan karena seluruh negara tak satupun lagi terdapat manusianya, lalu lintas
udara dan laut juga tak tampak tanda hidup.
Menahun sudah Amin ngais
nasib hanya untuk ketemu seseorang di tanah kelahirannya. Nihil. Tak ada lagi,
melainkan dia seorang. Pun tak ada jalan pulang, negara yang nganggur ini kini
naungannya semata. Satu-satunya pilihan adalah pasrah. Tapi terkadang mulutnya
tak henti merapal mantra, berharap akan keajaiban. Ia terlalu yakin masa depan
sedang mendekat. Entah, bisa jadi hanya firasat mentahnya.
Peripatetik, sang nomad
mulai pencariannya yang kesejuta kali. Seandainya dahulu aku tak meninggalkan Mina,
tentu kini kami bersama. Dambanya.
Demikianlah. Amin telah
merajut kasih dengan Mina. “Apa kau mau beristrikan seorang penipu?” sindiran
sahabatnya tak diindahkan. Mereka kadung dicinta. Tali asmara mesti terjalin
walau Amin seorang loper koran dan Mina dukun beranak pada perkampungan kumuh di
tengah perumahan. Saat bertemu, Mina telah buron dalam waktu yang cukup lama. Tapi,
pikirnya, mungkin karena kecelakaan persalinan saja. Maut memang misteri bukan?
Kini Amin pun dirundung
rindu berkerat-kerat.
***
Matahari kuning
sepenggalah. Amunisi perut menipis, akan halnya badan Amin yang juga menciut.
Tapi baginya kelaparan bukan musuh benar. Tersedia begitu banyak tempat untuk
dijarah.
Ketakutan besarnya ada
pada kesepian. Kala sepi menyerang, bayang-bayang mengerikan berjejal antri di
pelupuk mata. Satu demi satu adegan menyingkap dengan sendirinya, laksana teka-teki
yang maksa segera dipecahkan, seringkali gambaran itu datang berulang, seperti
televisi hitam-putih, film bisu atau pola psikedelik yang kabur.
Adalah langit gelap
mencekam dengan kepungan awan hitam menyerupai beliung. Sesambaran halilintar riuh
memekakkan telinga, begitu pula kilat yang berkejap-kejap. Serangan beribu
pusara angin itu datang serempak seperti hujan lebat, padahal tak setetes pun
air turun. Suara lolongan manusia mulai menggema seantero jagat, beberapa
mengerang histeris seolah sedang dikuliti berlapis sayat. Mendengarnya bulu
kuduk mekar. Impian itu yang melulu gentanyangan di pikiran Amin.
Sejenak pandangan mata Amin
kini tertuju pada padang ilalang yang terhampar segaris horizon. Belahan sungai
terlampau bening hingga terlihat dasarnya, seperti tak pernah terjamah
kebodohan. Gerombolan burung dara hitam bergantian datang laksana Sukhoy mendarat
teratur. Panorama itu memesona puasa estetisnya selama era busuk ini. Ia
tertegun, matanya berkaca-kaca menahan haru. Tak pernah dinyana panorama se-eksotis
ini ia acuhkan begitu saja. Padahal jalan ini sering ia lewati saat mulai perannya
sebagai loper koran.
-Kraak!-
Gemelatak
ranting terdengar dari balik pohon kalpataru, sekelebat bayangan kelabu
beringsut ke tengah belukar. Diam-diam Amin mengekor. Samar. sosok asing itu
kian lama kian berjarak dan semakin tak terkejar.
Pupus sudah harapannya
agar bisa bertemu seseorang.
Tapi Amin nekat.
Paru-paru kota itu ia sisir agar benar yakin. Namun ternyata gerak-gerak
barusan diciptakan oleh beberapa menjangan saja.
Langit memerah, kepulan
asap tebal agak mengganggu seperti mercon yang kerap dibakar saat pertandingan
sepakbola. Amin juga baru menembakkan lampu serupa, lampu tembak terakhirnya.
Hingga gulita, tak merubah apa-apa. Kota tetap hening mengerikan. Untuk
membunuh takutnya ia senandungkan tembang-tembang kesukaan. Ia ingat betul
bagaimana sang paman pernah berkata di tengah kebun apelnya, dengan senandung
niscaya setan tak berani mendekat. Energi positif senantiasa memancar karena
senandung merupa suara hati yang terdalam, dan di sana, bersemayamlah Tuhan.
***
Pernah suatu ketika ia
bertanya perihal penipuan apa. Mina hanya tersenyum. Amin keburu meleleh. Tak
ada lagi niat untuk mencari tahu. Hanya saja mungkin Mina tak mau keburukannya
diketahui oleh orang yang dicinta, ia tetapkan pembenaran.
Tapi di sela
kelimbungan, Mina bertutur. Kata-kata meluncur dari mulutnya seperti asap mesin
uap. Mina terus menderas, setelah kemudian ditutup “Mereka anggap aku gila,”
sambil tersenyum ke arah Amin. Amin pun tersenyum linglung.
Amin tak juga paham apa
maksud sang kekasih misterius itu. Seperti juga saat dituduh kafir tukang sihir,
kemudian buron. Mungkinkah seorang wanita lembut bisa melakukan hal-hal
demikian?
***
Setengah sayu mata Amin
perlahan terbuka. Ia baru saja hendak melakukan pencarian selanjutnya, namun
siluet seseorang menerpa matanya, menghentikan langkahnya seketika. Seorang
wanita kusam mematung dihadapannya.
MINA?! Meski molek
tubuhnya berganti dengan kulit pembalut tulang, aura kecantikan masih terpancar.
Wanita itu adalah Mina.
Tak sempat Amin menumpahkan
bahagia, Mina seakan memberi isyarat agar terus bergerak –lakukan pencarian. Gelagapan,
Amin nurut, walau agak dongkol dan sedikit menggerutu. Rasanya keinginan akan
pencarian pudar seiring Mina menampakkan dirinya. Sosoknya telah memadamkan api
nestapa Amin selama penantian panjang ini. Ia hanya ingin melepas rindu mesra,
mungkin bersenggama.
Seiring berjalannya
waktu, akhirnya mereka terbiasa dengan kekakuan. Banyak tanda tanya berkitar
namun tak satu pun buka suara.
Waktu nyaris beku.
***
“Langit menghisap
mereka semua,” suara Mina pun pecah dalam keantengan, tatapannya menyapu puing sunyi.
Amin menelan ludah, membayangi huru-hara yang tengah terjadi kala itu.
“Dan tugas kita terus
mencari…” Mina terus saja berjalan sambil komat-kamit tanpa sedikitpun melirik
Amin yang terpekur, dahinya mengerut menerka seluruh maksud ucapan wanita
berlesung pipi ini.
“Sebab, orok tak
mungkin mendusta, seperti mereka semua,” lanjut kekasihnya itu.
Amin tetap berjalan di
belakang Mina. Terus mencari.
Cerpen ini di ambi dari Sini (Jakarta, Maret 2014)
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar