The Truth Seeker Media

Sabtu, 17 Maret 2012

(Gelandangan) Panggung

           Ketika mendengar nama Marley jujur yang keinget sama gue itu ganja plus asep-asepnya. Ya teranglah, siapa pula yang gak tahu Marley? Angkatan pertama dedengkot rastafarian yang jadi artis pop ini emang doyannya ngisep ganja. Iya, Bob Marley, yang rambutnya gimbal identik juga sama warna pelangi merah-kuning-hijau sampai detik ini anak muda Jakarta masih ada aja yang ngidolain dia. Padahal di zamannya (jauh sebelum Marley) rambut gimbal itu pertanda seorang dengan religiusitas yang tinggi. Coba tengok 10.000 BC selain ada Camilla Belle yang cantiknya bukan main, rambut gimbal juga ada di film itu. Singkat kata, pada akhirnya kaum rastafarian yang bawa-bawa bendera pelangi juga punya kebiasaan ngegimbalin rambut bagi yang belum gimbal, kalo yang udah otomatis gimbal sik yak gak usah. Mereka religius? Entah, tapi yang jelas atas ijin Alloh SWT si Marley ini jadi artis top, maka wajarlah kalo orang-orang menstereotipkan Marley dengan ganja, gimbal dan merah-kuning-hijau. Termasuk gue salah satunya.  Tapi tunggu dulu, kenapa gue jadi ngomongin orang yang udah mati? (Astagfirulloh!) Marley yang gue singgung-singgung dari tadi itu sebenarnya salah satu nama Bar di Sudirman gitu. Gedung Energy persisnya, tempatnya asyik sumpah! Band-band indie mulai dari kacangan sampai yang ‘udah jadi’ pernah terkadang atau seringkali manggung di sini. Dan Alhamdulillah gue pernanh ngerasain itu panggung. Norak yak gue? Bodo amat, emang gue pikirin! Gak suka gak usah baca! Hahaha!!!
 
            Ngomong-ngomong masalah panggung, sewaktu gue SD sampe SMA setiap gue maju ke depan kelas pasti gue anggap itulah panggung. Ya mau bagaimana lagi namanya juga anak bau kencur masih pelon. Tapi ini serius, setiap gue disuruh maju ke depan kelas keringet gue udah banjirnya bukan main se-alaihim gambreng dari muka, ketek, sampe sempak dijamin kuyup. Terus agak digeser ke dunia kuliah kalo maju ke depan kelas gue udah agak biasa, bawaannya udah woles aja. Maklum namanya juga mahasiswa, Agent of Change manusia yang merasa paling idealis dan paling kritis. Tapi jelas beda 180 derajat kalo gue disuruh manggung beneran walaupun kiranya itu masih di dalam kampus. Cengok! Udah pasti. Seakan semua orang ngeliatin gue, padahal jelas-jelas di atas panggung bukan gue doank seorang. Pembawaan yang tegang alias kaku udah jadi standar di atas panggung. Mau itu gue main bagus atau main jelek yang penting gue hajar aja biar cepet kelar. Haha. Tipikal amatir! Tapi bukankah seorang yang profesional memulai semua dengan beramatir-amatir ria dahulu lalu berprofesional kemudian? (kata Afgan *Sadis!) Oiyak, sekedar informasi panggung yang gue maksud ini bukan panggung teater yang pelaku-pelakunya suka sekali mengolah rasa dan raga tapi ini cuma panggung musik ala kadarnya. Anggaplah gue ini pemetik gitar walaupun sebenarnya gue itu pengolah suara yang sedikit banyak bisa koreografi ala SuJu. Anyeong Haseo K-Pop!!  Tapi elo diem-diem aja ini cuma dianatara kita. 
 
Ya, pada masa keemasannya jam terbang gue di kampus luar biasa padat man! Manggung disana-sini dalam skala acara kecil memang, mungkin itu juga sebabnya kenapa kita jarang latihan selain karena malas. Sudah jelas! Karena kita malas latihan, panggung besar pun tak kunjung datang. Benar-benar siklus yang natural sekali. Teringat gue akan dahulu dikala ingusan main di Déjà vu daerah Thamrin sana. Persisnya kurang begitu ingat gue bagaimana hasilnya tapi satu yang pasti gue waktu itu dengan pedenya pake celana pendek plus sandal jepit. Kayak gelandangan aja, di depan pintu padahal tertulis no sandals! tapi gue tetep nekat alasanya waktu itu gue terlalu idealis (baca : fanatik) dengan sikap anti kemapanan dan tatanan kelas makanya wardrobe gue ya semau-mau gue! Lagi pula emang gak ada yang salah dengan penampilan seperti itu bukan? Cuma yang jadi masalah kemudian para gelandangan agak sedikit kotor untuk menjadi kiblat fashion. Kalo boleh jujur sebenarnya sumpah pada saat itu gue belom punya celena jeans dan sepatu yang layak. Haha. Lanjut, masih di zaman yang sama yakni masa-masa putih - abu-abu, masa Sekolah Menengah Atas, gue agak rajin juga nonton-nonton gigs kemana-mana : kantong kosong, kendaraan gak ada, jadilah gue naik angkot kalo udah gak ada angkot ya terpaksa nyetopin mobil bak/truck dan perjuangan terakhir untuk bisa pulang ialah dengan berjalan. Gigs yang masih gue inget dan tiketnya masih gue pegang sekarang itu acara Manchester Get Mad! Band yang mentas ada Pestolaer, Bangkutaman, The Porno, The Jones, Guntingkuku, The Stories, Fill n Feel dll. Asoy lah pokoknya. Dan gak nyangka gue kalo band-band itu masih eksis sampe sekarang meski ada juga yang udah bubar. Yang terus jadi kepiikiran gue, band-band yang manggung dengan tempat seadanya itu udah pasti band yang cukup kompeten, dari sekian banyak band indie yang keren perlahan tapi pasti gue tetap mengasah skill olah vokal gue sama Agus Noor. Bukannya ngajarin birama atau not kita malah berbagi bir. Yaa salam!
 
Sebagai bukan satu-satunya penikmat musik indie gue hapal betul mana band yang selera gue mana yang bukan (menghindari istilah kualitas dsb) walaupun gak fanatik-fanatik amat sama mereka tapi gue tahulah band-band indie mapan macam Seringai, Efek Rumah Kaca, Rumah Sakit, Purgatory, Pegawai Negeri hingga The Safari. Khusus untuk yang disebutkan terakhir dan sebelumnya ada memori spesial terhadap mereka kalo faktanya gue pernah sepanggung bareng mereka. Sekali lagi dalam tulisan ini gue emang rada narsis dan teramat sangat dianjurkan untuk tidak membaca. Haha!

 
Bermula dari panggung perpisahan sekolah gue udah mulai sok-sokan manggung, mungkin guru-guru pada gak nyangka kalo gue itu ternyata rocker!  Terus sampe pada akhirnya di tempat yang begitu secured kayak Soul-In di Kuningan gue masih tergagap-gagap menterjemahkan apa itu panggung. Maklum, pertama kalinya gue sepanggung sama teman-teman indie yang serupa dalam perjuangan dimana jauh sekali dari kabut mainstream pop kayak sekarang. Meski pun jangan pernah memungkiri kalo kita itu, gue maksudnya, sebenarnya masih rada-rada ngepop dengan kadar yang gak terlalu banyaklah. Begini kira-kira, pop itu dari asal kata popular kalo gue gak salah yang berarti betul. Dia ini bukan aliran, genre atau sejenisnya tapi murni sebuah kultur baru pada eranya di dunia westernis sana. Kemudian simplenya dengan analogi serampangan ala gue yaitu bahwa semua yang popular sudah pasti pop bukan? Meski kelewat minoritas pun sampai mengarah ke garis keras idealis jika masuk kedalam ranah definisi popular yak ngepop-ngpop juga ujungnya. Jadi terima aja kalo kita itu sebenarnya ngepop. Tai kucing kalo resis! Kalian hipokris! (Angker..)
 
Lalu di tempat yang sedemokratis Equal Park di Jalan Jaksa dimana kalian bisa menyanyikan apa saja dengan suka-suka, gue masih pelangak-pelongok meski kalo boleh jujur emang  udah menahun gue gak pernah manggung. Tapi siapa yang peduli? Yang malu jelas gue sendiri.  Banyak bule kere nongkrong disitu kalem-kalem aja, kenapa gue mesti galau. Terus betapa Emax Kemang kala itu menjadi saksi bahwa Kuliah Kerja Nyata bukan lagi menjadi prioritas demi semuncratan panggung. Di sudut kawasan bisnis ini lagi-lagi gue masih sedikit asing dengan yang namanya panggung dan segala alam kehidupannya. Ada perasaan yang kurang nyaman di setiap desir darah gue namun ternyata ego lebih memihak pada eksistensi dan aktualisasi. Mungkin akan menjadi wajar jika kita kembalikan pada makna harfiah manusia. Seperti piramid kreasi Abraham Maslow dalam Mata Kuliah Pengantar Psikologi yang lengkap betul membahas riwayat manusia. Kalo elo gak tahu, makanya cari tahu! Minimal bacalah atau kalo punya rezeki kuliah yang bener.  Persetan sama rencana pemerintah membuka wancana sekolah minimal 6, 9 atau 12 tahun. Terbukti bahwa pemerintahan kita itu tidak baik, karena pemerintah yang baik semestinya memasang target minimal dengan semaksimal mungkin. Magister! Doctor! Atau Professor itu harusnya harga mati. Bagaimana mungkin ketika kursi-kursi di pemerintahan diisi sama koloni macam mereka, rakyat dibodohi dengan wacana sekolah setingkat SR atau SKK! Buka mata wahai rakyat! Apa jangan-jangan emang mau dibodohin terus? Hehe.
 
Oke balik lagi ke masalah yang lebih urgent ketimbang ngomongin pemerintah yang sudah pasti banyak salahnya yakni masalah panggung. Ya, panggung. Panggung yang biasanya diisi sama kaum-kaum telinga sentris, tapi banyak juga kaum mata sentris. Kenapa demikian? Soalnya elo tahu sendiri kalo panggung itu bukan sebiji mp3 player yang bisanya didenger doang. Mereka yang menjadi penghuni hampir di setiap panggung itu, kerjaannya ialah analisator sengaja atau tidak sengaja. Banyak juga sik yang gak ngerti apa-apa dan sekedar bergumul, tapi itu gak masuk ke dalam hitungan. Kalo boleh gue mengandai-andai sekarang, anggaplah mereka itu orang-orang yang terlatih baik pendengaran dan penglihatan dan sudah barang tentu kalo  logika mereka juga jalan terhadap bentuk dari satu kesatuan panggung itu sendiri. Lagi-lagi gue jadi ingat akan sebuah tempat, Kopi Merah namanya. Di sana sangat menjajikan akan penunggu-penunggu yang anti suara elektrik, sumpah mati mereka hanya ingin santai dan suasana akustik. Jadi jangan harap ada hingar distorsi di salah satu sudut selatan ini. Kesalahan pertama gue waktu itu ialah mau manggung disitu karena ternyata setelah kita ejakulasi di atas panggung akustikan adalah sebuah tragedi. Bagaimana pun rasa malu itu hanya aku yang tahu. 

 
Pernah suatu ketika gue denger ceramah-ceramah menyoal arak bali. Bagaimana kencengnya itu arak seakan menjadi dongeng buat gue waktu itu. Sampe pada akhirnya gue nyasar ke Ni Wayan. Bukan cita rasa lokal yang gue dapat karena disitu gak ada arak bali. Yang ada Carlsberg, Heineken. Halah! Minuman sekelas air seni. Absurd. Dekat sekali dengan ketidakteraturan, nyaris mirip sama hasil manggung barusan.  Namun sekali lagi demi sok-sokan aktualisasi gue terima dengan dada yang lapang. Waktu itu penghujan, Kalimalang-Cawang memakan waktu hingga 1-2 jam bisanya cuma 30 menit. Karena gue lebih banyak neduh ketimbang jalan. Tapi untungnya sekedar Oasis, Pulp dan The Strokes bisa rampung di tempat kejadian.

 
Jauh sebelum itu Taman Ria Atmaja telah bersaksi bahwasanya loyalitas lebih tinggi derajatnya ketimbang eksistensi. Enam gerombolan piyik gereja belajar terbang serempak menuju anjungan-anjungan lain jagat raya, sebenarnya ada satu gerombolan lagi. Namun mungkin yang satu ini terlalu pengecut untuk mengambil resiko antara belajar terbang dengan belajar berjalan secara bersamaan. Tersimpan harapan yang amat besar kepada mereka-mereka pendatang baru kolong langit ini, agar suatu saat nanti bisa benar-benar terbang menjadi unggas penerbang seutuhnya.
 
Setibanya di Semarang. Takjub betul gue sama suasana di sana, pemandangannya benar-benar di luar logika. Tapi sayang sungguh disayang peran gue waktu itu bukan sebagai Mapala, melainkan (sekali lagi) menyoal panggung. Satu bukti kongkrit yang ternyata benar adanya udah gue dapat yaitu betapa universalnya panggung itu. Saking universalnya batasan 5W 1H gak ada artinya di hadapan panggung. Itu yang gue rasain di Semarang, setelah lebih dulu dan terbiasa dengan panggung-panggung di Jakarta. Sebenarnya ada yang gue cari-cari waktu itu dan ternyata gak berhasil gue temuin disana. Gue nyariin lumbung padi. Cuma sebatas penasaran sama wujudnya kayak apa. Mungkin gue masuk ke kawasan kotanya, makanya gak bisa nemuin lumbung padi. Gak lama setelah gue beranjak pulang dari Semarang gue justru malah nemuin lumbung padi itu disini (di Jakarta), tepatnya di Jeruk Purut. Sumpah agak ada hubungannya sama mistis dan astral-astralan. Disitu, lagi, untuk kesekian kalinya gue mengejawantahkan anatomi-anatomi panggung.
 
Dari arah Kalibata di perempatan McD Kemang gue ambil kanan dan gak tahu kenapa nongol-nongol di Backyard. Pertama kalinya gue ke tempat itu. Panggungnya sik biasa aja, cuma yang di atas panggung itu lho! Pecah! Asyik-asyik! Terus ternyata beberapa lama setelah itu gue ditakdirkan untuk singgah lagi ke situ. Perasaan gue masih sama, nervous yang gak ketulungan padahal acara kecil-kecilan doank. Tapi bagaimana pun juga di Backyard itu udara yang hilir mudik lebih segar ketimbang Stardeli sudut lain dari Kemang. Posisinya persis di seberang pom bensin dan di samping warteg, Jangan sekali-kali dateng jum’at malam karena sudah terlalu binal. Di atas panggung gue gak begitu santai, pake snare drum pinjaman diliatin pula sama orang-orang seruangan, siapa coba yang bisa santai kalo kayak gitu. Emang sik udah nyaris mendekati Fabrizio Moretti tapi tetep aja namanya grogi langsung blank semua. Lagi-lagi untuk segolongan amatir, lumayanlah.
Sampai pada akhirnya gue diberi kesempatan buat nyicip panggung Marley di Sudirman, 2 kali kesempatan dan semuanya berakhir dengan pembatalan. Pertama itu acara Britpop Tribute Heroes yang main gokil-gokil namun sayang gue gak menjadi bagian dari acara yang katanya sukses mampus. Terus yang kedua acara Comforting Sound lagi-lagi canceled entah apa dasar dan acara itu dialihkan ke Stardeli tapi gue gak main, seminggu setelah itu ada acara keren di Marley. Band-band indie papan atas pada nongol waktu itu. Semakin bertambah penasaranlah gue sama Marley. Akan tetapi kemudian di awal maret kesampaian juga gue hajar itu panggung dalam acara Three Post Punk Enchanters yang main ada Revolusi Pop, Dikeroyok Wanita, FillnFeel, The Stories, Sutherland Grove, Schizophrenic dll. Sedikit flashback ternyata band-band itu yang gue tonton waktu masih ingusan dulu di Manchester Get Mad! Gak nyangka sekarang bisa satu panggung! Belum lagi di Marley itu pula betapa gue merasakan bagaimana ramahnya sebuah panggung. Satu yang gue rasa ternyata menjadi gelandangan panggung itu benar-benar  menyenangkan. Mudaha-mudahan gue akan terus menjadi gelandangan. Hahaha!!!
Share

2 komentar: