Belakangan ini gue
akuin gue emang agak sedikit sensi. Bagaimana gak coba? Kajur di Fakultas udah
mulai underestimate & skeptis pula
sama kehidupan perkuliahan gue. Bacotnya itu lho! Pedasnya bukan main. Gue dibilang
males lah, gue di bilang gak serius lah, ahh pokoknya banyak konotasinya yang
bikin kuping gue panas. Tapi beruntung gue masih bisa nerima semua serapah
kayak gitu. Soalnya yang jadi bahaya itu sensitifitas gue terkadang kebawa jadi
emosi, walaupun jarang banget emosi gue sampe meledak-ledak. Suka gak suka
ngaruh sama mood juga pada akhirnya. Ngeliat ada yang kurang sreg atau ngerasa ada yang gak beres
pasti gue akan meracau.
Waktu gue lagi
asyik-asyiknya mikirin kuliah, tiba-tiba satu unit odong-odong lewat dengan
suara musik Chery belle-nya yang menggelegar. Anjrot! Kaget gue man! Bukan menyoal
lagunya yang pantes atau gak buat anak-anak. Tapi murni karena suaranya yang
kuenceng banget. Belum lagi tukang getuk ikutan lewat. Tahu sendiri kan gimana cirri
tukang getuk? Musik campur sari broh! Jadilah di depan rumah gue perang suara. Chery
belle disudut merah, Campur sari di sudut biru. Kapasitas suara & volume
anggap aja sama. Tapi kemudian gak ada yang menang. (Ya perang juga gak gimana
mau menang?) Karena ternyata tukang getuk cuma lewat doang. Padahal odong-odong
udah ngetem.
Ngeliat odong-odong
yang digemari sama anak-anak. Gue jadi salut sama yang buat odong-odong,
kreatornya. (selanjutnya dibaca tukang odong-odong) Kalo gue gak salah
odong-odong itu produk abad 21 kan? Tahun 90an belum ada tuh gituan. Baru 200x
(baca: duaribu sekian) lahirlah odong-odong. Meskipun ide awalnya berasal dari
permainan anak-anak yang pake koin bersifat menetap artinya diam di suatu
tempat, semisal di pusat belanja. Biasanya berbentuk hewan atau kendaraan. Dalam
salah satu adegan di serial Mr. Bean permainan ini juga ada & sudah mulai popular.
Siilahkan kalkulasikan sendiri berapa lama evolusi yang dilakukan sampai
akhirnya orang Indonesia menemukan permainan model baru (keliling) yakni
odong-odong.
Berkaca pada kejeniusan
tukang odong-odong, gue lantas mikir kenapa gak dia aja yang jadi Gubernur DKI
atau Menteri Perhubungan. (Maaf sebelumnya kalo jadi Presiden RI gak ada yang
lebih pantees dari gue) Analogi yang bisa demikian canggih semat-mata gak lepas
dari kejeniusan tukang odong-odong. Karena gak tahu dengan mata batinnya atau
gak dia bisa ngeliat peluang yang bermanfaat bagi kemaslahatan balita &
batita. Seharusnya, ingat! Seharusnya Gubernur DKI atau Menteri Perhubungan bisa
mencontoh atau langsung meng-copy sekaligus mem-paste apa yang dilakukan sang kreator
odong-odong. Lantas diterapkan ke dalam kehidupan transportasi Jakarta.
Kemudian kalo harus
menilik transportasi Jakarta, gak ada kesimpulan yang lebih patut diungkap
selain kesemerawutan & ketidakberesan. Gue pikir semua orang (dunia) udah
tahu itu. Lalu satu kasus perlu dicatat & dianjurkan untuk digarisbawahi
menyangkut transportasi Jakarta, yakni pemunahan atau pemberangusan bus tingkat
(bahasa kerennya penghapusan). Bus yang terdiri dari 2 lantai ini pada periode
90an masih menjadi primadona sebagai salah satu angkutan masal dalam kota. Gak tanggung-tanggung
ratusan penumpang siap angkut sekali jalan. Bus yang sebagian besar diselimuti
warna biru tua itu sampai sekarang ternyata masih menjadi angkutan kota favorit
gue. Betapa gue saat itu sangat mengidolakan bus tingkat bahkan sampai
sekarang. Apalagi saat berada di lantai 2, sungguh amat menyenangkan! Sebuah
perjalanan seakan memiliki arti tersendiri untuk diresapi. Mungkin perasaan
yang sama dengan anak-anak zaman sekarang waktu naik odong-odong.
Lalu menurut berbagai
sumber yang valid atau gak, penghapusan bus tingkat dari mode transportasi umum
bukan tanpa alasan. Pertama, menurut pihak DAMRI suku cadang harus diimport
dari luar negeri & harganya pun mahal. Tapi lucunya sekarang bukan cuma suku
cadang yang ngimport, pesawat aja kita ngimport dari luar! Alasan-alasan lain
juga masih berdasar kendala teknis seperti transmisi otomatis, perpindahan
gigi, dll. Kalo masalah-masalah sepele kayak gitu bisa menjadi sebuah
pergerakkan buat menghapus keberadaan bus tingkat yang notabene punya
kualifikasi untuk seharusnya kemudian bisa menjadi sebuah sarana transportasi
masal pada saat itu. Maka hal demikain harus kembali dipertanyakan. Dibanding dengan
realita & fakta lapangan sekarang angkutan-angkutan umum, bus kota khusunya
jauh lebih busuk kondisinya dari bus tingkat pada masa keemasannya dulu. Atau pernahkan
menghitung pertambahan berapa banyak merek taksi yang berkeliaran di Jakarta
setelah periode keemasan bus tingkat? Apakah merek-merek taksi tersebut semakin
bertambah menyoal kualitasnya?
Jujur aja blak-blakan
gue bilang, bahwa gue curiga sama DISHUB, Menteri Perhubungan & Gubernur
DKI Jakarta. Karena dia-dia oranglah yang paling bertanggungjawab dengan tata
kelola transportasi Jakarta. Rasa curiga itu bikin kesensitifan gue meningkat 2x
lipat. Ngehe! Bawaannya marah-marah aja. Tapi untung disaat gue lagi panas kayak
gini, tukang odomg-odong lewat dengan lagunya kali ini Anang & Ashanty “Jodohku”.
Wooooossaaaahhhh!!!!! Gue narik napas dalam-dalam. Emang gak ada yang lebih menggembirakan dari
tukang odong-odong
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar