The Truth Seeker Media

Senin, 29 September 2014

SEMILIR ANGIN DI ATAS KAPAL PENYEBERANGAN

clker



Malam bulan bulat sempurna. Nyanyian burung camar berjejal di udara. Hembusan angin menghujam  tanpa pilah. Sebuah bintang kejora seakan berputar sirkular di muka laut berkabut. Akan halnya bulan dan matahari, ia seperti membuntuti tanpa henti. Cahayanya merah keemasan berkilat-kilat. Membuat siapapun yang menatapnya terhipnotis seketika itu juga.

Ada cerita usang yang mengatakan bahwa kemunculan bintang kejora akan membawa keberuntungan kepada siapapun yang melihatnya. 

Namun sampai saat ini aku tak pernah percaya dengan mitos macam itu atau mitos bintang berekor api yang dikarang oleh para lelulur. Bagiku bintang itu sama saja dengan miliyaran bintang lain yang berserak di langit. Tak ada yang istimewa. Meski cahayanya kini mengepungku.

Tak pula ada perbintangan yang membawa sial.

Cahaya sang kejora masih menyembul di antara fajar yang mulai membiru. Warna yang sedari tadi seakan tak pernah muncul disini. Di Dermaga kecil ini. Karena gelap satu-satunya cahaya yang tersisa.

Biru. 

Warna itu pula yang kini ku lihat terbentang sejauh mata memandang dari kapal feri butut ini. Moda transportasi kelas ketengan yang kian lama kian berkarat. Dulu, aku takut sekali dengan laut. Sebabnya sederhana, karena sebuah berita. 

Benar, sebuah berita.

Berita karamnya kapal berpenumpang di Laut Banda, dan para penumpang yang hilang ditemukan dalam perut ikan hiu, Siapa pula yang tak bergidik mendengar berita macam itu? Menjadi santapan hiu! 

Tapi kini, dengan dalih ekonomi, kapal feri jadi satu-satunya alat transportasi yang paling bisa mengerti. Tentu mengerti kedalaman kantungku. Perduli setan dengan rasa takut! Apalagi upah tiga bulan ini belum kuterima. Memang, kadang menyoal uang dalam kamusku itu urusan belakangan. Mimpiku kini telah nyata. Aku bisa menumpas orang-orang jahat seperti cita-citaku di kala kecil dulu, layaknya seorang kesatria. Mau apa lagi? Itu yang terpenting.

Tapi faktanya sekarang, kondisiku memang mengenaskan. Miskin dan butuh uang.. Tak bisa disangkal. Seperti juga buruh-buruh upahan yang acap berdatangan ke Ibukota. Malah, demi lembaran benda mati itu banyak orang yang rela melakukan apa pun. Apa pun.

Pernah terbersit sejenak untuk aku melakukan hal-hal yang demikian -kau tahu- seperti orang kebanyakan, merampas semua yang ada di depan congor tanpa pikir panjang, meski tak jelas asal-usulnya. Apakah dari langit atau keping recehan dari neraka, sungguh tipis bedanya. Tapi ku tahu itu tak akan pernah memberikan kebahagian bahkan sampai mati kelak.

Aku mesti bertahan. Aku dilahirkan bukan untuk berperan sebagai pengumpat.

Dari atas selat sunda ini, bias cahaya merah sang kejora yang berbalut gelombak masih menjadi penampakan tak wajar. Orang-orang di atas kapal tak menggubris, tak minat. Padahal langit serta anasir laut lain saru dengan kekelaman malam. Malam yang kedua. Hanya kejora itu saja yang tampak menyolok mata. Apakah orang-orang tak lagi peduli dengan selain dirinya sendiri? Mungkin jika matahari terbelah pun, mereka tetap antipati.

Baru sepertiga jalan. Mercusuar yang sejak awal jelalatan di tepi dermaga itu telah lenyap di balik laut yang telentang. Begitu pula dengan daratan. Hanya deru kapal ini saja yang memecah hening malam. Keheningan yang lambat laun justru makin menyeramkan.

Tapi sesekali pesawat udara di ketinggian melintas tepat mengatapi kapal. Kelap-kelip merah tanda cahaya berbaur dengan ratusan bintang yang bertabur di angkasa. Membelah langit malam.

Mungkin seseorang di dalamnya punya tujuan yang sama denganku, hanya nasib yang membuatnya demikian berbeda. Aku di bawah, ia di atas. Persis seperti kasta masing-masing kita, ku pikir.

Kenapa dunia ini begitu sinis? Membelah kehidupan ke berbagai kasta. Kasta orang susah dan kasta orang mudah. Walaupun kau dan aku tahu klasifikasi yang paling sejati adalah antara yang hidup dan yang mati, demikian sederhana.

Geladak kini dikerubungi dengan sekelompok muda, mereka para mapala. Sayup-sayup kudengar mereka akan ke Gunung Kerinci. Salah satu gunung tertinggi di negeri ini. Di puncaknya, langit hanya sejengkal jaraknya. Awan-awan berarak tepat di depan hidung kita. Bunga-bunga edelweis kerap tumbuh seakan tak pernah layu. Belum lagi ada mahluk dengan telapak kaki terbaliknya yang termasyhur. Misterinya membuat sensasi lain dalam menapaki gunung di tengah Sumatra itu.

Setelah menyantap mie seduh hangat yang kubeli dari kantin kapal, perutku sudah mulai bersahabat, keonaran yang sedari tadi siang mengancam kenyamanan tampak telah berdamai. Meski tak terlalu kenyang, setidaknya perutku kini terisi.

Bertahun-tahun sudah aku tak pulang ke rumah. Terjebak dalam carut-marut kehidupan metropolis. Bahkan terjebak dalam segala asa dan cita. Andai saja aku tahu akan seperti ini, tentu aku tak mau ke Ibukota. Dimana gemerlap kepalsuan menjadi satu-satunya impian para manusianya.


***


“Tolong, t-t-tolong lepaskan aku! Aku tak bersalah! Hah..hah..hah..” suara sang laki-laki terdengar parau. Nafasnya tersenggal seakan udara kian tipis dalam kantung hitam yang membungkus kepalanya. Sesekali isaknya terdengar dengan keadaannya yang bertelungkup duduk di atas lutut. “Tolooong..” ratapnya lagi.

--DOR!-- Tiga butir peluru akhirnya menembus dadanya. Tak terdengar lagi suara-suaranya yang menjengkelkan. Eksekusi berhasil.

Aku hanya terpekur sejenak, seperti biasa, layaknya ritual setelah melakukan tugas mulia sebagai algojo. Bukan kali ini saja para terpidana mati mengerang-ngerang minta keadilan. Beberapa diantaranya bahkan mesti dikendalikan oleh enam orang petugas. Namun ada juga yang terdiam pasrah, seakan menerima sebagai bentuk rasa penyesalan atas apa yang telah dilakukan.

Pernah suatu kali aku mendapati terpidana mati kasus pembunuhan berantai. Sesosok laki-laki gagah, sinar matanya teduh, wajahnya pun menenangkan, tak sedikitpun ada aura pembunuh dalam dirinya. Bahkan ia sempat tersenyum kepadaku suatu ketika. Andai ia tahu bahwa ia akan mati ditanganku apakah ia akan tersenyum seperti itu?

Seringkali aku merasa amat bersalah.

Keraguan kerap bercokol di benakku. Benarkah aku telah menumpas orang-orang jahat seperti cita-citaku di kala kecil dulu layaknya seorang kesatria? Seorang algojo pantaskah disebut sebagai kesatria?

Alamak, seharusnya tak usah ku terima pekerjaan ini. Tapi memang tak bisa ku sangkal, bujukan Munawir membuat diriku terhipnotis. Dalihnya dulu kepadaku agar kejahatan berkurang benar-benar berhasil. Namun sayang hidupnya harus berakhir di tanganku sendiri setahun yang lalu.

Ya, Munawir dihukum mati. Padahal ia seorang hakim.

Sebelum peluruku menembus jantungnya, ia sempat berkata,”Kawanku Pen, pernahkah kau memandangi langit akhir-akhir ini? Semakin hari bintang bertambah banyak bukan? Andai nanti jiwaku menjelma satu di antaranya.”

Meski kepalanya terbungkus kantung hitam, aku masih ingat betul setiap kata-kata orang yang menjerumuskanku ke pekerjaan tak elok ini.

O Tuhan, harus bicara apa aku pada istri dan keluarganya? Mereka sudah ku anggap sebagai keluargaku sendiri. Sedang aku membunuh tulang punggung mereka. Takdir apa lagi yang hendak kau berikan padaku?

Ah, takdir.

Mungkin itu pula yang merubahku dari seorang anak nelayan menjadi sang penumpas kejahatan. Seorang algojo. Seseorang yang tugasnya melulu menumpas penjahat yang kejahatannya luar biasa jahat.

Tak pernah terbersit sedikit pun olehku ada profesi macam begitu. Yang ku tahu hanya soal ombak dan arah angin. Itu pun setelah seumur hidup memperhatikan bagaimana Atuk dulu bekerja mencari ikan.

Padahal Atuk tak pernah mencicipi pendidikan, namun ia satu-satunya orang yang paling mahir dan dituakan dalam kampungku, kampung nelayan. Orang kampung menjulukinya “Kara” yang berarti “Karang”. Ya, Atuk memang terkenal tangguh di laut lepas, segala ombak seakan-akan jinak di hadapannya.

“Kau mesti sabar, tak usahlah kau lawan ombak dan angin itu, biarkan mereka melebur dan menyatu dengan dirimu”, ucapnya suatu ketika saat ku tanyakan apa rahasia menjadi pelaut ulung.

Aku nurut, mengangguk tanda setuju, meski dalam hati banyak sekali pertanyaan --menjurus protes-- mengenai kata-kata Atuk itu. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan dalam gulungan ombak dan terjangan angin jika satu-satunya pertahanan yang paling baik tak boleh dilakukan? Ya, bukankah pertahanan yang baik adalah melawan? Bagaimana pula kita bisa bertahan jika tak juga melawan?

Ada sebuah penyesalan ketika aku tak juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Atuk. Karena tiap kali melaut dan membiarkan ombak serta angin membawaku ke dalam arusnya, aku terjungkal, terus berulang-ulang.

Dan pada akhirnya aku tetap diam terbungkam tanpa satu pun mendapati jawaban, karena nyatanya hanya pengalaman sajalah yang berbaik hati memberitahukan segala rahasia.

--DOR!— 

Satu orang lagi telah tereksekusi. Matanya masih nyalang tak terpejam sempurna.


***


Waktu pun nyaris pagi. Garis arsir kuning mengkilat terombang-ambing di muka air merupa bentara fajar. Deru kapal usang ini belum juga menampakkan tanda lelahnya, berbanding terbalik dengan para anak buah kapal yang lusuh dan berpeluh. Bahkan sebagian yang lain seperti ikut kontes mendengkur, dimana suara-suara dengkuran saling sahut satu sama lain. Pertanda kerja keras mereka selama dalam bahtera ini tak menguap percuma.

Tampak di kejauhan di sudut lain pesisir pantai, muka dermaga yang sedari tadi berupa bintik-bintik kecil kini telah semakin jelas bentuknya. Sesak oleh kapal-kapal yang tenang di tepian dan para pelancong yang  baru saja datang berjubel berebut mencari jalan keluar. Suara tangisan bayi berpadu dengan suara-suara teriakan penumpang kapal yang tak sabar, serta suara-suara panggilan sanak-saudara yang sudah menunggu lama kedatangan salah satu kenalan mereka.

Tak ada yang menjemputku. Karena tak seorang pun yang kuberi tahu kabar kedatanganku kali ini. Meski demikian entah kenapa mataku tetap saja awas mencari-cari seseorang yang tak mungkin juga datang.

Entahlah. Mungkin aku terlalu berharap pada intuisi. Intuisi yang sedang kurasa kuharap juga dirasakan oleh istri dan kedua anakku. Dan aku percaya intuisi akan mempertemukan kita dengan cara yang ajaib seperti biasanya.

“Bang Pen! Bang Pen!” terdengar suara samar di antara suara-suara yang terlalu banyak dari atas dermaga ini. Pusat suara pun belum bisa kupetakan. “Bang Pen! Bang Pen!” ada lagi. Tak diragukan seseorang memanggil namaku.

Aku beringsut ke pusat suara dan terbelalak melihat pelaku yang memanggilku berulang-ulang ternyata Sandewi! “Bang Pen, apa kau melihat suamiku Munawir?” mulainya. “Jika ia tak juga pulang hanya kaulah orang yang tahu keberadaannya, katanya suatu hari kepadaku,” raut mukanya perlahan sendu “Benarkah itu Bang? Kau tahu?”

Seketika semuanya menjadi hening, menggerak lambat. Diriku masih mematung tanpa melakukan apa-apa. Bintang kejora yang sejak awal seperti membuntutiku, kini semakin jelas kehadirannya bersamaan dengan bintang-bintang lain yang serupa. Semilir angin menyentuh tengkukku dengan hati-hati sekali. Semilir angin yang sama dengan semilir angin di atas kapal barusan.
 


Jakarta, Mei 2014


Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar