iswara |
Pada sebuah malam di rumah sakit yang antik, lahirlah seorang anak manusia setelah sebelumnya ia dan sang ibu berkutat di garis pandir kehidupan dan kematian pada medan pertempuran yang sesungguhnya. Saat itu, ruang persalinan bukan penuh oleh perawat, sanak atau kerabat yang memang telah hadir semenjak bukaan pertama, melainkan oleh para malaikat. Kehadiran mereka di sini hanya ingin memastikan siapa nama anak manusia ini nanti. Dan mereka telah juga menunggu sembilan bukan lamanya, saat pertama kali ruh cerah cemerlang tanpa nama itu baru diantarkan ke tempat peraduan manusia, rahim.
Ketika anak itu telah mempunyai nama, nama itulah yang akan dikenakan selamanya. Nama itu menjadi sebuah doa untuk orang yang menggunakannya. Nama itu senantiasa hadir, senantiasa melindungi serta menjadi penghubung kepada orang tuanya. Nama itu yang akan menjelajahi kehidupan sekaligus menjadi perisai secara bersamaan. Singkat kata, nama itu akan menjadi sejarah manusia.[...]
Bayi itu terus menerus mengeluarkan tangis dan sesekali berhenti jika kelelahan dalam inkubator yang menciptakan kehangatan. Kali ini, tertera sebuah nama dalam ranjangnya. Sang ayah memperhatikan dengan haru dan bangga. Ingin sekali ia mendekapnya dengan mesra serta mengajari banyak hal, tapi bayi itu tentu belum siap total. Lantas ia kecup kening istrinya yang tertidur.
"Terima kasih istriku, kau telah membawa kehidupan. Kini kau telah menjadi wanita sempurna. Kau telah memberiku keturunan..", ucapnya pelan.
Waktu senja.
Anak itu telah beranjak remaja. Di dalam kamarnya ia hanya bermain PES, Counter Strike atau menonton film seorang diri. Ia tak punya teman. Atau, lebih tepatnya, tak ada yang mau berteman dengannya. Bahkan tetangganya pun demikian. Mereka menganggapnya sebagai anak yang aneh, demikian juga dengan keluarganya. Keluarga ini dipandang sebagai keluarga bermasalah. Entah atas dasar apa. Ibunya sering menyuruhnya agar terus bersabar, begitupun ayahnya. Namun ia tak habis pikir kenapa demikian. Seolah kesabaran adalah senjata satu-satunya dalam sebuah peperangan.
Apa karena nama?
Pernah suatu ketika ia baru kenal dengan seseorang. Orang itu amat menyenangkan dan bersahabat. Namun ketika ia memberitahukan namanya, sejurus kemudian orang tersebut beringsut kabur, lalu menghilang saat itu juga. Seakan melihat sesuatu, terbelalak.
"Apa benar karena namaku?", bisiknya dalam hati.[...]
Anak itu kini telah dewasa. Mampu mempersunting kekasih hatinya yang amat ia cinta. Wanita yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, orang-orang yang ia kenal, orang-orang yang menganggap dirinya aneh dan penuh masalah. Yang memandangnya dengan merendahkan dan menjatuhkan. Orang-orang yang tahu namanya namun tak juga mengenal dirinya.
Pada sebuah malam yang temaram suami istri ini sempat berdialog dari hati ke hati.
"Kenapa kau mau menikah denganku Soraya istriku?", tanyanya lembut.
"Tentu karena aku mencintaimu, suamiku", ujar istrinya.
"Kau tidak risih dan takut dengan namaku seperti orang-orang kebanyakan??", tanyanya kembali, kini lebih hati-hati.
"untuk apa? Aku mencintaimu bukan karena namamu namun karena hatimu sayangku.. Hatimu lebih lembut dari sutera. Sikapmu terang bercahaya dan sifatmu menentramkan hatiku...", setelah itu mereka bercumbu. [...]
Pada suatu siang yang sompral. Sang anak melewati sebuah pemakaman, barisan nisan berjejer dengan baik dan tertib. satu persatu ia perhatikan nama-nama di nisan itu. Nama-nama yang bagus, malah tak jarang pula ia temukan nama-nama yang menggugah indah. Nama yang sarat akan doa serta harapan kedua orang tuanya. Nama yang sengaja diberikan agar si pengguna nama menyerap energi-enegrgi positif yang terdapat dalam sebuah nama. Sebuah nama yang magis nan ajaib.
Lama ia perhatikan nama-nama di jejeran nisan itu, ada yang sama satu dengan yang lain, ada pula yang sekadar mirip, lalu ada juga yang patronimik. Tapi dari sekian banyak nama yang ia saksikan, tak satu pun nama yang sama dengannya. Mungkinkah nama ini memang sebuah nama yang buruk serta terkutuk untuk diucapkan dan dikenakan. Mungkinkah nama ini menjadi sebuah dosa bagi yang mendengarnya.
Masih tersimpan rapi dalam memorinya, bagaimana dulu sang ayah menjelaskan kenapa ia memberikan nama tersebut untuknya. Mayoritas orang kebanyakan berharap energi postif sebuah nama dapat berimbas kepada manusia penggunanya, atau agar orang yang mengenakan nama tersebut bisa sejalan, seirama, serta sesuai dengan nama-nama yang di sandang. Maka tidak demikian dengan sang ayah, ia memberikan nama itu kepadanya dengan harapan agar sang anak bisa lebih baik bahkan bisa membalik makna hakiki dari nama yang ia dapatkan. Sang ayah ingin anaknya bisa menguasai nama yang diberikan padanya, bukan malah sebuah nama yang menguasai dirinya. Bukan.
Atas dasar itu ia selalu bertindak terbalik dengan namanya, bukan karena ekspektasi tapi lebih karena kemauannya sendiri, intuisi, dan pembawaan pribadinya yang asri. Hal-hal kecil dan detail sekalipun yang jarang orang lain lakukan, biasa ia lakukan. Sikap, sifat dan hatinya benar-benar tidak sesuai dengan namanya. Nama yang diberikan oleh ayahnya. Kelakuannya persis seperti dimensi dari cerita seorang pelacur dan anjing kudisan dalam sebuah riwayat. Mungkin karena hal itulah istrinya begitu cinta bahkan semakin cinta setiap harinya, serta tak ambil pusing dengan nama suaminya.[...]
Kemudian, pada akhirnya, lahirlah buah cinta mereka berdua yakni sepasang anak manusia yang cantik jelita, sepasang anak kembar.
Namun bersamaan dengan itu, sang suami tertimpa kecelakaan dahsyat ketika menuju rumah sakit . Sang suami tak sadarkan diri dan langsung diboyong ke UGD rumah sakit terdekat. Terdapat pendarahan dalam otaknya. Ia benar-benar semaput, koma dan mungkin sebentar lagi maut menjemput, mati.
Sang istri belum juga siuman setelah melahirkan sepasang kehidupan. Tubuhnya masih lemah. Sedangkan sang suami belum juga menampakkan wajahnya. Mungkin saja itu yang menyebabkannya betah berlama-lama tak sadarkan diri, ia sungguh mengaharapkan kehadiran suami tercinta di sampingnya. Sepasang anak mereka tertidur, anteng.
Keadaan sang suami semakin parah. Ia melayang entah kemana, lalu seketika berhenti di tempat yang senantiasa gelap nircahaya...
"HAI MANUSIA! NAMAMU BENAR-BENAR FAMILIAR DI SINI, APA KAU TAHU??
RIBUAN MANUSIA MEMPUNYAI NAMA YANG SAMA DENGANMU DAN YANG TERAKHIR
DATANG KE SINI IALAH BAPAKMU. KAU MEMILIKI MATANYA YANG TAJAM.
KALIAN MANUSIA! BENAR-BENAR MENGGELIKAN, MENGGUNAKAN NAMA YANG KEKAL
TERKUTUK MENJADI SEBUAH HARAPAN PICISAN, MENJADIKANNYA SEBAGAI DOA YANG
TAK TERTERA DAN TERUCAP!!".
Tiba-tiba suara menggelegar itu sirna tak tahu kemana. [...]
Sepuluh tahun kemudian, keluarga ini berlibur ke Nagashima. Hari-hari yang menyenangkan bagi keluarga sederhana ini. Akan tetapi tiba-tiba sang istri melontarkan pertanyaan kepada suaminya,
"Suamiku, kenapa kau memberikan nama yang sama kepada anak kembar kita? Apakah tidak menjadi masalah untuk mereka kelak?".
Suaminya sejurus kemudian menjawab,
"Istriku, nama yang ku berikan itu adalah nama dari garis keturunan leluhurku. Bapak dari bapak-bapakku menggunakan nama yang sama. Sejatinya nama itu adalah sebuah doa, doa agar kami bisa menguasai nama itu bukan malah nama itu yang menguasai kami. Ada rahasia besar di balik itu semua. Dan kau teruslah berdoa agar kami mampu menguasai nama itu, agar hati, sikap, dan sifat kami jauh berbalik dari nama yang kami kenakan... Iblis Jahannam...".