Ilustrasi
oleh www1.curriculum.edu.au
Ketepak kaki kuda
berentet mengalunkan suara tertib dalam ritme triplet. Pecut-pecut prajurit membabi-buta
menghajar siapa pun yang halangi jalan. Banyak yang tergencet, ada pula yang tersungkur
meniduri tanah. Para jelata di bibir pasar itu kisruh, saling dorong, takut
terkena sabetan. Tapi orang di dalam kereta kuda tak bergeming barang sebentar
saja.
Sirene polisi meraung seperti
sangkakala. Motor-motor besar serupa belalang tempur memalang apa pun dihadapan.
Gerombolan mobil berharga triliunan melesat ringan satu barisan. Tak ada perhatian
terhadap dunia luar atas orang berdasi ini dari balik tabir surya. Atas nama
standar prosedur, jalan ini adalah milik mereka semata. Padahal perempuan
bunting setengah mati meregang nyawa dalam omprengan butut.
Kilat. Rombongan kereta
kuda kini telah ada di serambi kastil nan megah. Tiang-tiang penyangga berlapis
marmer menjulang. Langit kubah penuh lukisan bidadari telanjang. Lantai keramik
berlumur intan permata. Guci-guci emas menunggui setiap sudut ruangannya
seperti demit. Cawan-cawan berisi tujuh puluh jenis buah setia pada meja megah
berbahan kayu jati berbalut kemilau emas. Wanita-wanita molek mendekat dengan
jinak, namun tak diindahkan. Tersungut-sungut ia banting segala yang tergapai
sambil nyemburkan kesumat. Anak buahnya yang sial tertebas batang lehernya.
Percikan darah si
pengawal istana malang mengenai stelan jas parlente hitam yang membalut dirinya.
Selaras pistol yang ia tembakan pada jidad sang anak buah kini terpelanting di permadani
bermotif panorama, hadiah dari salah satu tamu negaranya bulan lalu. “Siapa
yang begitu lancang mengusik dirimu Pak?” suara perempuan bersanggul memecah
ketegangan. Rupanya sang istri mafhum, Presiden ini memang acap kalap jika
sesuatu tak sesuai selera.
Dalam perjalanannya
barusan, khalayak meludah bahkan melempari rombongan dengan sampah. Sesuatu
yang tak pantas untuk seorang raja, yang telah memberi mereka hidup. Mengingat
insiden itu, rahangnya gemeratak, tangan terkepal memegang pedang berlumur
darah, otot-ototnya ngembang, nahan amuk.
“Akan mewaris
turun-temurun Pak,” tangan sang istri yang ada di dadanya kini membasuh laranya
sesaat. Ia masih saja terbengong ketika melihat Ibu Negara ini berseri. F-16 yang
penuh amunisi itu pun ia perintahkan untuk kembali. Nyaris saja masyarakat tak
tahu diuntung mati gosong.
***
Alkisah, pada sebuah
negeri di puncak gunung, dimana langit hanya berjarak lima jengkal, awan-awan
seliweran dipacu angin tak kasat, dan puluhan jentayu terbang berputar,
terdapatlah sebuah ritus yang termahsyur sejazirah. Seremoni sakral bagi umat
manusia. Ribuan tahun sudah acara ini terselenggara secara mewaris. Seperti
telah dinubuatkan para leluhur: Tuhan akan datang ke negeri ini setiap lima
tahun. Seseorang akan ditasbihkan serta disembah meski ia berkedok anonim atau bahkan
dari antah berantah sekalipun. Penduduk negeri telah amat lama menantikan
peristiwa bersejarah ini.
Mendengar desas-desus
tentang kabar itu, seluruh penguasa dari pelosok dunia datang dengan arogan.
Masing-masing mengaku merekalah sosok tuhan. Sang pesohor. Yang maha dari
segala. Mereka datang komplotan sesuai dengan jubah kebesaran dan terciri
koloni: dengan gajah purba, dengan naga api, ada yang jalan kaki, ada yang
muncul begitu saja secara gaib, ada kelompok perempuan yang datang dari balik rembulan,
ada yang bangkit dari kubur, lalu ada yang mengendarai awan, bahkan ada yang
datang dengan hanya berupa bayangan.
Akan halnya dengan sang
raja dan presiden. Mereka datang. Mereka ingin rakyat negerinya bangga dengan ia
ternobat sebagai tuhan. Mereka ingin rakyat mencintainya. Mereka ingin
menggenggam kepatuhan rakyat bulat-bulat. Absolut.
Namun, ketika melihat
bagaimana cara-cara penguasa lain datang, ciutlah nyali mereka seperti domba di
kandang singa. Mereka pucat.
Berbondong-bondong
rakyat sepelosok nyerbu dari delapan penjuru. Mereka penasaran. Mereka lapar tuhan
idaman. Sudah bukan rahasia umum kalau kinerja tuhan sekarang amat
mengecewakan. Rakyat tak mau lagi kecolongan untuk yang kedua kali. Tuhan harus
sesuai dengan selera mereka sendiri. Harga mati.
Para kandidat tuhan
giat mengeluarkan kiat untuk menarik simpati rakyat. Tak jarang mereka serampangan
nampilkan siapa yang lebih prima. Adu kesaktian berlangsung sengit. Arena pesta
sejurus kemudian seperti obral tenung, dan segala macam ajian. Jual-beli
serangan tak bisa dihindarkan. Banyak hal ajaib nyeruak mengadegan. Tapi
kerumunan massa yang menyimak tetap anteng seperti nonton layar tancap.
Setali tiga uang, sang
raja dan presiden juga tak nyangka dengan apa yang dilihat. Takjub. Mereka
kikuk sendiri. Sampai akhirnya mereka juga terkena serangan, meledaklah amarah
mereka! Sang raja berubah wujud jadi raksasa. Negeri itu kini hanya sebesar
jempol kakinya. Pun demikian dengan sang presiden, serta-merta jutaan pesawat
tempur memberondong penguasa lain. Ribuan kapal perang di semenanjung juga memuntahkan
rudal atas perintahnya. Kondisi pesta berubah jadi medan pertempuran.
Dari kejauhan seorang
musafir melihat letusan janggal tersebut. Gegas, ia meluncur ke tempat perkara.
Derapnya kencang, pakaian lusuhnya melambai-lambai, begitu pula rambut gimbal
berkerak yang menjuntai hingga tungkai. Kontur yang terjal terasa ringan karena
ia telah terbiasa dengan pegunungan.
Potret di puncak gunung
itu sontak membuatnya terkejut. Huru-hara besar ada dalam sebuah pentas. Dan,
sekumpulan massa hanya bertepuk tangan kegirangan melihat semua tragedi.
Seperti itulah.
Seperti juga keberingasan
sosok raksasa sang raja yang membawa petaka, atau keampuhan senjata pemusnah
masal sang presiden yang mencabut nyawa orang banyak. Tapi bagi khalayak,
semakin banyak si kandidat membantai karena dalih melindungi diri, semakin
bertambahlah nilai prestisiusnya. Pertanda bahwa kemampuannya untuk melindungi
umat manusia benar-benar mumpuni kelak.
Sang musafir terus
memerhati. Mencoba untuk paham segala aral yang membingungkan. Mungkinkah ini
hanya perang tipu-tipu atau tonil lawakan belaka? Namun ceceran tubuh manusia
begitu nyatanya, hingga amis darah merebak kemana-mana. Wanita dan bocah yang
buyar pun tampak bukan rekaan. Lautan air mata yang tergenang juga asli dari
kesedihan. Cengut, ia tambah bingung dengan sebagian yang lain, yang justru
bersorak-sorai. Mereka terus berfoya-foya dengan babi guling dan segentong
anggur anta.
***
Puluhan rembulan telah
lewat sempurna, pesta itu masih saja bertaji. Khalayak tak jemu mantengi setiap
alur pergerakan dan lobi-lobi. Halaman balai kota telah berubah bentuk menjadi
tempat penampungan. Para penduduk tak segan tidur dalam tenda, bahkan jika harus
berbantalkan lengannya sendiri.
Sementara itu, baku hantam
tetap jadi kegiatan yang rutin dilakukan para kandidat. Meski semaput, berwajah
bonyok, serta kuping buntung, jurus-jurus masih menerjang tak habis-habis.
Ambisi mereka sama besar. Tak ada yang mau ngalah.
Kelompok massa lambat
laun jauh dari waras. Berbagai atraksi mereka lakukan agar sang gacoan
bertambah sakti. Taburan kembang tujuh rupa, kemenyan, tembako, kupi hitam, kolor
biru muda, bahkan ada yang bawa-bawa jubah pocong dari jenazah yang baru
dikubur.
Parahnya lagi, ada
beberapa yang saling menyakiti diri sesama mereka, caranya pun bermacam-macam, mulai
dari saling hantam menggunakan cambuk runcing, balok kayu, palu-arit, botol
beling, anak panah, racun arsenik, batu, belati, molotov, pekikan suci, hingga
ada yang membakar tubuhnya sendiri dengan geretan atau bom rakitan. Namun pesta
tetap terkendali, mereka tak sabar dengan hasil.
Kini tinggal sang raja
dan presiden saja yang tersisa. Mereka bunuh-bunuhan. Bayangan untuk jadi tuhan
tinggal satu langkah lagi. Mayat-mayat kandidat lain serta rakyat yang ketiban
sial menjadi korban salah sasaran bergelimpangan dimana-mana, kubangan darah
yang terbentuk hingga setinggi lutut, sedangkan lautan air mata kian lama kian
mengering. Tetapi pertarungan kuasa tuhan terus berlangsung. Massa yang
menyaksikan malah bertambah, seperti lautan manusia. Mereka meneriaki yel-yel
dukungan kepada sepasang kandidat sisa, meskipun mereka tak kenal betul dengan
keduanya. Malah mereka tak pernah tahu asal-usul serta rekam jejak keduanya
yang sebentar lagi jadi tuhan ini.
Obituari. Sang presiden
baru saja mati. Mayatnya tak utuh, berhamburan. Ia baru saja dibejak oleh
raksasa jelmaan raja yang kini berpangkat tuhan. Tuhan baru yang hadir seperti
nubuat para leluhur setelah meluluh-lantak para pesaingnya. Gelak tawa sang
raksasa menggema seantero jagat. Gemuruh halilintar bersambaran seakan ikut
merayakan pesta kemenangannya. Wedus gembel dari dalam gunung juga tak
ketinggalan mengepul penuhi langit pesta. Suara-suara binatang hutan dari jangkrik
sampai gorila ribut saling sahut seakan punya firasat. Gelombang air pasang mencakar-cakar
di tengah lautan. Tampak batu-batu meteor bermanuver satu arah gerakan. Suasana
semesta seakan-akan merespon kemenangan mutlak sang raja dengan berbagai macam alasan.
Entah.
Namun sang musafir
justru linglung. Kerumunan massa
malah
mulai menyusut. Mereka perlahan bubar secara bergilir. Seperti telah kenyang,
seperti telah tersalur birahinya. Tak ada lagi hingar-bingar pesta semalam suntuk
atau sampai mabuk. Mereka kembali ke aktifitasnya sehari-hari: berkebun,
melaut, dagang, ngemis, melacur, ada juga yang jadi tukang pulung. Mendadak mereka
seperti baru terbangun dari mimpi. Musafir lapuk itu heran. Padahal sebelumnya
para penduduk gempita di tengah pesta.
“Kisanak hendak kemana?
Bukankah tuhan baru saja terpilih?” seorang paruh baya dengan langkah ringkih
dan pakaian yang serba kumal mendadak berhenti mendengar suara sang musafir. Tampak
ia seperti seorang petani, dari kaki dan tangan membercak lumpur. Saat di tengah
barisan massa tadi, ia terlihat begitu vokal mendukung salah seorang, tapi kini
ia hendak bergegas pulang.
“Engkau ini bagaimana?
Tuhan itu kami,” sang musafir terperanga sambil memandangi renta lusuh yang berbaur
dengan kerumunan rakyat.
Sedangkan sang raksasa
terus saja berkoar minta pengakuan.
Cerpen ini diambil dari sini (Jakarta, April 2014)
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar