The Truth Seeker Media

Sabtu, 17 Maret 2012

(Gelandangan) Panggung

           Ketika mendengar nama Marley jujur yang keinget sama gue itu ganja plus asep-asepnya. Ya teranglah, siapa pula yang gak tahu Marley? Angkatan pertama dedengkot rastafarian yang jadi artis pop ini emang doyannya ngisep ganja. Iya, Bob Marley, yang rambutnya gimbal identik juga sama warna pelangi merah-kuning-hijau sampai detik ini anak muda Jakarta masih ada aja yang ngidolain dia. Padahal di zamannya (jauh sebelum Marley) rambut gimbal itu pertanda seorang dengan religiusitas yang tinggi. Coba tengok 10.000 BC selain ada Camilla Belle yang cantiknya bukan main, rambut gimbal juga ada di film itu. Singkat kata, pada akhirnya kaum rastafarian yang bawa-bawa bendera pelangi juga punya kebiasaan ngegimbalin rambut bagi yang belum gimbal, kalo yang udah otomatis gimbal sik yak gak usah. Mereka religius? Entah, tapi yang jelas atas ijin Alloh SWT si Marley ini jadi artis top, maka wajarlah kalo orang-orang menstereotipkan Marley dengan ganja, gimbal dan merah-kuning-hijau. Termasuk gue salah satunya.  Tapi tunggu dulu, kenapa gue jadi ngomongin orang yang udah mati? (Astagfirulloh!) Marley yang gue singgung-singgung dari tadi itu sebenarnya salah satu nama Bar di Sudirman gitu. Gedung Energy persisnya, tempatnya asyik sumpah! Band-band indie mulai dari kacangan sampai yang ‘udah jadi’ pernah terkadang atau seringkali manggung di sini. Dan Alhamdulillah gue pernanh ngerasain itu panggung. Norak yak gue? Bodo amat, emang gue pikirin! Gak suka gak usah baca! Hahaha!!!
 
            Ngomong-ngomong masalah panggung, sewaktu gue SD sampe SMA setiap gue maju ke depan kelas pasti gue anggap itulah panggung. Ya mau bagaimana lagi namanya juga anak bau kencur masih pelon. Tapi ini serius, setiap gue disuruh maju ke depan kelas keringet gue udah banjirnya bukan main se-alaihim gambreng dari muka, ketek, sampe sempak dijamin kuyup. Terus agak digeser ke dunia kuliah kalo maju ke depan kelas gue udah agak biasa, bawaannya udah woles aja. Maklum namanya juga mahasiswa, Agent of Change manusia yang merasa paling idealis dan paling kritis. Tapi jelas beda 180 derajat kalo gue disuruh manggung beneran walaupun kiranya itu masih di dalam kampus. Cengok! Udah pasti. Seakan semua orang ngeliatin gue, padahal jelas-jelas di atas panggung bukan gue doank seorang. Pembawaan yang tegang alias kaku udah jadi standar di atas panggung. Mau itu gue main bagus atau main jelek yang penting gue hajar aja biar cepet kelar. Haha. Tipikal amatir! Tapi bukankah seorang yang profesional memulai semua dengan beramatir-amatir ria dahulu lalu berprofesional kemudian? (kata Afgan *Sadis!) Oiyak, sekedar informasi panggung yang gue maksud ini bukan panggung teater yang pelaku-pelakunya suka sekali mengolah rasa dan raga tapi ini cuma panggung musik ala kadarnya. Anggaplah gue ini pemetik gitar walaupun sebenarnya gue itu pengolah suara yang sedikit banyak bisa koreografi ala SuJu. Anyeong Haseo K-Pop!!  Tapi elo diem-diem aja ini cuma dianatara kita. 
 
Ya, pada masa keemasannya jam terbang gue di kampus luar biasa padat man! Manggung disana-sini dalam skala acara kecil memang, mungkin itu juga sebabnya kenapa kita jarang latihan selain karena malas. Sudah jelas! Karena kita malas latihan, panggung besar pun tak kunjung datang. Benar-benar siklus yang natural sekali. Teringat gue akan dahulu dikala ingusan main di Déjà vu daerah Thamrin sana. Persisnya kurang begitu ingat gue bagaimana hasilnya tapi satu yang pasti gue waktu itu dengan pedenya pake celana pendek plus sandal jepit. Kayak gelandangan aja, di depan pintu padahal tertulis no sandals! tapi gue tetep nekat alasanya waktu itu gue terlalu idealis (baca : fanatik) dengan sikap anti kemapanan dan tatanan kelas makanya wardrobe gue ya semau-mau gue! Lagi pula emang gak ada yang salah dengan penampilan seperti itu bukan? Cuma yang jadi masalah kemudian para gelandangan agak sedikit kotor untuk menjadi kiblat fashion. Kalo boleh jujur sebenarnya sumpah pada saat itu gue belom punya celena jeans dan sepatu yang layak. Haha. Lanjut, masih di zaman yang sama yakni masa-masa putih - abu-abu, masa Sekolah Menengah Atas, gue agak rajin juga nonton-nonton gigs kemana-mana : kantong kosong, kendaraan gak ada, jadilah gue naik angkot kalo udah gak ada angkot ya terpaksa nyetopin mobil bak/truck dan perjuangan terakhir untuk bisa pulang ialah dengan berjalan. Gigs yang masih gue inget dan tiketnya masih gue pegang sekarang itu acara Manchester Get Mad! Band yang mentas ada Pestolaer, Bangkutaman, The Porno, The Jones, Guntingkuku, The Stories, Fill n Feel dll. Asoy lah pokoknya. Dan gak nyangka gue kalo band-band itu masih eksis sampe sekarang meski ada juga yang udah bubar. Yang terus jadi kepiikiran gue, band-band yang manggung dengan tempat seadanya itu udah pasti band yang cukup kompeten, dari sekian banyak band indie yang keren perlahan tapi pasti gue tetap mengasah skill olah vokal gue sama Agus Noor. Bukannya ngajarin birama atau not kita malah berbagi bir. Yaa salam!
 
Sebagai bukan satu-satunya penikmat musik indie gue hapal betul mana band yang selera gue mana yang bukan (menghindari istilah kualitas dsb) walaupun gak fanatik-fanatik amat sama mereka tapi gue tahulah band-band indie mapan macam Seringai, Efek Rumah Kaca, Rumah Sakit, Purgatory, Pegawai Negeri hingga The Safari. Khusus untuk yang disebutkan terakhir dan sebelumnya ada memori spesial terhadap mereka kalo faktanya gue pernah sepanggung bareng mereka. Sekali lagi dalam tulisan ini gue emang rada narsis dan teramat sangat dianjurkan untuk tidak membaca. Haha!

 
Bermula dari panggung perpisahan sekolah gue udah mulai sok-sokan manggung, mungkin guru-guru pada gak nyangka kalo gue itu ternyata rocker!  Terus sampe pada akhirnya di tempat yang begitu secured kayak Soul-In di Kuningan gue masih tergagap-gagap menterjemahkan apa itu panggung. Maklum, pertama kalinya gue sepanggung sama teman-teman indie yang serupa dalam perjuangan dimana jauh sekali dari kabut mainstream pop kayak sekarang. Meski pun jangan pernah memungkiri kalo kita itu, gue maksudnya, sebenarnya masih rada-rada ngepop dengan kadar yang gak terlalu banyaklah. Begini kira-kira, pop itu dari asal kata popular kalo gue gak salah yang berarti betul. Dia ini bukan aliran, genre atau sejenisnya tapi murni sebuah kultur baru pada eranya di dunia westernis sana. Kemudian simplenya dengan analogi serampangan ala gue yaitu bahwa semua yang popular sudah pasti pop bukan? Meski kelewat minoritas pun sampai mengarah ke garis keras idealis jika masuk kedalam ranah definisi popular yak ngepop-ngpop juga ujungnya. Jadi terima aja kalo kita itu sebenarnya ngepop. Tai kucing kalo resis! Kalian hipokris! (Angker..)
 
Lalu di tempat yang sedemokratis Equal Park di Jalan Jaksa dimana kalian bisa menyanyikan apa saja dengan suka-suka, gue masih pelangak-pelongok meski kalo boleh jujur emang  udah menahun gue gak pernah manggung. Tapi siapa yang peduli? Yang malu jelas gue sendiri.  Banyak bule kere nongkrong disitu kalem-kalem aja, kenapa gue mesti galau. Terus betapa Emax Kemang kala itu menjadi saksi bahwa Kuliah Kerja Nyata bukan lagi menjadi prioritas demi semuncratan panggung. Di sudut kawasan bisnis ini lagi-lagi gue masih sedikit asing dengan yang namanya panggung dan segala alam kehidupannya. Ada perasaan yang kurang nyaman di setiap desir darah gue namun ternyata ego lebih memihak pada eksistensi dan aktualisasi. Mungkin akan menjadi wajar jika kita kembalikan pada makna harfiah manusia. Seperti piramid kreasi Abraham Maslow dalam Mata Kuliah Pengantar Psikologi yang lengkap betul membahas riwayat manusia. Kalo elo gak tahu, makanya cari tahu! Minimal bacalah atau kalo punya rezeki kuliah yang bener.  Persetan sama rencana pemerintah membuka wancana sekolah minimal 6, 9 atau 12 tahun. Terbukti bahwa pemerintahan kita itu tidak baik, karena pemerintah yang baik semestinya memasang target minimal dengan semaksimal mungkin. Magister! Doctor! Atau Professor itu harusnya harga mati. Bagaimana mungkin ketika kursi-kursi di pemerintahan diisi sama koloni macam mereka, rakyat dibodohi dengan wacana sekolah setingkat SR atau SKK! Buka mata wahai rakyat! Apa jangan-jangan emang mau dibodohin terus? Hehe.
 
Oke balik lagi ke masalah yang lebih urgent ketimbang ngomongin pemerintah yang sudah pasti banyak salahnya yakni masalah panggung. Ya, panggung. Panggung yang biasanya diisi sama kaum-kaum telinga sentris, tapi banyak juga kaum mata sentris. Kenapa demikian? Soalnya elo tahu sendiri kalo panggung itu bukan sebiji mp3 player yang bisanya didenger doang. Mereka yang menjadi penghuni hampir di setiap panggung itu, kerjaannya ialah analisator sengaja atau tidak sengaja. Banyak juga sik yang gak ngerti apa-apa dan sekedar bergumul, tapi itu gak masuk ke dalam hitungan. Kalo boleh gue mengandai-andai sekarang, anggaplah mereka itu orang-orang yang terlatih baik pendengaran dan penglihatan dan sudah barang tentu kalo  logika mereka juga jalan terhadap bentuk dari satu kesatuan panggung itu sendiri. Lagi-lagi gue jadi ingat akan sebuah tempat, Kopi Merah namanya. Di sana sangat menjajikan akan penunggu-penunggu yang anti suara elektrik, sumpah mati mereka hanya ingin santai dan suasana akustik. Jadi jangan harap ada hingar distorsi di salah satu sudut selatan ini. Kesalahan pertama gue waktu itu ialah mau manggung disitu karena ternyata setelah kita ejakulasi di atas panggung akustikan adalah sebuah tragedi. Bagaimana pun rasa malu itu hanya aku yang tahu. 

 
Pernah suatu ketika gue denger ceramah-ceramah menyoal arak bali. Bagaimana kencengnya itu arak seakan menjadi dongeng buat gue waktu itu. Sampe pada akhirnya gue nyasar ke Ni Wayan. Bukan cita rasa lokal yang gue dapat karena disitu gak ada arak bali. Yang ada Carlsberg, Heineken. Halah! Minuman sekelas air seni. Absurd. Dekat sekali dengan ketidakteraturan, nyaris mirip sama hasil manggung barusan.  Namun sekali lagi demi sok-sokan aktualisasi gue terima dengan dada yang lapang. Waktu itu penghujan, Kalimalang-Cawang memakan waktu hingga 1-2 jam bisanya cuma 30 menit. Karena gue lebih banyak neduh ketimbang jalan. Tapi untungnya sekedar Oasis, Pulp dan The Strokes bisa rampung di tempat kejadian.

 
Jauh sebelum itu Taman Ria Atmaja telah bersaksi bahwasanya loyalitas lebih tinggi derajatnya ketimbang eksistensi. Enam gerombolan piyik gereja belajar terbang serempak menuju anjungan-anjungan lain jagat raya, sebenarnya ada satu gerombolan lagi. Namun mungkin yang satu ini terlalu pengecut untuk mengambil resiko antara belajar terbang dengan belajar berjalan secara bersamaan. Tersimpan harapan yang amat besar kepada mereka-mereka pendatang baru kolong langit ini, agar suatu saat nanti bisa benar-benar terbang menjadi unggas penerbang seutuhnya.
 
Setibanya di Semarang. Takjub betul gue sama suasana di sana, pemandangannya benar-benar di luar logika. Tapi sayang sungguh disayang peran gue waktu itu bukan sebagai Mapala, melainkan (sekali lagi) menyoal panggung. Satu bukti kongkrit yang ternyata benar adanya udah gue dapat yaitu betapa universalnya panggung itu. Saking universalnya batasan 5W 1H gak ada artinya di hadapan panggung. Itu yang gue rasain di Semarang, setelah lebih dulu dan terbiasa dengan panggung-panggung di Jakarta. Sebenarnya ada yang gue cari-cari waktu itu dan ternyata gak berhasil gue temuin disana. Gue nyariin lumbung padi. Cuma sebatas penasaran sama wujudnya kayak apa. Mungkin gue masuk ke kawasan kotanya, makanya gak bisa nemuin lumbung padi. Gak lama setelah gue beranjak pulang dari Semarang gue justru malah nemuin lumbung padi itu disini (di Jakarta), tepatnya di Jeruk Purut. Sumpah agak ada hubungannya sama mistis dan astral-astralan. Disitu, lagi, untuk kesekian kalinya gue mengejawantahkan anatomi-anatomi panggung.
 
Dari arah Kalibata di perempatan McD Kemang gue ambil kanan dan gak tahu kenapa nongol-nongol di Backyard. Pertama kalinya gue ke tempat itu. Panggungnya sik biasa aja, cuma yang di atas panggung itu lho! Pecah! Asyik-asyik! Terus ternyata beberapa lama setelah itu gue ditakdirkan untuk singgah lagi ke situ. Perasaan gue masih sama, nervous yang gak ketulungan padahal acara kecil-kecilan doank. Tapi bagaimana pun juga di Backyard itu udara yang hilir mudik lebih segar ketimbang Stardeli sudut lain dari Kemang. Posisinya persis di seberang pom bensin dan di samping warteg, Jangan sekali-kali dateng jum’at malam karena sudah terlalu binal. Di atas panggung gue gak begitu santai, pake snare drum pinjaman diliatin pula sama orang-orang seruangan, siapa coba yang bisa santai kalo kayak gitu. Emang sik udah nyaris mendekati Fabrizio Moretti tapi tetep aja namanya grogi langsung blank semua. Lagi-lagi untuk segolongan amatir, lumayanlah.
Sampai pada akhirnya gue diberi kesempatan buat nyicip panggung Marley di Sudirman, 2 kali kesempatan dan semuanya berakhir dengan pembatalan. Pertama itu acara Britpop Tribute Heroes yang main gokil-gokil namun sayang gue gak menjadi bagian dari acara yang katanya sukses mampus. Terus yang kedua acara Comforting Sound lagi-lagi canceled entah apa dasar dan acara itu dialihkan ke Stardeli tapi gue gak main, seminggu setelah itu ada acara keren di Marley. Band-band indie papan atas pada nongol waktu itu. Semakin bertambah penasaranlah gue sama Marley. Akan tetapi kemudian di awal maret kesampaian juga gue hajar itu panggung dalam acara Three Post Punk Enchanters yang main ada Revolusi Pop, Dikeroyok Wanita, FillnFeel, The Stories, Sutherland Grove, Schizophrenic dll. Sedikit flashback ternyata band-band itu yang gue tonton waktu masih ingusan dulu di Manchester Get Mad! Gak nyangka sekarang bisa satu panggung! Belum lagi di Marley itu pula betapa gue merasakan bagaimana ramahnya sebuah panggung. Satu yang gue rasa ternyata menjadi gelandangan panggung itu benar-benar  menyenangkan. Mudaha-mudahan gue akan terus menjadi gelandangan. Hahaha!!!
Share

Cerita Sebuah Surat dari Penjara


Pada akhirnya, divonislah Effendi Samawi tiga tahun kurungan penjara tanpa ada pembelaan atau peninjauan kembali karena memang ia tidak memiliki pengacara atau kuasa hukum untuk itu dan biaya juga  merupakan salah satu kendala yang ia hadapi untuk sekedar menyewa lawyer atau advokat murahan. Pihak keluarga hanya bisa pasrah mendengar keputusan hakim, meski di sudut hati mereka yang terdalam tentu terselip rasa ketidakadilan sama sekali. Raut muka Effendi terlihat begitu tegar, hanya ada senyum simpul di wajah pria yang menjadi tulang punggung bagi istri dan ketiga orang anaknya. Hal itu pulalah yang membuat keluarganya bisa menerima keputusan hakim renta yang memutar-balikkan fakta.
Cerita dimulai beberapa tahun lalu ketika ia menjadi seorang debt collector pada sebuah Bank swasta, awalnya pekerjaan tersebut sangat ia cintai karena sederhana dan penghasilan yang ia dapat pun bisa dibilang cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun lambat laun pekerjaan yang ia cintai itu perlahan mulai mencekik dirinya hingga pada akhirnya entah darimana asal-usulnya  ia dilaporkan oleh perusahaan tempatnya bekerja sendiri karena dituduh menggelapkan atau bekerjasama dengan salah satu nasabah mengambil uang perusahaan sebesar 158 juta rupiah. Tanpa bisa berargumen dan beralibi Effendi pun langsung diciduk di rumahnya di kawasan sawah besar.
Dua minggu kemudian di dalam penjara Effendi terus mengingat-ingat kejadian tersebut, sesuara narapidana yang satu kamar dengannya membuyarkan semua memori yang telah tertata rapi di rongga kepalanya.
“Heh..luh anak baru! Kenapa luh bengong aja? Enggak mau di sini luh?! Emang luh pikir gue mau !? Hahaha….”, ucapnya dengan keras.
 “Saya enggak seharusnya ada di sini bang..” , jawabnya sedikit berbisik.
“BANGSAT..!! Gue juga enggak seharusnya ada di sini!! Luh tau?! Gue ditangkep cuma gara-gara nongkrong di emperan depan stasiun senen! Disangka maen judi sambil mabok putaw gue! Anjing!”. Sanggahnya dengan berapi-api.
Mendengar ceritanya Effendi pun kaget sambil terus merenungkan apa yang ada di dalam pikirannya. Teman satu kamarnya tetap saja bicara tapi tak ia gubris karena ia langsung tertidur tepat di tempat tidur yang berada di atas tempat tidur teman satu kamarnnya yang banyak omong itu. Karena di dalam sel yang ia tempati hanya terdapat satu buah tempat tidur dengan dua rangkap, saling membawahi satu dengan lainnya.
Dalam tidurnya Effendi  bermimpi bertemu dengan sesorang yang menaiki kuda berwarna hitam dengan jubah sirah lengkap dengan pedangnya yang panjang. Pria berjubah itu pun berhenti di hadapannya kemudian turun dari kuda hitam yang ia tunggangi sepanjang perjalanan. Perlahan pria berjubah tersebut melepaskan jubah yang melekat rapat dengan tubuhnya kemudian memberikannya kepada Effendi. Effendi yang tidak tahu apa-apa pun menurut saja dan menerimanya tanpa banyak tanya. Tak lupa pria tersebut juga memberikan pedang dan kuda hitam yang penampakannya tegap dan arogan.  Belum sempat berucap pria itu menghilang sekedipan. Kemudian dalam jejentik perjalanan di alam mimpi, Effendi bertemu dengan wanita cantik bergaun transparan dengan mata tertutup kain hitam dan di tangan sebelah kirinya terdapat sebuah neraca sejenis timbangan sedangkan pedang ada di tangan kanan wanita tersebut. Effendi bertanya-tanya dalam hatinya, sampai wanita itu jatuh tersungkur dengan darah di sekujur tubuhnya. Darah pun keluar dari mulut, hidung, mata, telinga, kuku hingga pori-pori di setiap kulitnya. Kemudian tanpa bisa berlogika wanita berdarah-darah itu pun menguap mengudara. Lagi-lagi Effendi menjadi bingung dan bertanya-tanya. Namun sebelum wanita itu melebur mengudara Effendi mendengar sayup-sayup wanita itu bicara “Hukumlah hukum.. Adili keadilan.. ”.  Belum sempat ia berpikir, ia tiba-tiba terbangun dari tidur dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat dan wajahnya pun pucat. Ia lihat teman satu kamarnya belum juga tertidur, hanya duduk diam menerawangi setiap sudut ruangan.
“Mimpi buruk luh??”, terjang teman satu kamarnya singkat.
Effendi tak menjawab, rohnya belum benar-benar kembali ke dalam tubuhnya. John sang narapidana yang satu kamar dengannya itu hanya terdiam tak mencoba untuk menagih jawaban dari pertanyaannya barusan.  Tak pula ia mencoba untuk merebahkan badannya ke tubuh kasur yang terlihat montok itu. Begitulah John selama di dalam penjara ia tak pernah tidur di sel yang telah ia diami selama satu tahun empat bulan. Ia tertidur hanya ketika ia berada di Mushola tahanan bukan untuk sholat karena John seorang katolik yang taat lekat dengan injil di tangan kanannya, melainkan mencari kenyamanan dan satu-satunya tempat yang nyaman di dalam penjara itu adalah Mushola. Baginya tidur di dalam sel berarti menerima keadaan, menerima jika ia di penjara dengan keadaan tidak bersalah. Terlihat Effendi sudah tenggelam lagi dalam tidurnya.
Pagi menjelang dan genap sudah dua bulan Effendi di dalam penjara. Dan seperti biasa para narapidana berkewajiban membersihkan setiap jengkal sudut-sudut penjara. Di pagi itu ada kabar bahwa narapidana baru akan datang hari ini. Kabar tersebut menjadi semacam infotaiment di sana, menyebar dengan kekuatan cahaya. Wajar, Karena narapidana yang terakhir kali masuk ke dalam penjara ini adalah Effendi, itu pun sudah dua bulan yang lalu. Mungkin narapidana pun butuh sesuatu yang baru, pikir Effendi dalam hati.
Matahari diam-diam sudah terlampau berani berdiri di tengah langit seorang diri tanpa kawanan awan liar yang menemani. Sudah waktunya bagi tawanan-tawanan Salemba ini untuk beristirahat mendulang kembali daya-daya yang telah terkuras tanpa makna. Effendi dan John juga sudah lama menemukan titik resolusi konflik diantara mereka hingga mereka selalu terlihat bersama. Hal itu terjadi karena biasa, ya mereka telah terbiasa berdua dan itu yang menyebabkan mereka bisa saling menerima. Selain itu John mulai mencair juga dikarenakan cerita Effendi tentang mimpinya yang bertemu dengan lelaki berkuda dengan jubah dan pedangnya, kemudian wanita berpenutup mata dengan timbangan serta pedang dimasing-masing sebelah tangannya. Bagi John kedua sosok itu merupakan simbol keadilan, seperti legenda dari negeri para dewa yang patung atau simbolnya berkeliaran di lembaga-lembaga keadilan di sana dan di seluruh penjuru eropa. Vatikan khususnya. Betapa takjubnya ia setelah mendengar cerita Effendi. Akan tetapi John tidak bilang apa pun kepada Effendi takut ia menjadi besar hati, merasa istimewa dan pada akhirnya ia simpan rapat-rapat semua hipotesa dan analisanya sambil terus pasang mata terhadap Effendi.
Pergerakan arus kantin siang itu cukup ramai lancar. Effendi dan John terlihat di meja yang sama ditemani beberapa narapidana lainnya. Pembicaraan mereka hampir sama dengan rata-rata yang dibicarakan oleh narapidana lain yaitu tentang narapidana baru yang akan masuk ke kawasan mereka, penjara. Ketika suasana sedang santai dan para narapidana istirahat sambil santap siang terlihat Galing penghuni sel 101 berbincang hangat dengan sipir penjara di WC samping kantin. Bahasa tubuh mereka hati-hati sekali, mata kedua orang berbeda status sosial itu liar mengawasi kalau-kalau ada yang melihat komunikasi horizontal mereka. Peristiwa berlangsung sangat cepat, sipir penjara dengan jelas memberikan suatu bungkusan kepada Galing. Galing yang merupakan seorang bupati terpidana kasus narkoba tergesa-gesa menyembunyikan bungkusan tersebut sambil terus berangsut ke dalam salah satu bilik WC. Pak Sipir kembali bertugas keliling area yang seluas satu buah lapangan sepakbola itu. Effendi yang melihat Galing belum juga keluar dari balik bilik WC spontan langsung mendekatinya. Sungguh terkejut ia menyaksikan Galing sedang menghisap serbuk-serbuk putih melalui hidungnya. Galing yang melihat kehadiran Effendi cuma berkata.
“Mau???”, ucapnya.
Effendi yang penuh emosi menyaksikan kejadian itu bergegas pergi ke kantor petugas berharap bisa menceritakan apa yang baru saja ia simak dengan mata dan kepala sendiri. Bahwa di dalam penjara ini ada modus operandi pengedaran narkoba oleh sang sipir. Melihat hal itu John berusaha mengurungkan niat Effendi. Karena baginya apa yang akan Effendi lakukan percuma saja. Hal yang barusan terlihat itu merupakan realita dari kehidupan penjara, dan itu bukan apa-apa. Satu setengah tahun sudah John menjadi saksi hidup seperti narapidana-narapidana lainnya yang seangkatan ataupun yang sudah lebih dulu tinggal disini. Betapa kehidupan di penjara sangat menjijikan dan jauh dari apa yang bisa dibayangkan. Seluruh elemen yang ada disini sama busuknya, dalam artian baik itu petugas maupaun narapidana sendiri sama kelakuan dan tingkah lakunya. Bahkan secara objektif analogis tentu petugaslah yang terlihat lebih busuk ketimbang para tahanan mengingat statusnya di masyarakat. Pernah suatu malam John melihat seorang wanita tuna susila sedang diantar oleh seorang sipir ke salah satu kamar tahanan yang satu blok dengan miliknya. Pernah juga nampak olehnya seorang copet habis dihajar oleh beberapa petugas disana, dan jangan lagi tanya keadaannya karena wajahnya yang penuh lebam bernanah secara lugu akan memberi penjelasan tentang itu semua.
Begitulah, sambil terus menenangkan Effendi, ia terus menjelaskan apa yang terjadi disini.  Dengan aroma wajah yang merah padam Effendi menahan segala bentuk penolakannya terhadap lapas ini. Kecewa, jelas. Tapi inilah kenyataan yang harus dihadapi bahwa di sebuah lembaga pemasyarakatan atau penjara para narapidana bukan dididik untuk berbuat sesuatu yang lebih baik tapi justru disuapi dan didoktirn oleh berbagai kebusukan yang menyelimuti tatanan sistem yang merdeka, dan pelakunya ialah orang dalam sendiri. Di satu sisi narapidana disalah-salahi tapi di sisi lain narapidana tak boleh menyalahi, terima saja dan jangan banyak bicara.
Effendi dan John berada di sel mereka karena memang malam telah menjelang, begitu pula para narapidana lain telah kembali ke sel masing-masing. Sedangkan Effendi, di dalam kepalanya masih terus bertanya-tanya tentang kejadian siang tadi, John tetap pula setia menjelaskan kepada Effendi. Bergulat dengan pendapat mereka saat itu, tak ada yang benar tak ada pula yang salah dan mereka sama-sama paham akan hal itu. Di tengah perbincangan dan perdebatan mereka yang aktual, salah seorang sipir datang bersama seorang tahanan baru yang sedari tadi pagi menjadi perbincangan di seantero lapas ini. Wajah tahanan baru itu putih bersih tanpa ada kumis, cambang atau sehelai rambut pun di sekitaran dagunya. Rambutnya klimis tersusun rapi serta terlihat basah mungkin akibat gel yang ia selalu gunakan. Tatapannya pun sama sekali tidak mencerminkan seorang yang terkena tindak kriminal. Mereka berlalu begitu saja, sedangkan para tahanan yang melihat tahanan baru itu melintas di depan sel cuma terdiam sambil terus pasang mata.  
Keesokkan harinya ditengah aktivitas yang biasa dilakukan dalam penjara ini terlihat narapidana baru itu celingak-celinguk dan tak tahu harus berbuat apa, makanya sedari tadi ia cuma diam sambil memperhatikan. Tanpa komando dan tanpa ada undangan Effendi diam-diam mendekat lalu duduk di samping narapidana baru itu. “Hey! Effendi”,sambil menjulurkan tangannya. Dengan sedikit ragu-ragu tahanan baru itu menerima juluran tangan Effendi sambil menjawab, “Hai, Irawan”. Kemudian berbincanglah mereka mengenai apa pun yang bisa diperbincangkan. Tak lupa Effendi mengenalkan Irawan kepada John dan kepada para narapidana lain, serta membeberkan apa saja kebiasaan serta peraturan di tempat ini. Tanpa hitungan hari mereka pun menjadi sangat karib seperti teman lama yang sudah sangat lama tidak berjumpa muka. Banyak cerita yang saling dibagikan, salah satunya penyebab kenapa Irawan bisa sampai terdampar di bui ini. Ternyata eh ternyata, Irawan merupakan seorang aktivis. Ia ditangkap karena dituduh sebagai provokator dan dalang dari demonstrasi menuntut mundur presiden. Bagi Irawan dan kawan-kawan presiden telah gagal dalam menggerakkan roda kepemerintahan, dan tidak ada kata lain selain mundur! Dalam demonstrasinya, Irawan menjadi koordinator aksi. Segala macam tai dan babi hinggap diorasinya. Suasana semakin tak kondusif dan menjurus anarkis, hingga ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara dengan tuntutan yang tidak jelas.
Sekali lagi malam telah menyelimuti seluruh area kediaman mereka, dan seperti biasanya John tak juga tertidur dan tidak berharap untuk itu. Effendi hanya berputar-putar saja dengan apa yang ada di dalam kepalanya. Kepingan-kepingan serta ingatan-ingatan kecil tentang ketidakwajaran penjara ini tanpa sengaja melintas bebas di depan matanya lengkap sejak pertama kali ia masuk sampai kini ia terjaga. Bahkan memori-memori lain yang merupa persepsi dari berbagai sumber juga hadir meski hanya berbentuk hitam dan putih. Terbengong-bengong Effendi kala itu. Hingga tak tahu apa sebabnya, darahnya mendesir deras hingga ke ubun-ubun seakan mendidih seluruh cairan dalam tubuhnya. Lalu satu per satu tetes keringat meresap lekat ke dalam pakaiannya. Belum usai ia teraniaya, peristiwa mimpi aneh yang dialaminya menderu-deru begitu saru. Penampakan-penampakan liar dalam mimpinya kala itu kembali lagi, pria berkuda hitam lengkap dengan jubah sirah serta pedangnya yang cadas dengan begitu menyeramkan lari kencang ke arahnya lalu wanita transparan berpenutup mata yang telihat payudaranya mennyembul keluar dengan neraca dan pedang dimasing-masing tangannya melayang-layang seperti hantu gentayangan, seakan ada yang hendak mereka katakan, seakan ada yang hendak mereka tagih, bisik Effendi dalam hati.
Di ruangan lain Irawan telah terlelap, mungkin karena seharian telah dihajar habis-habisan oleh petugas atau mungkin karena sehari sebelumnya telah sekuat tenaga memberikan perlawanan terhadap kepemerintahan yang sekarang. Namun, bangunan kokoh di sekitar mereka tetap saja berdiri dengan segala rahasianya mesra dengan penjaga utamanya, malam.
Keesokan harinya satu pagi telah menunggu pertunjukkan mereka hari ini, panggung juga telah berkilauan bahkan terlalu cerah untuk mereka seorang amatir kehidupan. Tapi lagi-lagi kesibukan mereka masih saja seperti hari-hari lalu tanpa ada sedikit pun varian. Mau apa lagi? Otoritas memang terlalu jauh untuk orang-orang seperti mereka atau seperti orang kebanyakan. Hal itu mungkin penyebab setiap gerak dan langkah kita begitu menyeragam.
Pada moment ini seluruh penghuni bui sedang menikmati satu-satunya kemerdekaan dalam masa penghukuman mereka yaitu istirahat. Tampak Irawan tanpa komando langsung bergabung dengan Effendi dan John di meja paling sudut kantin tersebut. Muka penghuni baru ini lebih cerah dan segar dibandingkan pertama kali mereka bertemu, kemarin tepatnya. Mungkin karena semalam aktivis ini terlalu lelap dalam merespon kedatangan malam dan menerima kenyataan. Lalu tanpa ada pembukaan secara resmi perbincangan mereka dimulai dari satu sisi ke sisi lainnya, dari A sampai Z, dari angka satu hingga ke angka satu lagi gerak jarum detik pada jam dinding di sana. Dengan tenang Effendi melontarkan pernyataan yang secara tidak langsung merupakan sebuah keseimpulan, “Ada yang gak beres di sini…”. Teman-temannya sesama penghuni bui ini pun terdiam, pun meski mereka bergerak juga seolah-olah sedang dalam slow motion. Kaget mereka tentu saja, atau lebih tepatnya heran. Heran dengan sekalimat yang diucapkan Effendi. Setan apa yang merasukinya, pikir mereka. Namun Effendi lantas melanjutkan kalimatnya, “Aku akan membongkar kebusukan penjara ini ke khalayak umum….” Tercenganglah mereka semua mendengar ucapan itu, tak habis pikir dan sudah pasti tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan saja. Ingin mereka menyela takut Effendi tersinggung dan kecewa karena tak ada tanda-tanda guyonan dalam raut mukanya.
Suasana hening sejenak, semuanya terdiam. Effendi lantas menceritakan sebab-sebab kenapa ia mempunyai niatan seperti itu. Berawal dari ketidakadilan yang dialami dirinya sampai masuk ke dalam penjara beberapa bulan lalu. Baginya vonis yang dialamatkan kepada dirinya benar-benar nonsense dan tidak masuk akal. Ia sama sekali tidak pernah melakukan tindak kejahatan atau kriminal apapun. Berita acara mengenai dirinya yang masuk ke dalam ruang administrasi penegak hukum juga dinilai sarat akan manipulasi dan kongsi-kongsi. Karena ia tahu betul bosnya itu tak lebih dari lintah darat. Namun satu yang pasti, ia masih belum tahu kenapa bosnya sampai tega melakukan semua ini kepadanya.
Dalam alur yang ia lewati bermula dari kepolisian hingga ke pengadilan tinggi negeri, ia cuma bisa mengambil kesimpulan, dan kesimpulan itulah yang ia pendam sampai sekarang meski teramat geram. Bagaimana praktek-praktek penipuan, jual-beli pasal dipertontonkan di depan kedua matanya. Dalam hati ia mengutuk mereka semua. Tapi apa daya? Effendi bukan orang penting dalam alam ini. Suaranya tidak berarti apa-apa kini, tak seperti saat-saat pemilu dimana suaranya begitu dihasratkan oleh setiap Homo Polyticus abad ke-19 Masehi di negeri tercinta Indonesia.
Amarah Effendi kian menjadi-jadi ketika tahu bahwa John teman satu kamarnya merupakan korban salah tangkap aparat kepolisian. Setelah ia selidiki sendiri ternyata petugas ada main dengan salah satu gank di ibukota, gank tersebut cupu bukan main. Layaknya bertemu dengan leluhur, anggota gank ini rajin sekali membawa “sesajen” untuk para petugas di area mereka. Sedangkan John merupakan pentolan dari gank yang selalu ribut bebuyutan dengan gank picik ini. Mereka pun berhasil menggenggam kawasannya bersamaan dengan dikurungnya John preman paling disegani seibu-kota. Pantas rasanya jika John sama sekali tidak pernah menerima penangkapan dirinya. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh anak buahnya untuk melakukan penyerangan ke tempatnya ditahan, tapi tidak dilakukan karena ia masih menghormati hukum. Hukum adalah anasir yang sudah tepat di kehidupan bermasyarakat, tak ada yang salah dengan hukum hanya orang-orang yang ada di dalamnya sajalah yang keterlaluan picisan. Dan masih menurutnya, orang-orang itu ialah kita semua.
Lalu, beberapa waktu setelah secara aklamatif John menceritakan kisah kesalah-tangkapan yang dialaminya. Terjadi pula peristiwa yang semakin menjengkelkan sekaligus memilukkan bagi Effendi, hanya selang beberapa hari. Dimana ia dapati dari informasi-informasi yang berhembus bahwa salah seorang tahanan tewas sesaat menuju Rumah Sakit, Gopir namanya. Gopir ditangkap karena telibat dalam penyerangan kantor polisi. Seperti macan yang melihat daging segar habislah Gopir di ruang tahanan. Disiksa, dianiaya sedemikian tidak manusiawinya hingga dua minggu kemudian terbentuklah peristiwa naas itu, Gopir tewas. Padahal jika merunut ke belakang, peristiwa penyerangan kantor polisi tidak akan terjadi jika saja pihak kepolisian berani bertindak tegas kepada anggotanya yang melakukan pelecehan seksual terhadap remaja putri di lingkungan tempat tinggal Gopir. Namun apa mau dikata nasi sudah mejadi bubur, publik sudah  naik pitam dan Effendi bepikir kalau sudah tidak ada lagi pentingnya keberadaan polisi bagi kehidupannya, bagi kehidupan kita semua. Juga Pengadilan, juga Mahkamah Agung atau Konstitusi, juga Departemen Hukum dan HAM.
Lalu Effendi mulai menceritakan mimpi-mimpi anehnya kepada John dan Irawan yang sedari tadi masih menyimak dengan begitu saksama sampai pada akhirnya Irawan angkat bicara, “Terus apa yang akan Mas lakukan?”.
“Tenang aku sudah punya rencana, kalian cukup lihat saja”, jawab Effendi dengan sangat lugas. John dan Effendi cuma terdiam.
Kemudian pagi ini sudut-sudut langit cerah cemerlang, burung gereja selalu bermain-main mendekati lingkungan kita dan masih dalam suasana minggu-minggu pertama awal bulan di penjara. Seperti biasa, setiap awal bulan Ana sang istri tercinta selalu datang menjenguk Effendi beserta pula ketiga anaknya yang terbilang masih cukup kecil, paling besar baru menginjak kelas 5 SD, yang kedua kelas 1 SD dan yang bontot masih dalam dekapan ibunya. Ada hawa rindu dalam tatapan mereka. Wajar, terakhir kali mereka datang menjenguk Effendi yakni dua bulan lalu. Betapa romantisme sekejap hadir dalam ruang sempit tersebut. Mereka saling melempar kisah, kisah-kisah perkembangan anak-anaknya, kisah-kisah sanak saudara yang lain, kisah-kisah tetangga mereka, dan tentu kisah-kisah kegalauan nelangsa yang dialami seorang Ana, seorang istri dengan ketiga anaknya. O, betapa moment itu menjadi detik-detik yang mengharukan.
Di penghujung pertemuan singkat keluarga harmonis itu Effendi lantas memberikan sesuatu kepada Ana, “Tolong berikan surat ini kepada Jafar”. Dengan diam sang istri dan ketiga anaknya lantas berangsut menyamar dan menghilang di balik tembok-tembok penjara. Tanpa sadar tetes-tetes air mata jatuh basahi pipi dan mengalir terus ke jenggot Effendi yang jarang. Ada sebuah kesedihan dalam jiwanya karena sekali lagi harus berpisah dengan istri tercinta, namun di relung jiwa satunya lagi bercokollah sekelumit harapan akan sebuah pembedaan akan nasibnya yang kini menggantung. Harapan itu tertumpu pada surat yang ia tulis dan kepada Jafar sahabatnya.

==OOO==

Beberapa tahun menjelang terlihat Effendi dengan stelan parlentenya sedang berdiri di trotoar jalan sambil berbicara menggunakan telepon genggamnya dan sesekali melihat ke arah jam tangannya, seakan ia sedang mengejar sesuatu. Tak jelas apa yang dibicarakan dan kepada siapa. Tiba-tiba saja ia memberi tanda kepada sebuah bajaj tak berpenumpang untuk segera berhenti, dan meluncurlah mereka ke arah Sudirman. Di sana, di lobby sebuah gedung berlantai 170 Effendi sudah ditunggu oleh Irawan. Mereka langsung saja masuk dan naik lift ke lantai 78. Terdapat sebuah ruangan berpendingin dan ternyata mereka telah ditunggu oleh sekelompok orang yang sedari tadi duduk melingkar seperti meja yang berada di hadapan mereka. Pakaian mereka tak kalah berkilau dengan yang digunakan Effendi. Baru saja melangkahkan kaki ke ruangan tersebut orang-orang itu berdiri sambil mengucapkan “Selamat pagi pak!”, Effendi pun menjawab “Selamat pagi semua, silahkan…silahkan… duduk kembali.” Tak lama Effendi langsung melanjutkan kata-katanya barusan, “Ok…..Mari kita mulai saja rapat hari ini.”
Semua yang ada dalam ruangan itu dengan sangat hati-hati terus memperhatikan apa yang diucapkan Effendi, terlihat juga Irawan duduk persis di samping Effendi. Masing-masing dari mereka menggunakan name tag bertuliskan Muara Warta.inc. Ya, Muara Warta ialah sebuah perusahaan pertelevisian sekaligus kepanjangan tangan dari perusahaan penerbitan yang digagas oleh Effendi. Perusahaan ini semakian berkembang setiap harinya. Ada perbedaan mendasar antara perusahaan ini dengan perusahaan lain yakni tak satu pun iklan produk komersial atau iklan-iklan lain yang money atau political oriented bisa masuk ke dunia broadcast perusahaan baru ini. Selain itu antara pertelevisian dan penerbitan ternyata bisa saling mengisi satu dengan yang lainnya dalam hal materi tentu saja. Satu yang harus di garis bawahi dan sudah menjadi slogan dalam perusahaan ini ialah “Hukumlah Hukum atau Adili Keadilan”. Oleh karenanya jangan harap ada berita-berita atau literatur-literatur popular disini. Semua murni bersifat kritis bahkan menjurus subversif terhadap kinerja pemerintah secara umum dan hukum secara khusus.
Lalu di tempat lain John sedang bergulat dengan mesin fax karena Jafar atasannya meminta ia untuk mengirim surat balasan kepada Menkominfo terkait masalah rancangan undang-undang. Mereka berdua berada dalam satu atap di surat kabar Suara. Jafar sendiri ialah orang yang paling berjasa dalam merubah kehidupan tiga kawanan kriminal John, Irawan, Effendi serta dunia peradilan dalam negeri. Ya, Jafar lah orang yang dikirimi surat oleh Effendi beberapa tahun lalu. Jafar merupakan pendiri surat kabar Suara, salah satu surat kabar yang cukup popular dan cukup punya nama. Mungkin karena alasan itulah Effendi tak berpikir dua kali untuk mengirim surat kepadanya, apalagi terkait masalah kebobrokan lembaga pemerintahan. Karena ia tahu betul bahwa Jafar adalah seorang yang cukup punya prinsip mengenai kebenaran dan keberimbangan. Gayung pun bersambut, surat-surat Effendi langsung cetak-terbit oleh Suara. Dalam waktu singkat saja masalah ini telah membahana ke seluruh pelosok negeri dari berita-berita di televisi, surat kabar, hingga internet tak luput dari permasalahan ini bahkan situs-situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter pun tak luput dari isu ini. 
Di ruangannya Jafar melamun, tak seperti biasa jemarinya lekat dan fasih  sekali memain-mainkan pulpen yang ada di meja kerjanya. Sambil sesekali melirik ke arah surat yang dikirim Effendi. John yang tiba-tiba masuk ke ruangannya untuk memberitahukan jikalau orang Menkominfo telah datang sekonyong-konyong heran dengan tingkah-polah Jafar yang hanya melamun. “Mas, orang Menkominfo udah dateng tuh..”, ucap John perlahan. “Mas…. Mas Jafar…”, lanjut John mendesak berharap memecah lamunan Jafar.
Jafar masih terdiam. Lalu perlahan mulai membuka mulutnya,“…Hebat betul Effendi, hebat betul nyawa dalam surat ini. Karenanya publik bisa memainkan hakimnya sendiri dengan pengadilannya yang tersendiri pula. Karenanya hukum bisa benar-benar menjadi hukum dan keadilan bisa benar-benar adil. Karenanya pengadilan dan kepolisian dibubarkan. Hebat betul…”.
John makin tidak mengerti dengan gelagat atasannya itu “Memang apa isi surat Effendi itu Mas?”, Tanya John penasaran.
”Itu suratnya ada di meja kerjaku”, Jawab Ja’far.
Tergegas John secepat kilat menyambar surat yang tergeletak diam tersebut. Ia perhatikan dengan teliti setiap sudutnya, ia bolak-balik surat tersebut, ia raba dengan hati-hati kertas di dalamnya, sesekali ia terawang ke dalam gumpalan cahaya disekitarnya, namun kemudian ia hanya bergumam, “Surat ini kosong”.








Bersambung…
Share