The Truth Seeker Media

Senin, 29 September 2014

MATA TUHAN TERPEJAM





ALINA PARAMITA mesem-mesem sendiri di tepi pantai. Ingatannya mereka ulang peristiwa saat kali pertama Ayah membawanya menyongsong mentari di ufuk timur jauh, persis seperti tempat ini.

Kala itu Alina baru berumur tiga tahun, belum mengerti apa itu matahari. Bahkan belum mengerti apa-apa selain hanya merengek sekala ada yang tak disuka. Namun betapa dulu Alina kecil takjub pada bentangan laut. Suara deburan ombak melantunkan rupa-rupa harmoni. Panorama merah nan megah menghadirkan kehangatan yang luar biasa dalam hati.

“Mau sampai kapan kau melamun?” kesah Zehan pecah. Ia memang kerap jadi korban Alina setiap melewati jalan ini. Adalah inspirasi dalih Alina. Tapi sudah pukul sembilan malam, Zehan ingin segera pulang. Tak mau lagi ia terbengong kering.

Memang, dua orang sejawat ini baru saja dari toko buku. Itu pun setelah ribut-ribut terlebih dulu. Zehan sama sekali tidak tertarik dengan buku. Rencana awal, setelah keluar dari bioskop tadi ia hendak beringsut pulang ke rumah. Tapi Alina memaksa. Dia ingin membeli sejumlah buku untuk mengisi musim liburan kali ini, katanya. Walhasil, mereka kini masih gentayangan.

Alina memang gandrung sekali terhadap buku. Dia ingin tahu segala sesuatu yang tidak dia tahu. Seperti matahari itu misalnya. Jika liburan musim lalu dia menghabiskan 30 buku, kali ini dia ingin lebih banyak lagi.
Sudah ratusan judul buku yang dilahap. Baginya, membaca itu seperti nonton film. Minggat dari dunia nyata dan menjelajahi dunia yang luar biasa baru, dunia yang tak terbayang sebelumnya. Hanya saja, jika dalam buku dunia –yang baru itu— berwujud kata-kata dan bisa diimajinasikan suka-suka, dalam film, dunia itu telah lebih dulu tergambar dalam bentuk citra atau sederhananya sinematografi barangkali. 

Malah, lebih bermakna dari itu. Membaca membikinnya hidup.

Tapi entah kenapa Alina tidak tertarik dengan acara televisi. Tak seperti Zehan yang saban hari bergelut dengan sinetron dan artis-artis flamboyan. Dia malah kepincut dengan pertunjukkan pasar malam. Lebih eksotis menurutnya.

Setelah berpisah dengan Zehan satu lorong di belakang, Alina kini meluncur sendiri. Masih ada sisa girang selepas nonton film fiksi-ilmiah tadi. Apa iya semua aktifitas di bumi bisa dilihat dari satelit? Bukankah satelit hanya alat pantau atmosfir atau benda-benda langit? Ah, nanti akan ku tanya Ayah saat ia pulang ke rumah. Pikirnya.

Ayah Alina seorang pelaut. Setiap 4 bulan sekali Ayah pulang. Berarti tiap tahun mereka hanya bertemu 3 kali. Bukan main sedih hati Alina. Namun setiap minggu Ayah pasti menelepon ke rumah, atau mengirim surat beserta hadiah, Ayah juga tak gaptek-gaptek amat, sesekali ia memamerkan fotonya ketika dalam kapal atau di negeri yang disinggah melalui jejaring sosial. Membuat iri hati Alina. Dengan hal-hal seperti itu Alina kadung gembira. Ayah pandai sekali memikat hatinya. Apalagi jika Ayah pulang dengan berbagai bingkisan yang sengaja dibawa untuknya. Betapa momen itu seakan dunia miliknya semata.

Khusus untuk Ibu, Ayah biasa menghadiahi bibit bunga dan berbagai kupu-kupu. Ibu adalah seorang kolektor tanaman dan hewan cantik itu. Itu sebabnya di pekarangan rumah terdapat taman yang  paling memesona. Banyak bunga dan kupu-kupu aneka warna. Ibu bagai bidadari tercantik di tengah taman itu. Menurut Ayah tempo hari.

Kini sosok itu ada di depan pintu, menungguku yang belum juga pulang. Tak ada raut muka ketus, juga tak ada amarah yang menyembur seperti para Ibu lain jika anak mereka berbuat sekelumit kesalahan. Hanya ada senyum manisnya yang telah diwariskan kepadaku. “Aku…”

 “Ya sudah, lekaslah kau mandi sebab makan malam sudah Ibu siapkan. Kau tak sabar ingin membaca buku barumu itu kan?” itulah Ibuku, belum habis aku berkata ia sudah lebih dulu punya jawaban yang menenangkan. Mungkinkah pengaruh bunga dan kupu-kupu yang banyak itu? Entahlah.
Tapi benar kata Ayah.


***


MATAHARI NYALANG. Sang sinar menerpa apa pun tanpa peringatan. Sekelebat fatamorgana terbentuk melapisi aspal hitam. Alina malah tak tersentuh panas sedikit pun. Kelas kursus piano ini dilengkapi dengan mesin ajaib; pendingin udara. Temperatur di sini sepadan dengan musim dingin di Eropa.

Sudah 2 kuartal ini Alina kursus piano. Kemampuannya lumayan. Selain biasa mengisi acara di sekolah, kerap juga dia ikut kompetisi-kompetisi lokal hingga jelang internasional. Prestasinya pun tak bisa dianggap remeh. Beberapa kali dia merengkuh gelar jawara. Terakhir, didapatnya ketika ikut festival di Belgia.

Meski suatu saat pernah dia berpikir, benarkah musik bisa dilombakan? Bukankah musik tetap musik bagaimanapun sudut dengarnya? Ah, tapi menyoal bakat, itu urusan yang benar-benar lain.

Zaman romantik adalah yang terbaik. Menurutnya. Bukan karena dia seorang gadis lantas melulu suka dengan sesuatu yang romantis. Bukan. Namun lebih karena nuansa yang disajikan. Nuansa di zaman romantik lebih melodius-dramatik, lebih mendebarakan. Hadel sampai saat ini masih jadi panutan.

Jam dua siang. Kali keempat dia menatap jam dinding hijau muda. Pertanda untuk bersilekas pulang sebelum Ibu sampai di rumah. Ibu juga seorang guru biologi di SD Alina dulu, tak jauh memang dari hobinya pengumpul bunga dan kupu-kupu. 

Ibu biasa tiba di rumah jam dua lebih tiga puluh menit. Setelah Alina semalam mengalami tragedi, dia tak mau kecolongan lagi. Bagaimana pun dia tak boleh telat, harus lebih dulu sampai di rumah ketimbang Ibu. Harus.

Sejurus, Alina buru-buru mengayuh sepedanya. Peluh mulai meleleh. Sekuat tenaga sepeda itu terus dikayuh. Beberapa kali nyaris jatuh atau nabrak deretan lapak di tepian jalan. Tapi dengan gesit dia ngeles kesana-kemari. Persis seperti etape-etape dalam tour de singkarak.

Persimpangan terakhir.

Suara gedebuk kencang membangunkan bulu roma. Begitu pula suara derit mobil yang berhenti mendadak. Bekas remnya masih terukir. Suara-suara agak onar itu seketika mendapat perhatian dari orang banyak. Sepeda Alina tergeletak begitu saja, rodanya masih berputar.

Perlahan mata Alina mulai terbuka. 

Tapi dimana? Jelas ini bukan rumahnya. Ruang serba putih ini jauh dari tipikal kamarnya. Selimut dan bantal yang melekat juga bukan miliknya. Bebauan yang merebak terciri. Kepalanya seketika mengeluarkan nyeri dan ada balutan perban melingkari dahi. 

Alina ada di rumah sakit!

Ingatannya saat itu juga langsung melesat ke belakang, menjaring apa saja yang bisa tertangkap sebelum semua kejadian. 


***


WAKTU ITU PAGI. Aku membantu Ibu menata taman kupu-kupu. Ibu berceritera banyak tentang muasal para penghuni taman itu; ada yang dari Afrika, Brazil, sebagian yang lain dari Eropa, dan banyak juga yang dari daratan India. “Ayahmu itu selalu ingat kita setiap pergi melaut,” pantas taman itu semakin meriah. Kupu-kupu dari pelosok dunia tumplek jadi satu di pekarangan rumah, tak lain berkat ulah Ayah. Tamu-tamu yang datang kerap begitu terkesima melihatnya.

Ibu lantas berangkat ngajar, sedangkan aku masih lembam di tengah liburan. Kenapa sekolah dasar dan sekolah menengah atas tak sama waktu liburannya? Bah! Siapa peduli.

Aku kembali ke kamar, buku tentang Atlantis yang baru kubeli benar-benar telah menciptakan tanda tanya besar. Tak sabar rasanya ingin menelan sang buku mentah-mentah, seperti tak sabar untuk menemukan kota yang telah lama hilang itu. Namun konon semuanya cuma fiksi. Khayali.

Jam sepuluh, aku sudah bersama yang lain di dalam kelas, kursus piano. Ruangan ini begitu dingin, sebentar-sebentar aku kebelet kencing. Mungkin tak lama lagi selesma menggerayangi tubuhku yang kurus kering.
Jam dua siang. Kali keempat aku menatap jam dinding hijau muda. Gegas, aku meroket ke rumah. Aku tak mau terlambat lagi. Sepeda itu ku kayuh ngebut sejadi-jadinya

Namun kemudian aku malah terbangun di tempat ini. Demikian.

Tapi…

Tunggu dulu!

Saat di jalan pulang, ku ingat, orang-orang terlihat janggal. Sungguh. Satu-satu ku perhatikan, terdapat gumpalan hitam memayung di atas atas kepala mereka. Persis. Tak salah lagi.

Persimpangan terakhir…

Sepeda itu ku biarkan terkayuh sekenanya, fokusku telah berganti pada mereka yang lalu-lalang dengan benda tak lazim di atas kepalanya.

Suara gedebuk kencang membangunkan bulu roma. Begitu pula suara derit mobil yang berhenti mendadak. Bekas remnya masih terukir. Suara-suara agak onar itu seketika mendapat perhatian dari orang banyak.
Aku tersambar mobil.


***


TAK MUNGKIN KELIRU. Alina masih berusaha membongkar teka-teki. Gumpalan-gumpalan asing itulah yang mengirimnya ke rumah sakit ini. Sebab kalau tidak, dia seharusnya sedang ada di rumah menanti Ibu pulang sambil melanjutkan petualangannya di Atlantis. Bukan di tempat yang membosankan seperti ini.

Lalu, tiba-tiba seorang perawat masuk tanpa kompromi. Senyumnya manis mengembang. Makanan dan beberapa butir antibiotik telah disiapkan. “Keadaanmu tidak terlalu parah, hanya sedikit shock saja,” aku masih saja menatapnya saat ia sibuk menggugurkan tugasnya. Tubuh perawat itu semampai dengan rupa yang ramah. Ada tahi lalat di bawah mata kirinya, malu-malu seperti putri malu. Perawat itu semakin menawan dengan bibir yang merona merah darah. Sehelai topi perawat juga lekat bagai mahkota yang menutupi sebagian rambut ikalnya. Amboi cantiknya.

Namun kusaksikan lebih cermat, ada benda hitam itu pula di atas kepalanya! 

Gumpalan benda yang sama dengan orang-orang yang kulihat. Terus kuperhatikan. Ia tak risih, meski benda itu jelas melayang-layang kesana-kemari mengikuti dirinya sampai ia menghilang di balik pintu kamar nomor 14 rumah sakit ini.

Aneh. Ada apa sebenarnya? Alina terjebak dalam kemelut. Rasa penasaran akan Atlantis kini berganti hasrat besar akan benda asing yang menghancurkan ketentraman hari-harinya. 

Akankah benda itu pertanda gaib?

Imaji Alina berkeliaran mereka-reka sejumlah kemungkinan.

Tak lama Ibu dan Zehan datang bersamaan. Tak lupa mereka bawa berbagai kudapan favorit Alina. Coklat, tak boleh ketinggalan. Alina tak bisa lepas dari coklat.

“Hari ini kau sudah boleh pulang, tidakkah kau rindu pada kupu-kupu?” tawa Ibu sedikit-sedikit mencairkan ketegangan yang masih menyergapnya. Tapi memang, Alina amat hampa ketika tak sekalipun ke taman itu. Saat berada disitu jiwanya seakan dipenuhi suatu khazanah yang baru. 

Pernah pada kala senja, Alina bermeditasi di tengahnya. Awalnya aneh, tapi lama-kelamaan dia bisa mengakrabi ragam suara, wangi, serta kupu-kupu yang menari. Rileksasi yang membebaskan.

Di tengah kehangatan yang sebegitu, Alina terbelalak. Benda sial itu rupanya juga terlihat karib pada Ibu dan Zehan! 

Sebisa mungkin risau yang mulai luber ia sembunyikan agar tak terlalu menarik perhatian.


***


KINI Alina sedang asyik ngobrol dengan Rio yang datang menjenguk. Gosip yang tersebar di sekolah bahwa Rio jatuh hati padanya tak dihiraukan. Rio dianggapnya hanya teman biasa seperti juga yang lainnya. Walaupun gestur Rio cukup kharismatik bak personil Boy Band Korea, Alina tak bergeming. Terlebih dia tahu Rio termasuk deretan anak nakal di sekolah; suka kelahi dan perokok. Alina benci sekali orang macam itu. Orang payah yang kalah oleh dirinya sendiri.

Rio masih saja menyerangnya dengan rayuan gombal. Alina hanya terkekeh dalam hati. Dalam canda-tawa itu, Alina mendadak beku. Karena, astaga! Ternyata benda misterius itu juga ada pada Rio! 

Hingga ia pamit menghilang, Alina masih termangu di taman kupu-kupu.

Otak Alina kini semakin ruwet, cenderung absurd, tak habis mengerti dengan segala prahara yang tengah terjadi. Pernah dia berniat untuk bertanya pada Zehan. Namun diurungkannya karena takut dikira gila atau efek luka di kepalanya.

Namun , diam-diam Alina mulai bergerak pergi ke tugu dekat rumah. Tugu itu merupakan muara perbauran di daerahnya. Mayoritas muda-mudi berkumpul pada area terbuka hijau itu. Terkadang hingga subuh menjelang mereka masih saja bercengkrama satu sama lain sambil menyantap nasi kucing atau sekadar kopi.
Nisbi, prasangkanya terbukti. 

Semua orang di tugu itu juga melekat gumpalan benda-benda tak wajar di atas kepala mereka! Dia terus memastikan dengan saksama, dan benar, tak salah lagi. Nyata!

Alina kembali ke rumah dengan terhuyung-huyung. 

Tak tahu mesti apa. Air mata pun mulai menetes sirami pipi sempalnya. Alina benar-benar bingung, benar-benar takut. 

Lekat-lekat dia perhatikan bayangan dirinya dalam cermin bulat di sudut kamarnya, masih menangis. Tapi sekala kedipan, bayangan itu tersentak beku, saat melihat benda laknat itu ternyata ada pula di atas kepalanya! 

Sungguh nyata. Benda itu padat, bukan benda gaib seperti yang dia sangkakan. Tak bisa dipindahkan, bahkan bergeser pun tidak. Seperti terpatri.

Alina terhenyak beberapa saat. Tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“b-b-bu, benda apakah ini?” Alina memberanikan diri ke pekarangan, ia mulai terbata dengan suara nyaris berbisik, seolah tak mau dengar apa yang dikatakan. Sedangkan Ibu lagi asyik menyiangi bunga-bunga idaman, sembari menikmati seceruk teh aroma melati.

“Belum tahukah kau nak ?” Ibu diam sesaat, “Di atas kepala kita ini adalah kamera pengawas. Sama seperti yang terdapat pada gedung-gedung atau pusat perbelanjaan. Panoptikon nak,” lanjutnya di antara ratusan kupu-kupu. Alina hanya diam. Entah terpesona, entah kebingungan. Pupil matanya membesar, seperti fokus pada sesuatu dengan amat sangat. 

“… karena ternyata kita lebih takut, lebih mawas dan lebih awas dengan keberadaan kamera ini. Kita pun lebih percaya dengan apa yang terekam dibanding dengan apa yang orang lain katakan. Kamera pengawas ini pengganti mata Tuhan nak, apa kau belum tahu?” lanjutnya. Alina tertegun, seketika gelisah, seringkali ia mencurangi Tuhan.

Cerpen ini diambil dari sini (Jakarta, Januari 2014)
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar