The Truth Seeker Media

Senin, 29 September 2014

KIDUNG DEMOS KADUNG KRATOS




Ilustrasi oleh www1.curriculum.edu.au



Ketepak kaki kuda berentet mengalunkan suara tertib dalam ritme triplet. Pecut-pecut prajurit membabi-buta menghajar siapa pun yang halangi jalan. Banyak yang tergencet, ada pula yang tersungkur meniduri tanah. Para jelata di bibir pasar itu kisruh, saling dorong, takut terkena sabetan. Tapi orang di dalam kereta kuda tak bergeming barang sebentar saja.

Sirene polisi meraung seperti sangkakala. Motor-motor besar serupa belalang tempur memalang apa pun dihadapan. Gerombolan mobil berharga triliunan melesat ringan satu barisan. Tak ada perhatian terhadap dunia luar atas orang berdasi ini dari balik tabir surya. Atas nama standar prosedur, jalan ini adalah milik mereka semata. Padahal perempuan bunting setengah mati meregang nyawa dalam omprengan butut.

Kilat. Rombongan kereta kuda kini telah ada di serambi kastil nan megah. Tiang-tiang penyangga berlapis marmer menjulang. Langit kubah penuh lukisan bidadari telanjang. Lantai keramik berlumur intan permata. Guci-guci emas menunggui setiap sudut ruangannya seperti demit. Cawan-cawan berisi tujuh puluh jenis buah setia pada meja megah berbahan kayu jati berbalut kemilau emas. Wanita-wanita molek mendekat dengan jinak, namun tak diindahkan. Tersungut-sungut ia banting segala yang tergapai sambil nyemburkan kesumat. Anak buahnya yang sial tertebas batang lehernya.

Percikan darah si pengawal istana malang mengenai stelan jas parlente hitam yang membalut dirinya. Selaras pistol yang ia tembakan pada jidad sang anak buah kini terpelanting di permadani bermotif panorama, hadiah dari salah satu tamu negaranya bulan lalu. “Siapa yang begitu lancang mengusik dirimu Pak?” suara perempuan bersanggul memecah ketegangan. Rupanya sang istri mafhum, Presiden ini memang acap kalap jika sesuatu tak sesuai selera.

Dalam perjalanannya barusan, khalayak meludah bahkan melempari rombongan dengan sampah. Sesuatu yang tak pantas untuk seorang raja, yang telah memberi mereka hidup. Mengingat insiden itu, rahangnya gemeratak, tangan terkepal memegang pedang berlumur darah, otot-ototnya ngembang, nahan amuk.

“Akan mewaris turun-temurun Pak,” tangan sang istri yang ada di dadanya kini membasuh laranya sesaat. Ia masih saja terbengong ketika melihat Ibu Negara ini berseri. F-16 yang penuh amunisi itu pun ia perintahkan untuk kembali. Nyaris saja masyarakat tak tahu diuntung mati gosong.


***


Alkisah, pada sebuah negeri di puncak gunung, dimana langit hanya berjarak lima jengkal, awan-awan seliweran dipacu angin tak kasat, dan puluhan jentayu terbang berputar, terdapatlah sebuah ritus yang termahsyur sejazirah. Seremoni sakral bagi umat manusia. Ribuan tahun sudah acara ini terselenggara secara mewaris. Seperti telah dinubuatkan para leluhur: Tuhan akan datang ke negeri ini setiap lima tahun. Seseorang akan ditasbihkan serta disembah meski ia berkedok anonim atau bahkan dari antah berantah sekalipun. Penduduk negeri telah amat lama menantikan peristiwa bersejarah ini.

Mendengar desas-desus tentang kabar itu, seluruh penguasa dari pelosok dunia datang dengan arogan. Masing-masing mengaku merekalah sosok tuhan. Sang pesohor. Yang maha dari segala. Mereka datang komplotan sesuai dengan jubah kebesaran dan terciri koloni: dengan gajah purba, dengan naga api, ada yang jalan kaki, ada yang muncul begitu saja secara gaib, ada kelompok perempuan yang datang dari balik rembulan, ada yang bangkit dari kubur, lalu ada yang mengendarai awan, bahkan ada yang datang dengan hanya berupa bayangan.

Akan halnya dengan sang raja dan presiden. Mereka datang. Mereka ingin rakyat negerinya bangga dengan ia ternobat sebagai tuhan. Mereka ingin rakyat mencintainya. Mereka ingin menggenggam kepatuhan rakyat bulat-bulat. Absolut.

Namun, ketika melihat bagaimana cara-cara penguasa lain datang, ciutlah nyali mereka seperti domba di kandang singa. Mereka pucat.

Berbondong-bondong rakyat sepelosok nyerbu dari delapan penjuru. Mereka penasaran. Mereka lapar tuhan idaman. Sudah bukan rahasia umum kalau kinerja tuhan sekarang amat mengecewakan. Rakyat tak mau lagi kecolongan untuk yang kedua kali. Tuhan harus sesuai dengan selera mereka sendiri. Harga mati.

Para kandidat tuhan giat mengeluarkan kiat untuk menarik simpati rakyat. Tak jarang mereka serampangan nampilkan siapa yang lebih prima. Adu kesaktian berlangsung sengit. Arena pesta sejurus kemudian seperti obral tenung, dan segala macam ajian. Jual-beli serangan tak bisa dihindarkan. Banyak hal ajaib nyeruak mengadegan. Tapi kerumunan massa yang menyimak tetap anteng seperti nonton layar tancap.

Setali tiga uang, sang raja dan presiden juga tak nyangka dengan apa yang dilihat. Takjub. Mereka kikuk sendiri. Sampai akhirnya mereka juga terkena serangan, meledaklah amarah mereka! Sang raja berubah wujud jadi raksasa. Negeri itu kini hanya sebesar jempol kakinya. Pun demikian dengan sang presiden, serta-merta jutaan pesawat tempur memberondong penguasa lain. Ribuan kapal perang di semenanjung juga memuntahkan rudal atas perintahnya. Kondisi pesta berubah jadi medan pertempuran.

Dari kejauhan seorang musafir melihat letusan janggal tersebut. Gegas, ia meluncur ke tempat perkara. Derapnya kencang, pakaian lusuhnya melambai-lambai, begitu pula rambut gimbal berkerak yang menjuntai hingga tungkai. Kontur yang terjal terasa ringan karena ia telah terbiasa dengan pegunungan.

Potret di puncak gunung itu sontak membuatnya terkejut. Huru-hara besar ada dalam sebuah pentas. Dan, sekumpulan massa hanya bertepuk tangan kegirangan melihat semua tragedi.

Seperti itulah.

Seperti juga keberingasan sosok raksasa sang raja yang membawa petaka, atau keampuhan senjata pemusnah masal sang presiden yang mencabut nyawa orang banyak. Tapi bagi khalayak, semakin banyak si kandidat membantai karena dalih melindungi diri, semakin bertambahlah nilai prestisiusnya. Pertanda bahwa kemampuannya untuk melindungi umat manusia benar-benar mumpuni kelak.

Sang musafir terus memerhati. Mencoba untuk paham segala aral yang membingungkan. Mungkinkah ini hanya perang tipu-tipu atau tonil lawakan belaka? Namun ceceran tubuh manusia begitu nyatanya, hingga amis darah merebak kemana-mana. Wanita dan bocah yang buyar pun tampak bukan rekaan. Lautan air mata yang tergenang juga asli dari kesedihan. Cengut, ia tambah bingung dengan sebagian yang lain, yang justru bersorak-sorai. Mereka terus berfoya-foya dengan babi guling dan segentong anggur anta.


***


Puluhan rembulan telah lewat sempurna, pesta itu masih saja bertaji. Khalayak tak jemu mantengi setiap alur pergerakan dan lobi-lobi. Halaman balai kota telah berubah bentuk menjadi tempat penampungan. Para penduduk tak segan tidur dalam tenda, bahkan jika harus berbantalkan lengannya sendiri.

Sementara itu, baku hantam tetap jadi kegiatan yang rutin dilakukan para kandidat. Meski semaput, berwajah bonyok, serta kuping buntung, jurus-jurus masih menerjang tak habis-habis. Ambisi mereka sama besar. Tak ada yang mau ngalah.

Kelompok massa lambat laun jauh dari waras. Berbagai atraksi mereka lakukan agar sang gacoan bertambah sakti. Taburan kembang tujuh rupa, kemenyan, tembako, kupi hitam, kolor biru muda, bahkan ada yang bawa-bawa jubah pocong dari jenazah yang baru dikubur.

Parahnya lagi, ada beberapa yang saling menyakiti diri sesama mereka, caranya pun bermacam-macam, mulai dari saling hantam menggunakan cambuk runcing, balok kayu, palu-arit, botol beling, anak panah, racun arsenik, batu, belati, molotov, pekikan suci, hingga ada yang membakar tubuhnya sendiri dengan geretan atau bom rakitan. Namun pesta tetap terkendali, mereka tak sabar dengan hasil.

Kini tinggal sang raja dan presiden saja yang tersisa. Mereka bunuh-bunuhan. Bayangan untuk jadi tuhan tinggal satu langkah lagi. Mayat-mayat kandidat lain serta rakyat yang ketiban sial menjadi korban salah sasaran bergelimpangan dimana-mana, kubangan darah yang terbentuk hingga setinggi lutut, sedangkan lautan air mata kian lama kian mengering. Tetapi pertarungan kuasa tuhan terus berlangsung. Massa yang menyaksikan malah bertambah, seperti lautan manusia. Mereka meneriaki yel-yel dukungan kepada sepasang kandidat sisa, meskipun mereka tak kenal betul dengan keduanya. Malah mereka tak pernah tahu asal-usul serta rekam jejak keduanya yang sebentar lagi jadi tuhan ini.

Obituari. Sang presiden baru saja mati. Mayatnya tak utuh, berhamburan. Ia baru saja dibejak oleh raksasa jelmaan raja yang kini berpangkat tuhan. Tuhan baru yang hadir seperti nubuat para leluhur setelah meluluh-lantak para pesaingnya. Gelak tawa sang raksasa menggema seantero jagat. Gemuruh halilintar bersambaran seakan ikut merayakan pesta kemenangannya. Wedus gembel dari dalam gunung juga tak ketinggalan mengepul penuhi langit pesta. Suara-suara binatang hutan dari jangkrik sampai gorila ribut saling sahut seakan punya firasat. Gelombang air pasang mencakar-cakar di tengah lautan. Tampak batu-batu meteor bermanuver satu arah gerakan. Suasana semesta seakan-akan merespon kemenangan mutlak sang raja dengan berbagai macam alasan. Entah.
Namun sang musafir justru linglung. Kerumunan massa malah mulai menyusut. Mereka perlahan bubar secara bergilir. Seperti telah kenyang, seperti telah tersalur birahinya. Tak ada lagi hingar-bingar pesta semalam suntuk atau sampai mabuk. Mereka kembali ke aktifitasnya sehari-hari: berkebun, melaut, dagang, ngemis, melacur, ada juga yang jadi tukang pulung. Mendadak mereka seperti baru terbangun dari mimpi. Musafir lapuk itu heran. Padahal sebelumnya para penduduk gempita di tengah pesta.

“Kisanak hendak kemana? Bukankah tuhan baru saja terpilih?” seorang paruh baya dengan langkah ringkih dan pakaian yang serba kumal mendadak berhenti mendengar suara sang musafir. Tampak ia seperti seorang petani, dari kaki dan tangan membercak lumpur. Saat di tengah barisan massa tadi, ia terlihat begitu vokal mendukung salah seorang, tapi kini ia hendak bergegas pulang.

“Engkau ini bagaimana? Tuhan itu kami,” sang musafir terperanga sambil memandangi renta lusuh yang berbaur dengan kerumunan rakyat.
Sedangkan sang raksasa terus saja berkoar minta pengakuan.


Cerpen ini diambil dari sini (Jakarta, April 2014)
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar