ALINA PARAMITA mesem-mesem sendiri di tepi pantai. Ingatannya mereka ulang
peristiwa saat kali pertama Ayah membawanya menyongsong mentari di ufuk timur
jauh, persis seperti tempat ini.
Kala itu Alina baru berumur tiga tahun, belum mengerti apa itu
matahari. Bahkan belum mengerti apa-apa selain hanya merengek sekala ada yang
tak disuka. Namun betapa dulu Alina kecil takjub pada bentangan laut. Suara deburan
ombak melantunkan rupa-rupa harmoni. Panorama merah nan megah menghadirkan kehangatan
yang luar biasa dalam hati.
“Mau sampai kapan kau melamun?” kesah Zehan pecah. Ia memang kerap
jadi korban Alina setiap melewati jalan ini. Adalah inspirasi dalih Alina. Tapi
sudah pukul sembilan malam, Zehan ingin segera pulang. Tak mau lagi ia
terbengong kering.
Memang, dua orang sejawat ini baru saja dari toko buku. Itu pun
setelah ribut-ribut terlebih dulu. Zehan sama sekali tidak tertarik dengan
buku. Rencana awal, setelah keluar dari bioskop tadi ia hendak beringsut pulang
ke rumah. Tapi Alina memaksa. Dia ingin membeli sejumlah buku untuk mengisi
musim liburan kali ini, katanya. Walhasil, mereka kini masih gentayangan.
Alina memang gandrung sekali terhadap buku. Dia ingin tahu segala
sesuatu yang tidak dia tahu. Seperti matahari itu misalnya. Jika liburan musim
lalu dia menghabiskan 30 buku, kali ini dia ingin lebih banyak lagi.
Sudah ratusan judul buku yang dilahap. Baginya, membaca itu seperti
nonton film. Minggat dari dunia nyata dan menjelajahi dunia yang luar biasa
baru, dunia yang tak terbayang sebelumnya. Hanya saja, jika dalam buku dunia
–yang baru itu— berwujud kata-kata dan bisa diimajinasikan suka-suka, dalam
film, dunia itu telah lebih dulu tergambar dalam bentuk citra atau sederhananya
sinematografi barangkali.
Malah, lebih bermakna dari itu. Membaca membikinnya hidup.
Tapi entah kenapa Alina tidak tertarik dengan acara televisi. Tak
seperti Zehan yang saban hari bergelut dengan sinetron dan artis-artis
flamboyan. Dia malah kepincut dengan pertunjukkan pasar malam. Lebih eksotis
menurutnya.
Setelah berpisah dengan Zehan satu lorong di belakang, Alina kini
meluncur sendiri. Masih ada sisa girang selepas nonton film fiksi-ilmiah tadi.
Apa iya semua aktifitas di bumi bisa dilihat dari satelit? Bukankah satelit
hanya alat pantau atmosfir atau benda-benda langit? Ah, nanti akan ku tanya
Ayah saat ia pulang ke rumah. Pikirnya.
Ayah Alina seorang pelaut. Setiap 4 bulan sekali Ayah pulang. Berarti
tiap tahun mereka hanya bertemu 3 kali. Bukan main sedih hati Alina. Namun
setiap minggu Ayah pasti menelepon ke rumah, atau mengirim surat beserta
hadiah, Ayah juga tak gaptek-gaptek amat, sesekali ia memamerkan fotonya ketika
dalam kapal atau di negeri yang disinggah melalui jejaring sosial. Membuat iri
hati Alina. Dengan hal-hal seperti itu Alina kadung gembira. Ayah pandai sekali
memikat hatinya. Apalagi jika Ayah pulang dengan berbagai bingkisan yang
sengaja dibawa untuknya. Betapa momen itu seakan dunia miliknya semata.
Khusus untuk Ibu, Ayah biasa menghadiahi bibit bunga dan berbagai
kupu-kupu. Ibu adalah seorang kolektor tanaman dan hewan cantik itu. Itu
sebabnya di pekarangan rumah terdapat taman yang paling memesona. Banyak bunga dan kupu-kupu
aneka warna. Ibu bagai bidadari tercantik di tengah taman itu. Menurut Ayah
tempo hari.
Kini sosok itu ada di depan pintu, menungguku yang belum juga
pulang. Tak ada raut muka ketus, juga tak ada amarah yang menyembur seperti
para Ibu lain jika anak mereka berbuat sekelumit kesalahan. Hanya ada senyum
manisnya yang telah diwariskan kepadaku. “Aku…”
“Ya sudah, lekaslah kau
mandi sebab makan malam sudah Ibu siapkan. Kau tak sabar ingin membaca buku
barumu itu kan?” itulah Ibuku, belum habis aku berkata ia sudah lebih dulu
punya jawaban yang menenangkan. Mungkinkah pengaruh bunga dan kupu-kupu yang
banyak itu? Entahlah.
Tapi benar kata Ayah.
***
MATAHARI
NYALANG. Sang sinar menerpa apa pun tanpa
peringatan. Sekelebat fatamorgana terbentuk melapisi aspal hitam. Alina malah
tak tersentuh panas sedikit pun. Kelas kursus piano ini dilengkapi dengan mesin
ajaib; pendingin udara. Temperatur di sini sepadan dengan musim dingin di
Eropa.
Sudah 2 kuartal ini Alina kursus piano. Kemampuannya lumayan.
Selain biasa mengisi acara di sekolah, kerap juga dia ikut kompetisi-kompetisi
lokal hingga jelang internasional. Prestasinya pun tak bisa dianggap remeh.
Beberapa kali dia merengkuh gelar jawara. Terakhir, didapatnya ketika ikut
festival di Belgia.
Meski suatu saat pernah dia berpikir, benarkah musik bisa
dilombakan? Bukankah musik tetap musik bagaimanapun sudut dengarnya? Ah, tapi
menyoal bakat, itu urusan yang benar-benar lain.
Zaman romantik adalah yang terbaik. Menurutnya. Bukan karena dia
seorang gadis lantas melulu suka dengan sesuatu yang romantis. Bukan. Namun lebih
karena nuansa yang disajikan. Nuansa di zaman romantik lebih melodius-dramatik,
lebih mendebarakan. Hadel sampai saat ini masih jadi panutan.
Jam dua siang. Kali keempat dia menatap jam dinding hijau muda.
Pertanda untuk bersilekas pulang sebelum Ibu sampai di rumah. Ibu juga seorang guru
biologi di SD Alina dulu, tak jauh memang dari hobinya pengumpul bunga dan
kupu-kupu.
Ibu biasa tiba di rumah jam dua lebih tiga puluh menit. Setelah
Alina semalam mengalami tragedi, dia tak mau kecolongan lagi. Bagaimana pun dia
tak boleh telat, harus lebih dulu sampai di rumah ketimbang Ibu. Harus.
Sejurus, Alina buru-buru mengayuh sepedanya. Peluh mulai meleleh.
Sekuat tenaga sepeda itu terus dikayuh. Beberapa kali nyaris jatuh atau nabrak deretan
lapak di tepian jalan. Tapi dengan gesit dia ngeles kesana-kemari. Persis
seperti etape-etape dalam tour de singkarak.
Persimpangan terakhir.
Suara gedebuk kencang membangunkan bulu roma. Begitu pula suara
derit mobil yang berhenti mendadak. Bekas remnya masih terukir. Suara-suara
agak onar itu seketika mendapat perhatian dari orang banyak. Sepeda Alina
tergeletak begitu saja, rodanya masih berputar.
Perlahan mata Alina mulai terbuka.
Tapi dimana? Jelas ini bukan rumahnya. Ruang serba putih ini jauh
dari tipikal kamarnya. Selimut dan bantal yang melekat juga bukan miliknya.
Bebauan yang merebak terciri. Kepalanya seketika mengeluarkan nyeri dan ada balutan
perban melingkari dahi.
Alina ada di rumah sakit!
Ingatannya saat itu juga langsung melesat ke belakang, menjaring apa
saja yang bisa tertangkap sebelum semua kejadian.
***
WAKTU ITU PAGI. Aku membantu Ibu menata taman kupu-kupu. Ibu berceritera banyak
tentang muasal para penghuni taman itu; ada yang dari Afrika, Brazil, sebagian
yang lain dari Eropa, dan banyak juga yang dari daratan India. “Ayahmu itu
selalu ingat kita setiap pergi melaut,” pantas taman itu semakin meriah.
Kupu-kupu dari pelosok dunia tumplek jadi satu di pekarangan rumah, tak lain berkat
ulah Ayah. Tamu-tamu yang datang kerap begitu terkesima melihatnya.
Ibu lantas berangkat ngajar, sedangkan aku masih lembam di tengah
liburan. Kenapa sekolah dasar dan sekolah menengah atas tak sama waktu
liburannya? Bah! Siapa peduli.
Aku kembali ke kamar, buku tentang Atlantis yang baru kubeli
benar-benar telah menciptakan tanda tanya besar. Tak sabar rasanya ingin
menelan sang buku mentah-mentah, seperti tak sabar untuk menemukan kota yang
telah lama hilang itu. Namun konon semuanya cuma fiksi. Khayali.
Jam sepuluh, aku sudah bersama yang lain di dalam kelas, kursus
piano. Ruangan ini begitu dingin, sebentar-sebentar aku kebelet kencing.
Mungkin tak lama lagi selesma menggerayangi tubuhku yang kurus kering.
Jam dua siang. Kali keempat aku menatap jam dinding hijau muda.
Gegas, aku meroket ke rumah. Aku tak mau terlambat lagi. Sepeda itu ku kayuh ngebut
sejadi-jadinya
Namun kemudian aku malah terbangun di tempat ini. Demikian.
Tapi…
Tunggu dulu!
Saat di jalan pulang, ku ingat, orang-orang terlihat janggal. Sungguh.
Satu-satu ku perhatikan, terdapat gumpalan hitam memayung di atas atas kepala
mereka. Persis. Tak salah lagi.
Persimpangan terakhir…
Sepeda itu ku biarkan terkayuh sekenanya, fokusku telah berganti
pada mereka yang lalu-lalang dengan benda tak lazim di atas kepalanya.
Suara gedebuk kencang membangunkan bulu roma. Begitu pula suara
derit mobil yang berhenti mendadak. Bekas remnya masih terukir. Suara-suara
agak onar itu seketika mendapat perhatian dari orang banyak.
Aku tersambar mobil.
***
TAK MUNGKIN
KELIRU. Alina masih
berusaha membongkar teka-teki. Gumpalan-gumpalan asing itulah yang mengirimnya
ke rumah sakit ini. Sebab kalau tidak, dia seharusnya sedang ada di rumah
menanti Ibu pulang sambil melanjutkan petualangannya di Atlantis. Bukan di
tempat yang membosankan seperti ini.
Lalu, tiba-tiba seorang perawat masuk tanpa kompromi. Senyumnya
manis mengembang. Makanan dan beberapa butir antibiotik telah disiapkan.
“Keadaanmu tidak terlalu parah, hanya sedikit shock saja,” aku masih saja menatapnya saat ia sibuk menggugurkan
tugasnya. Tubuh perawat itu semampai dengan rupa yang ramah. Ada tahi lalat di
bawah mata kirinya, malu-malu seperti putri malu. Perawat itu semakin menawan
dengan bibir yang merona merah darah. Sehelai topi perawat juga lekat bagai
mahkota yang menutupi sebagian rambut ikalnya. Amboi cantiknya.
Namun kusaksikan lebih cermat, ada benda hitam itu pula di atas
kepalanya!
Gumpalan benda yang sama dengan orang-orang yang kulihat. Terus
kuperhatikan. Ia tak risih, meski benda itu jelas melayang-layang kesana-kemari
mengikuti dirinya sampai ia menghilang di balik pintu kamar nomor 14 rumah
sakit ini.
Aneh. Ada apa sebenarnya? Alina terjebak dalam kemelut. Rasa
penasaran akan Atlantis kini berganti hasrat besar akan benda asing yang
menghancurkan ketentraman hari-harinya.
Akankah benda itu pertanda gaib?
Imaji Alina berkeliaran mereka-reka sejumlah kemungkinan.
Tak lama Ibu dan Zehan datang bersamaan. Tak lupa mereka bawa
berbagai kudapan favorit Alina. Coklat, tak boleh ketinggalan. Alina tak bisa
lepas dari coklat.
“Hari ini kau sudah boleh pulang, tidakkah kau rindu pada
kupu-kupu?” tawa Ibu sedikit-sedikit mencairkan ketegangan yang masih
menyergapnya. Tapi memang, Alina amat hampa ketika tak sekalipun ke taman itu.
Saat berada disitu jiwanya seakan dipenuhi suatu khazanah yang baru.
Pernah pada kala senja, Alina bermeditasi di tengahnya. Awalnya
aneh, tapi lama-kelamaan dia bisa mengakrabi ragam suara, wangi, serta
kupu-kupu yang menari. Rileksasi yang membebaskan.
Di tengah kehangatan yang sebegitu, Alina terbelalak. Benda sial
itu rupanya juga terlihat karib pada Ibu dan Zehan!
Sebisa mungkin risau yang mulai luber ia sembunyikan agar tak
terlalu menarik perhatian.
***
KINI Alina sedang asyik
ngobrol dengan Rio yang datang menjenguk. Gosip yang tersebar di sekolah bahwa
Rio jatuh hati padanya tak dihiraukan. Rio dianggapnya hanya teman biasa
seperti juga yang lainnya. Walaupun gestur Rio cukup kharismatik bak personil Boy
Band Korea, Alina tak bergeming. Terlebih dia tahu Rio termasuk deretan anak
nakal di sekolah; suka kelahi dan perokok. Alina benci sekali orang macam itu.
Orang payah yang kalah oleh dirinya sendiri.
Rio masih saja menyerangnya dengan rayuan gombal. Alina hanya
terkekeh dalam hati. Dalam canda-tawa itu, Alina mendadak beku. Karena, astaga!
Ternyata benda misterius itu juga ada pada Rio!
Hingga ia pamit menghilang, Alina masih termangu di taman kupu-kupu.
Otak Alina kini semakin ruwet, cenderung absurd, tak habis mengerti
dengan segala prahara yang tengah terjadi. Pernah dia berniat untuk bertanya
pada Zehan. Namun diurungkannya karena takut dikira gila atau efek luka di
kepalanya.
Namun , diam-diam Alina mulai bergerak pergi ke tugu dekat rumah.
Tugu itu merupakan muara perbauran di daerahnya. Mayoritas muda-mudi berkumpul pada
area terbuka hijau itu. Terkadang hingga subuh menjelang mereka masih saja
bercengkrama satu sama lain sambil menyantap nasi kucing atau sekadar kopi.
Nisbi, prasangkanya terbukti.
Semua orang di tugu itu juga melekat gumpalan benda-benda tak wajar
di atas kepala mereka! Dia terus memastikan dengan saksama, dan benar, tak
salah lagi. Nyata!
Alina kembali ke rumah dengan terhuyung-huyung.
Tak tahu mesti apa. Air mata pun mulai menetes sirami pipi
sempalnya. Alina benar-benar bingung, benar-benar takut.
Lekat-lekat dia perhatikan bayangan dirinya dalam cermin bulat di
sudut kamarnya, masih menangis. Tapi sekala kedipan, bayangan itu tersentak
beku, saat melihat benda laknat itu ternyata ada pula di atas kepalanya!
Sungguh nyata. Benda itu padat, bukan benda gaib seperti yang dia
sangkakan. Tak bisa dipindahkan, bahkan bergeser pun tidak. Seperti terpatri.
Alina terhenyak beberapa saat. Tak percaya dengan apa yang ia
lihat.
“b-b-bu, benda apakah ini?” Alina memberanikan diri ke pekarangan, ia
mulai terbata dengan suara nyaris berbisik, seolah tak mau dengar apa yang dikatakan.
Sedangkan Ibu lagi asyik menyiangi bunga-bunga idaman, sembari menikmati
seceruk teh aroma melati.
“Belum tahukah kau nak ?” Ibu diam sesaat, “Di atas kepala kita ini
adalah kamera pengawas. Sama seperti yang terdapat pada gedung-gedung atau
pusat perbelanjaan. Panoptikon nak,” lanjutnya di antara ratusan kupu-kupu.
Alina hanya diam. Entah terpesona, entah kebingungan. Pupil matanya membesar,
seperti fokus pada sesuatu dengan amat sangat.
“… karena ternyata kita lebih takut, lebih mawas dan lebih awas
dengan keberadaan kamera ini. Kita pun lebih percaya dengan apa yang terekam
dibanding dengan apa yang orang lain katakan. Kamera pengawas ini pengganti
mata Tuhan nak, apa kau belum tahu?” lanjutnya. Alina tertegun, seketika
gelisah, seringkali ia mencurangi Tuhan.
Cerpen ini diambil dari sini (Jakarta, Januari 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar