"Aku bayangkan bahwa saat ini kau merasa seperti Alice yang jatuh ke dalam
lubang kelinci?" ujar Morpheus.
"Kira-kira begitu," jawab Neo.
"Aku bisa melihat di matamu. Wajahmu seperti
orang yang menerima apa yang ia lihat
karena ia berharap untuk terjaga. Ironisnya, ini tak jauh dari realitas. Kau
percaya pada takdir Neo?" tanya Morpheus.
karena ia berharap untuk terjaga. Ironisnya, ini tak jauh dari realitas. Kau
percaya pada takdir Neo?" tanya Morpheus.
"Tidak," tandas Neo.
"Kenapa tidak?"
Morpheus balik bertanya.
"Sebab aku tak suka jika aku tak bisa kendalikan
hidupku," tegas Neo.
"Aku paham sekali maksudmu. Aku akan jelaskan
kenapa kau ada di sini. Kau ada di sini karena kau tahu sesuatu. Kau tak bisa
menjelaskan apa yang kau ketahui itu. Tapi kau merasakannya. Kau merasakannya
selama hidup, ada yang tak beres dengan dunia ini. Kau tak tahu apa yang
salah tapi itu ada, seperti sesuatu dalam benakmu yang membuatmu gila. Perasaan
itulah yang yang membawamu kepadaku. Kau paham ucapanku ini?" pancing
Morpheus.
"Matrix?" tebak Neo.
"Kau mau tahu apa itu? Matrix ada di mana-mana.
Ia ada di sekeliling kita. Bahkan saat ini di ruangan ini. Kau bisa melihatnya
jika kau melihat ke jendelamu atau jika kau menyalakan televisimu. Kau bisa
merasakannya saat kau pergi bekerja, saat kau pergi ke gereja, saat kau membayar
pajak. Itu adalah dunia yang disajikan di depan matamu untuk menutupi
realitas", jelas Morpheus.
"Realitas apa?" tanya Neo.
Morpheus segera menjawab, "Bahwa kau adalah seorang
budak. Seperti yang lain, kau lahir dalam keadaan terkekang, lahir dalam
penjara yang tak bisa kau cium, rasakan atau sentuh. Sebuah penjara bagi
pikiranmu. Sayangnya, tak ada yang bisa ceritakan apa itu Matrix. Kau harus
melihatnya sendiri. Inilah kesempatan terakhirmu. Setelah ini kau tak bisa
kembali lagi. Kau telan pil biru, ceritanya berakhir, kau bangun di ranjangmu
dan percaya apa pun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di
Negeri Ajaib dan aku tunjukkan sejauh mana lubang kelincinya. Ingat, aku hanya
menawarkan realitas. Tak lebih dari itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar