The Truth Seeker Media

Senin, 29 September 2014

BUKU PUTIHKAN





Gemericik hujan mengklamufase keberadaan Amin yang terpaku menyemat lekat pandangannya pada sudut lazuardi nun jauh mengangkasa dengan lekuk matanya yang cekung, pipi tirus dan air muka keruh. Rambut panjang kusam dan bau badannya yang anyir pun semakin keras berjejal di udara. Keadaannya amat ngenas.

“Aku terlewat,” gumamnya pada langit, di tengah ribuan kendaraan menggeletak semrawut seruasan jalan, beberapa gosong terbakar akibat benturan. Sepur yang mengonggok, yang lain berserak terjungkal dari jalur. Bangkai boeing belah menimpa gedung, remahnya dimana-mana. Semua porak-poranda.

Amin berdiri di antara cengkraman keheningan yang mencekik penjuru kota. Keheningan tanpa tanding. Tiada sesiapa bahkan sekadar jejak. Engahan nafas jadi satu-satunya harmoni siang itu.

Amin ingat betul, bagaimana ia berontak untuk lupa terhadap gembar-gembor berita tentang pejabat pemerintah yang hilang mendadak, yang telah mengguncang rutinitas kehidupan masyarakat. Ekspose media terhadap berita itu lamat-lamat menjadikannya tak hanya aib, namun mitos –pemerintah versus masyarakat— yang nyata terjadi.

Para pejabat mengklaim penghilangan paksa semata-mata ulah masyarakat yang jengah atas ketimpangan sosial. Masyarakat berkilah, malah nyerang balik. Menuntut anu-menuntut itu.

Sengit. Selama pemerintah dan masyarakat saling tengkar, para pejabat semakin banyak yang hilang. Benar-benar runyam, tak ada yang paham. Kantor-kantor pemerintahan tak lagi berpenghuni, bahkan gedung parlemen sekalipun. Bagai rumah hantu, semua tempat itu mendadak angker. 



***


“Memang cuma tersisa aku,” akunya seraya menelusur dari puncak sebuah menara. Hanya ada kota sengkarut awut-awutan dengan gerobak dan sampah liar bertebaran. 

Malam itu, perayaan tahun baru menjadi semacam komoditas yang lumayan. Lautan manusia merayakan dengan kembang api tersulut. Seantero langit dipenuhi pijar bertubi-tubi. Manusia merupa zombi beku oleh kembang api. Ada desas-desus kuno; manusia berubah jadi srigala apabila malam bulan purnama. Tapi kini hanya ada manusia zombi yang membatu oleh silau cahaya. Mungkin sekadar bukti otentik bahwa evolusi sedang terjadi.
Aku berjumpa wanita ranum berselendang malam itu,. Mina, demikian namanya, adalah wanita yang sampai saat ini masih ku kagumi. Parasnya membuatku takjub. Aku ragu bila wanita ini adalah penipu ulung seperti yang dikatakan orang padaku.


***


Hilangnya para pejabat bikin gempar. Boleh jadi kualat. Masyarakat seolah terkena imbas. Satu-satu diciduk tangan gaib. Namun, lagi-lagi mereka mengkambing-hitamkan pemerintah. Padahal pemerintah  nyaris punah.

Alangkah panik. Seakan kota tengah terbalik. Ketakutan mengunkung demikian rupa. Hingga pada akhirnya mereka minta petuah kepada dukun dan ahli nujum, namun dukun-dukun itu lenyap begitu juga. Ada pula yang sowan ke professor, doktor, mereka juga menghilang. Filsuf pun demikian. Lalu mereka mencari ahli dan laskar pembela agama agar dapat jawaban yang tuntas. Mereka juga musnah. Ide cemerlang datang saat mereka niat ngemis perlindungan pada tokoh-tokoh hukum dan peradilan. Tapi percuma, mereka adalah kloter pertama yang bablas.

Masyarakat sejatinya dalam masalah. Mereka sendiri. Semua telah menghilang, pengusaha pun, pelajar pun, petugas hotel melati pun, seniman pun, semua! Dan, yang lebih mencengangkan, jenazah-jenazah dalam kubur juga ikut raib.

Mereka yang masih ada kini hidup segan mati tak mau. Hilang secara misterius perlahan dengan seporadis mengembat siapa saja. Geliat eksodus meningkat. Mereka terisolir, selain tak ada tujuan karena seluruh negara tak satupun lagi terdapat manusianya, lalu lintas udara dan laut juga tak tampak tanda hidup.

Menahun sudah Amin ngais nasib hanya untuk ketemu seseorang di tanah kelahirannya. Nihil. Tak ada lagi, melainkan dia seorang. Pun tak ada jalan pulang, negara yang nganggur ini kini naungannya semata. Satu-satunya pilihan adalah pasrah. Tapi terkadang mulutnya tak henti merapal mantra, berharap akan keajaiban. Ia terlalu yakin masa depan sedang mendekat. Entah, bisa jadi hanya firasat mentahnya.

Peripatetik, sang nomad mulai pencariannya yang kesejuta kali. Seandainya dahulu aku tak meninggalkan Mina, tentu kini kami bersama. Dambanya.

Demikianlah. Amin telah merajut kasih dengan Mina. “Apa kau mau beristrikan seorang penipu?” sindiran sahabatnya tak diindahkan. Mereka kadung dicinta. Tali asmara mesti terjalin walau Amin seorang loper koran dan Mina dukun beranak pada perkampungan kumuh di tengah perumahan. Saat bertemu, Mina telah buron dalam waktu yang cukup lama. Tapi, pikirnya, mungkin karena kecelakaan persalinan saja. Maut memang misteri bukan?

Kini Amin pun dirundung rindu berkerat-kerat.


***


Matahari kuning sepenggalah. Amunisi perut menipis, akan halnya badan Amin yang juga menciut. Tapi baginya kelaparan bukan musuh benar. Tersedia begitu banyak tempat untuk dijarah.

Ketakutan besarnya ada pada kesepian. Kala sepi menyerang, bayang-bayang mengerikan berjejal antri di pelupuk mata. Satu demi satu adegan menyingkap dengan sendirinya, laksana teka-teki yang maksa segera dipecahkan, seringkali gambaran itu datang berulang, seperti televisi hitam-putih, film bisu atau pola psikedelik yang kabur.

Adalah langit gelap mencekam dengan kepungan awan hitam menyerupai beliung. Sesambaran halilintar riuh memekakkan telinga, begitu pula kilat yang berkejap-kejap. Serangan beribu pusara angin itu datang serempak seperti hujan lebat, padahal tak setetes pun air turun. Suara lolongan manusia mulai menggema seantero jagat, beberapa mengerang histeris seolah sedang dikuliti berlapis sayat. Mendengarnya bulu kuduk mekar. Impian itu yang melulu gentanyangan di pikiran Amin.

Sejenak pandangan mata Amin kini tertuju pada padang ilalang yang terhampar segaris horizon. Belahan sungai terlampau bening hingga terlihat dasarnya, seperti tak pernah terjamah kebodohan. Gerombolan burung dara hitam bergantian datang laksana Sukhoy mendarat teratur. Panorama itu memesona puasa estetisnya selama era busuk ini. Ia tertegun, matanya berkaca-kaca menahan haru. Tak pernah dinyana panorama se-eksotis ini ia acuhkan begitu saja. Padahal jalan ini sering ia lewati saat mulai perannya sebagai loper koran.

-Kraak!- Gemelatak ranting terdengar dari balik pohon kalpataru, sekelebat bayangan kelabu beringsut ke tengah belukar. Diam-diam Amin mengekor. Samar. sosok asing itu kian lama kian berjarak dan semakin tak terkejar.

Pupus sudah harapannya agar bisa bertemu seseorang.
Tapi Amin nekat. Paru-paru kota itu ia sisir agar benar yakin. Namun ternyata gerak-gerak barusan diciptakan oleh beberapa menjangan saja.

Langit memerah, kepulan asap tebal agak mengganggu seperti mercon yang kerap dibakar saat pertandingan sepakbola. Amin juga baru menembakkan lampu serupa, lampu tembak terakhirnya. Hingga gulita, tak merubah apa-apa. Kota tetap hening mengerikan. Untuk membunuh takutnya ia senandungkan tembang-tembang kesukaan. Ia ingat betul bagaimana sang paman pernah berkata di tengah kebun apelnya, dengan senandung niscaya setan tak berani mendekat. Energi positif senantiasa memancar karena senandung merupa suara hati yang terdalam, dan di sana, bersemayamlah Tuhan.


***


Pernah suatu ketika ia bertanya perihal penipuan apa. Mina hanya tersenyum. Amin keburu meleleh. Tak ada lagi niat untuk mencari tahu. Hanya saja mungkin Mina tak mau keburukannya diketahui oleh orang yang dicinta, ia tetapkan pembenaran.

Tapi di sela kelimbungan, Mina bertutur. Kata-kata meluncur dari mulutnya seperti asap mesin uap. Mina terus menderas, setelah kemudian ditutup “Mereka anggap aku gila,” sambil tersenyum ke arah Amin. Amin pun tersenyum linglung.

Amin tak juga paham apa maksud sang kekasih misterius itu. Seperti juga saat dituduh kafir tukang sihir, kemudian buron. Mungkinkah seorang wanita lembut bisa melakukan hal-hal demikian?


***


Setengah sayu mata Amin perlahan terbuka. Ia baru saja hendak melakukan pencarian selanjutnya, namun siluet seseorang menerpa matanya, menghentikan langkahnya seketika. Seorang wanita kusam mematung dihadapannya.

MINA?! Meski molek tubuhnya berganti dengan kulit pembalut tulang, aura kecantikan masih terpancar. Wanita itu adalah Mina.

Tak sempat Amin menumpahkan bahagia, Mina seakan memberi isyarat agar terus bergerak –lakukan pencarian. Gelagapan, Amin nurut, walau agak dongkol dan sedikit menggerutu. Rasanya keinginan akan pencarian pudar seiring Mina menampakkan dirinya. Sosoknya telah memadamkan api nestapa Amin selama penantian panjang ini. Ia hanya ingin melepas rindu mesra, mungkin bersenggama.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka terbiasa dengan kekakuan. Banyak tanda tanya berkitar namun tak satu pun buka suara.

Waktu nyaris beku.


***


“Langit menghisap mereka semua,” suara Mina pun pecah dalam keantengan, tatapannya menyapu puing sunyi. Amin menelan ludah, membayangi huru-hara yang tengah terjadi kala itu.

“Dan tugas kita terus mencari…” Mina terus saja berjalan sambil komat-kamit tanpa sedikitpun melirik Amin yang terpekur, dahinya mengerut menerka seluruh maksud ucapan wanita berlesung pipi ini.

“Sebab, orok tak mungkin mendusta, seperti mereka semua,” lanjut kekasihnya itu.

Amin tetap berjalan di belakang Mina. Terus mencari.


Cerpen ini di ambi dari Sini  (Jakarta, Maret 2014)
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar