The Truth Seeker Media

Senin, 29 September 2014

DI ANTARA (BONEKA) ELIS





Seraya sesegukan Elis masuk ke dalam kamar. Isaknya terus menjadi-jadi. Seluruh isi tas yang sedari tadi lekat pada pundak kini awut-awutan. Begitupun pernik dan berderet alat-tulis pada meja belajar, sekali kibas semua rontok bak terkena air bah. Akan halnya seragam putih--biru yang ia kenakan, sebagian kusut melintang, sebagian yang lain berkerut pada sisi dalam. Tak mungkin luput pula dari keringat yang meluap.

Dengan sisa sedu-sedan yang melelerkan air mata, sesekali ia bahkan mengerang berteriak demikian kencang. Bagai larva panas yang kapan saja siap menerjang.
“Jangan kau bela mereka!” ujarnya. “Kau itu hanya boneka!”

Kali pertama Elis ke taman berwahana, intuisi kecilnya terpukau bahagia, sebab kali pertama pula ia keluar untuk sekadar tujuan bermain. Elis kerap terlalu takut dengan orang lain. Tapi kini semangat dan canggungnya berpadu jadi satu, walau amat disayang, tak ada siapa pun di taman itu. Musnah sudah kesempatannya untuk punya teman. Meski mentalnya telah ia tamengi baja berlapis-lapis.

Seperti biasa, Elis hanya bisa bermonolog dengan bonekanya sebagai pemerhati paling setia.


***


Aroma pagi mulai menyusup, betapa plong rasanya dalam paru. Rerumputan menari-nari di tepi jalan beraspal seolah ikut merasakan keriangan yang dirasa oleh Elis. Eleginya berayun-ayun bersamaan dengan angin yang menggumuli wajahnya. Tak pelak ia merasa sangat gembira. Mungkin karena kali ini ia membawa serta Shopie, boneka kesayangannya. Elis ingin Shopie bisa mengahayati sepotong pagi. Elis ingin juga mengenalkan Shopie pada teman-teman kelasnya. Meski ia tahu apa tanggapan mereka.

Sesampai di rumah. Terdengar sayup-sayup suara kering pembawa acara televisi keluar dari mulut seorang wanita. Berita yang diwartakan mengenai penemuan mayat anak laki-laki dengan sepotong bibir yang raib diiris.

Boneka Shopie hanya membeku. Elis pun termangu seperti menunggu sesuatu sambil terus menatap jatuh pandangannya pada sang boneka berponi. Ternyata Elis menantikan Shopie bicara.

Ia terus menunggu hingga akhirnya terlelap.

Keesokan harinya, setelah Tami, anak perempuan berkepang dua menderas kata-kata yang terpatri pada buku biologi atas perintah bu guru. Suasana sekolah mendadak gempar. Banyak polisi yang mondar-mandir, masyarakat sekitar pun berkerumun di sekitar garis pembatas kuning mengkilap. Saat itu juga aktifitas belajar-mengajar dihentikan. Para siswa segera dibubarkan, diantaranya mewek ketakutan. Para guru terlihat shock di ruangan. Entah mimpi apa mereka semalam sampai harus mengalami kejadian naas. Tami, salah seorang murid tergolek bersimbah darah di belakang sekolah dengan dada berlubang sekepalan tangan dan kepala terbelah. Jantung dan otak gadis malang itu menghilang.

Elis baru saja tiba di rumah. Sang Ibu menyambutnya dengan kecupan, terbersit garis kekhawatiran di raut mukanya, namun sebisa mungkin ia tutupi. Tak mau ia merusak kondisi Elis yang semakin membaik tiap harinya semenjak divonis kanker otak 3 tahun lalu. Sang ibu hanya tersenyum bersukaria saat melihat untuk pertama kali dalam sejarah Elis makan nambah.


***


Malam bulan berhalimun. Orkestrasi yang dibentuk pepohonan agak misterius. Sama sukarnya dengan menerjemahkan kenapa Elis ada di tengah-tengah rimba begini. Sembari berputar-putar mencari jalan keluar, pada ambang batas penglihatannya ia melihat sesosok yang berdiri tanpa gerak. Terus ia lekati, masih saja tersamar oleh kabut yang tak tentu arah. Bersama langkah agak merayap, ia nekat mendekat. Semakin terlihat hingga sosok itu ialah Shopie! Bonekanya sendiri.

Shopie malah terbirit masuk ke tengah belukar. Elis mengejar, tapi lantas yang terjadi begitu membingungkan. Dari balik semak, terdapatlah sebuah negeri yang indah. Negeri dua dimensi, yang diisi oleh ribuan boneka shopie warna-warni. Pada negeri itu pelanginya lebih besar dengan ngarai di tengah, dan sungai yang terjun bebas dari angkasa. Kebun-kebun berisikan permen coklat terbentang luas. Elis hanya bisa terpana dengan mata berkilat-kilat.

Namun itu cuma mimpi.

Tiga hari setelahnya. Dua orang pengendara sepeda melintas di depan rumah kosong dekat taman bermain, lebih mirip rumah hantu. Gowesan mereka terganggu bau busuk yang mencekik dari arah rumah itu.

Dua onggok mayat bocah yang telah bengkak terbujur kaku dengan kulit gosong bernanah, masing-masing kaki dan tangan terpotong bersaling silang. Pengendara sepeda itu kabur tunggang-langgang selepas mengintip dari kaca jendela. Terlalu ciut.

Elis kini girang bukan kepalang. Shopie bisa bergerak dan berjalan. Sesekali Shopie juga telah mampu bicara. “Elisha,” katanya. Tak terbayang suasana hati Elis, meletup-letup layaknya kembang api tahun baru. 
Diajaknya Shopie dansa, ajojing, bahkan didandani. Musik-musik gembira, petasan kerlap-kerlip, balon dan keindahan dekorasi menghiasi kamarnya yang tampak seperti istana sedang pesta.

Sekejap. Tiba-tiba seseorang menyelinap masuk ke tengah pesta tunggal Elis. Tampak samar ia nenteng beberapa koper, dan benda-benda tak lazim. Elis terkejut, lehernya seketika seperti tercekat tak bisa teriak. Kamar ibu pun jauh di bawah, butuh melewati belasan anak tangga untuk sampai ke sana.
Penyusup pesta itu kini mulai mendekat. Badannya tambun dengan perut menggelembung, sinar matanya kasar dan kumis yang rimbun. Sang anonim memiliki raut muka binal, mulutnya selalu menganga hingga air liurnya senantiasa netes merembesi karpet seperti anjing kampung yang kelaparan. Begitu menyeramkan hingga ia semakin mendekat Elis tak berani melihat, matanya sengaja dipejamkan.

Lalu tubuh Elis dijamah, diguncang-guncang, matanya justru semakin ditekan agar tertutup kian rapat.
“Ini aku bawakan sebongkah hati untuk Shopie,” sosok tamu tak diundang itu mendadak  berujar. Elis masih linglung.

 “Lekas kemarikan bonekamu,” sosok itu melanjutkan. Tak lama sebongkah hati segar telah tertanam dalam boneka Shopie dengan beberapa jahitan tutupi sayatan di dadanya. Elis ngendap-ngendap ke pojok kamar masih dihanggapi rasa takut.

Suasana sunyi sesaat.

Mereka terdiam.

“Seharusnya tak kau lakukan Elis,” sebuah suara sejurus kemudian menggema. Namun di antara mereka tak satupun ada yang bicara.

“Aku kecewa,” lanjut suara misterius itu.

Ternyata boneka Shopie yang bicara! Elis kaget tak terkira, mukanya benar-benar semringah. Mugkin ini arti dari mimpi tak lazimnya beberapa hari lalu. Bonekanya, Shopie, bisa hidup seperti manusia! Betapa girang dirinya.

Namun Elis terdiam heran. Ia memicingkan mata diikuti kerutan pada dahinya. Sejenak kepalanya agak terdongak menerawangi apa yang diucapkan Shopie.

 Kau biarkan orang ini merenggut nyawa teman-temanmu lantas membuat aku hidup. Untuk apa Elis?” Shopie terus menderas sambil nunjuk-nunjuk orang asing itu. “Aku hanya sebuah boneka. Tak mungkin bicara, bergerak, mendengar, merasa, meraba, berkeinginan, bahkan aku tak mungkin hidup! Sudah jadi fitrahku. Aku menikmati segenap kekuranganku, pun aku tak butuh apa-apa selain pengakuanku sebagai boneka. Aku bangga untuk itu, untuk jadi boneka yang selalu tak didengar, selalu diam, selalu jadi partisan. Aku bangga menjadi benda mati! Kenapa kau tak terima kekuranganku seperti aku selalu menerima kekuranganmu yang banyak itu Elis? Kenapa?!”

Air mata Elis tumpah. Sangkaan akan punya boneka yang hidup pelan-pelan pudar. Elis tak percaya kata-kata bonekanya bisa menohok hatinya sedemikian. Amat menyakitkan. Terlebih Elis tak paham benar apa yang Shopie katakan.

Setiap harinya Elis acap dikucilkan. Khususnya di sekolah. Elis tak punya teman, tepatnya tak ada yang mau berteman. Pernah pada suatu ketika teman-teman di kelas mengejeknya begitu hina, bahkan gurunya pun ikut menertawakannya. “Masak perempuan gundul!” kata-kata itu selalu tertanam dalam ingatannya. 

Begitupun wajah teman-teman yang jahat padanya. Namun anehnya, mereka yang selalu mengganggu kini satu-per-satu mulai menghilang bahkan mengalami kejadian yang ngenas. Di depan sang ibu, Elis selalu memasang muka berseri, tak kuat hati ia jika sang ibu ikut gamang memikirkan.

Elis hanya terpekur menahan pilu, melihat Shopie yang hendak pergi berlalu lewat jendela kamarnya. Kali ini ia akan kehilangan satu-satunya teman yang ia miliki. Shopie mau kabur. Hatinya benar-benar remuk. Trenyuh demikian nelangsa. Ingin ia cegat, namun tubuhnya terlalu layu. Tak kuat ia berlari menyergap Shopie ke dalam pelukannya. Shopie yang selama ini ada untuknya kini berpaling meninggalkan dirinya dengan berjuta kesedihan.

“Tunggu!” teriakan laki-laki misterius itu pecah.

Padahal sedari tadi ia sibuk dengan kain-kain dalam kopernya, setelah sebelum ini ia kenakan beberapa helai sutra pada badan Shopie. Berbagai jenis parfum ia semprotkan pada kain itu. Sebentar saja kamar Elis berbau manis.

“Kenapa laku kalian seperti itu?” Elis yang tersungut-sungut seketika diam, Shopie pun demikian. Mereka kini menatap objek tunggal di depan mereka.

 “Kalian berdua seperti juga yang lainnya adalah boneka-bonekaku,” Elis dan Shopie hanya saling pandang mata bertemu mata. Sedangkan sosok itu diam-diam telah jauh meninggalkan mereka yang tertegun sambil membawa koper berisi busana-busana ciptaannya.


(Jakarta, Februari 2014)
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar