Seraya
sesegukan Elis masuk ke dalam kamar. Isaknya terus menjadi-jadi. Seluruh isi
tas yang sedari tadi lekat pada pundak kini awut-awutan. Begitupun pernik dan berderet
alat-tulis pada meja belajar, sekali kibas semua rontok bak terkena air bah. Akan
halnya seragam putih--biru yang ia kenakan, sebagian kusut melintang, sebagian
yang lain berkerut pada sisi dalam. Tak mungkin luput pula dari keringat yang
meluap.
Dengan
sisa sedu-sedan yang melelerkan air mata, sesekali ia bahkan mengerang
berteriak demikian kencang. Bagai larva panas yang kapan saja siap menerjang.
“Jangan
kau bela mereka!” ujarnya. “Kau itu hanya boneka!”
Kali
pertama Elis ke taman berwahana, intuisi kecilnya terpukau bahagia, sebab kali
pertama pula ia keluar untuk sekadar tujuan bermain. Elis kerap terlalu takut
dengan orang lain. Tapi kini semangat dan canggungnya berpadu jadi satu, walau
amat disayang, tak ada siapa pun di taman itu. Musnah sudah kesempatannya untuk
punya teman. Meski mentalnya telah ia tamengi baja berlapis-lapis.
Seperti
biasa, Elis hanya bisa bermonolog dengan bonekanya sebagai pemerhati paling setia.
***
Aroma
pagi mulai menyusup, betapa plong rasanya dalam paru. Rerumputan menari-nari di
tepi jalan beraspal seolah ikut merasakan keriangan yang dirasa oleh Elis.
Eleginya berayun-ayun bersamaan dengan angin yang menggumuli wajahnya. Tak
pelak ia merasa sangat gembira. Mungkin karena kali ini ia membawa serta Shopie,
boneka kesayangannya. Elis ingin Shopie bisa mengahayati sepotong pagi. Elis ingin
juga mengenalkan Shopie pada teman-teman kelasnya. Meski ia tahu apa tanggapan
mereka.
Sesampai
di rumah. Terdengar sayup-sayup suara kering pembawa acara televisi keluar dari
mulut seorang wanita. Berita yang diwartakan mengenai penemuan mayat anak
laki-laki dengan sepotong bibir yang raib diiris.
Boneka
Shopie hanya membeku. Elis pun termangu seperti menunggu sesuatu sambil terus
menatap jatuh pandangannya pada sang boneka berponi. Ternyata Elis menantikan
Shopie bicara.
Ia
terus menunggu hingga akhirnya terlelap.
Keesokan
harinya, setelah Tami, anak perempuan berkepang dua menderas kata-kata yang
terpatri pada buku biologi atas perintah bu guru. Suasana sekolah mendadak gempar.
Banyak polisi yang mondar-mandir, masyarakat sekitar pun berkerumun di sekitar
garis pembatas kuning mengkilap. Saat itu juga aktifitas belajar-mengajar
dihentikan. Para siswa segera dibubarkan, diantaranya mewek ketakutan. Para
guru terlihat shock di ruangan. Entah
mimpi apa mereka semalam sampai harus mengalami kejadian naas. Tami, salah
seorang murid tergolek bersimbah darah di belakang sekolah dengan dada
berlubang sekepalan tangan dan kepala terbelah. Jantung dan otak gadis malang
itu menghilang.
Elis
baru saja tiba di rumah. Sang Ibu menyambutnya dengan kecupan, terbersit garis
kekhawatiran di raut mukanya, namun sebisa mungkin ia tutupi. Tak mau ia
merusak kondisi Elis yang semakin membaik tiap harinya semenjak divonis kanker
otak 3 tahun lalu. Sang ibu hanya tersenyum bersukaria saat melihat untuk
pertama kali dalam sejarah Elis makan nambah.
***
Malam
bulan berhalimun. Orkestrasi yang dibentuk pepohonan agak misterius. Sama
sukarnya dengan menerjemahkan kenapa Elis ada di tengah-tengah rimba begini.
Sembari berputar-putar mencari jalan keluar, pada ambang batas penglihatannya
ia melihat sesosok yang berdiri tanpa gerak. Terus ia lekati, masih saja
tersamar oleh kabut yang tak tentu arah. Bersama langkah agak merayap, ia nekat
mendekat. Semakin terlihat hingga sosok itu ialah Shopie! Bonekanya sendiri.
Shopie
malah terbirit masuk ke tengah belukar. Elis mengejar, tapi lantas yang terjadi
begitu membingungkan. Dari balik semak, terdapatlah sebuah negeri yang indah.
Negeri dua dimensi, yang diisi oleh ribuan boneka shopie warna-warni. Pada
negeri itu pelanginya lebih besar dengan ngarai di tengah, dan sungai yang terjun
bebas dari angkasa. Kebun-kebun berisikan permen coklat terbentang luas. Elis
hanya bisa terpana dengan mata berkilat-kilat.
Namun
itu cuma mimpi.
Tiga
hari setelahnya. Dua orang pengendara sepeda melintas di depan rumah kosong
dekat taman bermain, lebih mirip rumah hantu. Gowesan mereka terganggu bau
busuk yang mencekik dari arah rumah itu.
Dua
onggok mayat bocah yang telah bengkak terbujur kaku dengan kulit gosong
bernanah, masing-masing kaki dan tangan terpotong bersaling silang. Pengendara
sepeda itu kabur tunggang-langgang selepas mengintip dari kaca jendela. Terlalu
ciut.
Elis
kini girang bukan kepalang. Shopie bisa bergerak dan berjalan. Sesekali Shopie
juga telah mampu bicara. “Elisha,” katanya. Tak terbayang suasana hati Elis,
meletup-letup layaknya kembang api tahun baru.
Diajaknya Shopie dansa, ajojing,
bahkan didandani. Musik-musik gembira, petasan kerlap-kerlip, balon dan
keindahan dekorasi menghiasi kamarnya yang tampak seperti istana sedang pesta.
Sekejap.
Tiba-tiba seseorang menyelinap masuk ke tengah pesta tunggal Elis. Tampak samar
ia nenteng beberapa koper, dan benda-benda tak lazim. Elis terkejut, lehernya seketika
seperti tercekat tak bisa teriak. Kamar ibu pun jauh di bawah, butuh melewati belasan
anak tangga untuk sampai ke sana.
Penyusup
pesta itu kini mulai mendekat. Badannya tambun dengan perut menggelembung, sinar
matanya kasar dan kumis yang rimbun. Sang anonim memiliki raut muka binal,
mulutnya selalu menganga hingga air liurnya senantiasa netes merembesi karpet
seperti anjing kampung yang kelaparan. Begitu menyeramkan hingga ia semakin
mendekat Elis tak berani melihat, matanya sengaja dipejamkan.
Lalu
tubuh Elis dijamah, diguncang-guncang, matanya justru semakin ditekan agar
tertutup kian rapat.
“Ini
aku bawakan sebongkah hati untuk Shopie,” sosok tamu tak diundang itu mendadak berujar. Elis masih linglung.
“Lekas kemarikan bonekamu,” sosok itu
melanjutkan. Tak lama sebongkah hati segar telah tertanam dalam boneka Shopie
dengan beberapa jahitan tutupi sayatan di dadanya. Elis ngendap-ngendap ke
pojok kamar masih dihanggapi rasa takut.
Suasana
sunyi sesaat.
Mereka
terdiam.
“Seharusnya tak kau lakukan Elis,”
sebuah suara sejurus kemudian menggema. Namun di antara mereka tak satupun ada
yang bicara.
“Aku kecewa,”
lanjut suara misterius itu.
Ternyata
boneka Shopie yang bicara! Elis kaget tak terkira, mukanya benar-benar
semringah. Mugkin ini arti dari mimpi tak lazimnya beberapa hari lalu.
Bonekanya, Shopie, bisa hidup seperti manusia! Betapa girang dirinya.
Namun
Elis terdiam heran. Ia memicingkan mata diikuti kerutan pada dahinya. Sejenak
kepalanya agak terdongak menerawangi apa yang diucapkan Shopie.
“Kau
biarkan orang ini merenggut nyawa teman-temanmu lantas membuat aku hidup. Untuk
apa Elis?” Shopie terus menderas sambil nunjuk-nunjuk orang asing itu. “Aku hanya sebuah boneka. Tak mungkin
bicara, bergerak, mendengar, merasa, meraba, berkeinginan, bahkan aku tak
mungkin hidup! Sudah jadi fitrahku. Aku menikmati segenap kekuranganku, pun aku
tak butuh apa-apa selain pengakuanku sebagai boneka. Aku bangga untuk itu, untuk
jadi boneka yang selalu tak didengar, selalu diam, selalu jadi partisan. Aku
bangga menjadi benda mati! Kenapa kau tak terima kekuranganku seperti aku
selalu menerima kekuranganmu yang banyak itu Elis? Kenapa?!”
Air
mata Elis tumpah. Sangkaan akan punya boneka yang hidup pelan-pelan pudar. Elis
tak percaya kata-kata bonekanya bisa menohok hatinya sedemikian. Amat
menyakitkan. Terlebih Elis tak paham benar apa yang Shopie katakan.
Setiap
harinya Elis acap dikucilkan. Khususnya di sekolah. Elis tak punya teman,
tepatnya tak ada yang mau berteman. Pernah pada suatu ketika teman-teman di
kelas mengejeknya begitu hina, bahkan gurunya pun ikut menertawakannya. “Masak
perempuan gundul!” kata-kata itu selalu tertanam dalam ingatannya.
Begitupun
wajah teman-teman yang jahat padanya. Namun anehnya, mereka yang selalu
mengganggu kini satu-per-satu mulai menghilang bahkan mengalami kejadian yang
ngenas. Di depan sang ibu, Elis selalu memasang muka berseri, tak kuat hati ia
jika sang ibu ikut gamang memikirkan.
Elis
hanya terpekur menahan pilu, melihat Shopie yang hendak pergi berlalu lewat
jendela kamarnya. Kali ini ia akan kehilangan satu-satunya teman yang ia
miliki. Shopie mau kabur. Hatinya benar-benar remuk. Trenyuh demikian nelangsa.
Ingin ia cegat, namun tubuhnya terlalu layu. Tak kuat ia berlari menyergap
Shopie ke dalam pelukannya. Shopie yang selama ini ada untuknya kini berpaling
meninggalkan dirinya dengan berjuta kesedihan.
“Tunggu!”
teriakan laki-laki misterius itu pecah.
Padahal
sedari tadi ia sibuk dengan kain-kain dalam kopernya, setelah sebelum ini ia kenakan
beberapa helai sutra pada badan Shopie. Berbagai jenis parfum ia semprotkan
pada kain itu. Sebentar saja kamar Elis berbau manis.
“Kenapa
laku kalian seperti itu?” Elis yang tersungut-sungut seketika diam, Shopie pun
demikian. Mereka kini menatap objek tunggal di depan mereka.
“Kalian berdua seperti juga yang lainnya
adalah boneka-bonekaku,” Elis dan Shopie hanya saling pandang mata bertemu
mata. Sedangkan sosok itu diam-diam telah jauh meninggalkan mereka yang tertegun
sambil membawa koper berisi busana-busana ciptaannya.
(Jakarta, Februari 2014)
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar