The Truth Seeker Media

Rabu, 06 Juni 2012

Odong-odong, Bus Tingkat dan Sensitifitas Jakarta


Belakangan ini gue akuin gue emang agak sedikit sensi. Bagaimana gak coba? Kajur di Fakultas udah mulai underestimate & skeptis pula sama kehidupan perkuliahan gue. Bacotnya itu lho! Pedasnya bukan main. Gue dibilang males lah, gue di bilang gak serius lah, ahh pokoknya banyak konotasinya yang bikin kuping gue panas. Tapi beruntung gue masih bisa nerima semua serapah kayak gitu. Soalnya yang jadi bahaya itu sensitifitas gue terkadang kebawa jadi emosi, walaupun jarang banget emosi gue sampe meledak-ledak. Suka gak suka ngaruh sama mood  juga pada akhirnya. Ngeliat ada yang kurang sreg atau ngerasa ada yang gak beres pasti gue akan meracau.

Waktu gue lagi asyik-asyiknya mikirin kuliah, tiba-tiba satu unit odong-odong lewat dengan suara musik Chery belle-nya yang menggelegar. Anjrot! Kaget gue man! Bukan menyoal lagunya yang pantes atau gak buat anak-anak. Tapi murni karena suaranya yang kuenceng banget. Belum lagi tukang getuk ikutan lewat. Tahu sendiri kan gimana cirri tukang getuk? Musik campur sari broh! Jadilah di depan rumah gue perang suara. Chery belle disudut merah, Campur sari di sudut biru. Kapasitas suara & volume anggap aja sama. Tapi kemudian gak ada yang menang. (Ya perang juga gak gimana mau menang?) Karena ternyata tukang getuk cuma lewat doang. Padahal odong-odong udah ngetem.

Ngeliat odong-odong yang digemari sama anak-anak. Gue jadi salut sama yang buat odong-odong, kreatornya. (selanjutnya dibaca tukang odong-odong) Kalo gue gak salah odong-odong itu produk abad 21 kan? Tahun 90an belum ada tuh gituan. Baru 200x (baca: duaribu sekian) lahirlah odong-odong. Meskipun ide awalnya berasal dari permainan anak-anak yang pake koin bersifat menetap artinya diam di suatu tempat, semisal di pusat belanja. Biasanya berbentuk hewan atau kendaraan. Dalam salah satu adegan di serial Mr. Bean permainan ini juga ada & sudah mulai popular. Siilahkan kalkulasikan sendiri berapa lama evolusi yang dilakukan sampai akhirnya orang Indonesia menemukan permainan model baru (keliling) yakni odong-odong.

Berkaca pada kejeniusan tukang odong-odong, gue lantas mikir kenapa gak dia aja yang jadi Gubernur DKI atau Menteri Perhubungan. (Maaf sebelumnya kalo jadi Presiden RI gak ada yang lebih pantees dari gue) Analogi yang bisa demikian canggih semat-mata gak lepas dari kejeniusan tukang odong-odong. Karena gak tahu dengan mata batinnya atau gak dia bisa ngeliat peluang yang bermanfaat bagi kemaslahatan balita & batita. Seharusnya, ingat! Seharusnya Gubernur DKI atau Menteri Perhubungan bisa mencontoh atau langsung meng-copy sekaligus mem-paste apa yang dilakukan sang kreator odong-odong. Lantas diterapkan ke dalam kehidupan transportasi Jakarta.

Kemudian kalo harus menilik transportasi Jakarta, gak ada kesimpulan yang lebih patut diungkap selain kesemerawutan & ketidakberesan. Gue pikir semua orang (dunia) udah tahu itu. Lalu satu kasus perlu dicatat & dianjurkan untuk digarisbawahi menyangkut transportasi Jakarta, yakni pemunahan atau pemberangusan bus tingkat (bahasa kerennya penghapusan). Bus yang terdiri dari 2 lantai ini pada periode 90an masih menjadi primadona sebagai salah satu angkutan masal dalam kota. Gak tanggung-tanggung ratusan penumpang siap angkut sekali jalan. Bus yang sebagian besar diselimuti warna biru tua itu sampai sekarang ternyata masih menjadi angkutan kota favorit gue. Betapa gue saat itu sangat mengidolakan bus tingkat bahkan sampai sekarang. Apalagi saat berada di lantai 2, sungguh amat menyenangkan! Sebuah perjalanan seakan memiliki arti tersendiri untuk diresapi. Mungkin perasaan yang sama dengan anak-anak zaman sekarang waktu naik odong-odong.

Lalu menurut berbagai sumber yang valid atau gak, penghapusan bus tingkat dari mode transportasi umum bukan tanpa alasan. Pertama, menurut pihak DAMRI suku cadang harus diimport dari luar negeri & harganya pun mahal. Tapi lucunya sekarang bukan cuma suku cadang yang ngimport, pesawat aja kita ngimport dari luar! Alasan-alasan lain juga masih berdasar kendala teknis seperti transmisi otomatis, perpindahan gigi, dll. Kalo masalah-masalah sepele kayak gitu bisa menjadi sebuah pergerakkan buat menghapus keberadaan bus tingkat yang notabene punya kualifikasi untuk seharusnya kemudian bisa menjadi sebuah sarana transportasi masal pada saat itu. Maka hal demikain harus kembali dipertanyakan. Dibanding dengan realita & fakta lapangan sekarang angkutan-angkutan umum, bus kota khusunya jauh lebih busuk kondisinya dari bus tingkat pada masa keemasannya dulu. Atau pernahkan menghitung pertambahan berapa banyak merek taksi yang berkeliaran di Jakarta setelah periode keemasan bus tingkat? Apakah merek-merek taksi tersebut semakin bertambah menyoal kualitasnya?

Jujur aja blak-blakan gue bilang, bahwa gue curiga sama DISHUB, Menteri Perhubungan & Gubernur DKI Jakarta. Karena dia-dia oranglah yang paling bertanggungjawab dengan tata kelola transportasi Jakarta. Rasa curiga itu bikin kesensitifan gue meningkat 2x lipat. Ngehe! Bawaannya marah-marah aja. Tapi untung disaat gue lagi panas kayak gini, tukang odomg-odong lewat dengan lagunya kali ini Anang & Ashanty “Jodohku”. Wooooossaaaahhhh!!!!! Gue narik napas dalam-dalam.  Emang gak ada yang lebih menggembirakan dari tukang odong-odong
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar