Aduar
berkata, terdiam.
KELAHIRAN
Perlahan mata Aduar
mulai terbit, pemicunya kicau burung-burung gereja di ranting sukun. Angin
malam yang cukup lama berkeliaran kini hanya mewariskan bulir-bulir embun saja.
Tampak tak siap menerima terpaan binar-binar mentari.
Dan, bisa ditebak. Sang
embun langsung mati. Sebagian yang lain nekat loncat ke dalam tanah hitam yang
menjijikan. Terlampau takut akan kepanasan.
Gemuruh dedaunan pun kelewat
berisik, hingga belalang dan kupu-kupu mendadak jumpalitan kaget dengan
perpindahan malam ke pagi yang begitu cepatnya.
Pagi ini tak ubah
sebelumnya. Nyaris sama dengan hari lainnya yang begitu-begitu saja.
Dan rencananya, pada
senin yang silau ini Aduar hendak sekali lagi menaklukan dunia. Terlalu lama
sudah dunia bertekuk-lutut di hadapannya. Meski tak jelas siapa tuan yang
sesungguhnya. Dirinya? Atau justru sang dunia?
Ah, Aduar tak pernah
ambil pusing. Buktinya ia hidup! Pertanda dunia masih ada di bawah kakinya. Ya,
baginya dunia dan segala isinya kini hanya nurut pada dirinya semata. Lihat
bagaimana udara takluk semata untuk terus ia hirupi tanpa batas. Bagaimana air
amat pasrah masuk ke dalam kerongkongannya. Tumbuhan dan hewan-hewan yang mau
saja ia bodohi untuk menjadi kepentingannya. Tanah dan segala jenis sumber daya
alam yang ia rantai bak anjing penjaga. Bahkan sesama manusia pun banyak yang
tak berkutik di hadapannya. Karena dirinya adalah seorang raja. Raja bagi semua
manusia yang ‘cuih!’ tak berharga.
“Minggir kau monyet!”
seorang pegawai kantoran dengan tergesa-gesa mendepak Aduar yang masih
menikmati pagi bersandar di bawah lampu merah simpang ibukota dengan khayalan
besarnya. “Dasar orang gila!” lanjut pegawai itu dengan masih tersungut-sungut.
Aduar hanya tertawa bahagia melihat sang pegawai dikejar-kejar oleh batas dan
waktu.
Setelah perutnya terisi
dengan beraneka makanan prasmanan dari tempat sampah rumah makan. Ia kini
menatap sebuah ruko yang masih berlapis tralis besi. Tempat itu adalah toko
penjual piringan hitam. Mejadi sebuah rutinitas harian bagi Aduar untuk
menikmati lantunan musik-musik klasik yang biasa disetel oleh sang penjaga
toko. Ahong namanya. Peranakan Cina dengan hati yang baik. Malah terlalu baik. Seringkali ia
mempersilahkan Aduar untuk masuk, tak jarang pula ia siap berbagi makanan serta
kamar mandinya untuk Aduar. Tapi Aduar menolak. Ia hanya tak mau bergantung
dengan orang lain.
“Sudah tiga hari ini
kau mainkan Handel, Pak Ahong. Apakah kau sedang mencari-cari arti romantisme?”
sergah Aduar saat toko itu baru saja di buka. “Memang romantisme adalah
misteri. Tak semurah definisi puisi penyair-penyair gombal atau film-film
standar rumah produksi. Kau hebat!” lanjut Aduar agak meluap-luap.
“Kau keliru. Aku sedang
tidak dilanda romantika. Hanya ingin mendengarnya saja, tak lebih. Aku
bersumpah,” jawab Ahong dengan senyum menjuntai dan mata sipitnya tertutup kian
rapat.
Lagi-lagi Aduar hanya
tertawa bahagia. Dalam hati ia berkata, “Aku tak pernah butuh sumpahmu!” lantas
ia mengunci mulutnya rapat-rapat takut lalat-lalat ekonomi mati tak mengerti
karena ucapannya yang maut. Tapi, pikirnya, kenapa aku harus takut? Soal mereka
tak mengerti itu bukan urusanku. Kalau pun mereka mati itu juga tak jadi soal
bagiku.
Dengan perawakan
kunyel. Aduar mulai perjalanannya. Bukan. Baginya ini bukan sebuah perjalanan
biasa, tapi ini adalah ziarah. Dan ia adalah seorang peziarah. Tujuannya adalah
hidupnya sendiri.
PEZIARAH
Setelah terbangun Aduar
lantas mengutuk-ngutuki para burung gereja yang demikian lancang merampas
tidurnya. Belum juga beranjak, sisa hujan dan angin semalam kini menetesi
sebagian badannya. “Demikian sempurna pagi hari ini,” lirihnya dongkol.
Padahal semalam ia baru
saja mengalami peristiwa yang menyenangkan. Di depan sebuah gedung, sekelompok
orang ribut dengan sekelompok yang lain. Salah satu kelompok dengan pakaian
serba seragam dan senapan laras panjang di genggaman. Kelompok yang lain dengan
atribut warna-warni dan spanduk-spanduk bertuliskan keluhan. Pakaian mereka tak
seragam meski di balik pakaian merekalah seragam sesungguhnya ia kenakan.
Ternyata sebuah
kerusuhan antara mahasiswa dan aparat kepemerintahan, tepat di depan gedung
parlemen. Letusan-letusan molotov hadir silih berganti. Moncong-moncong magasin
tak habisnya memuntahkan peluru.
Aduar tertawa bahagia.
Tak pernah sebelumnya ia menikmati pergelaran yang luar biasa epik. Di samping
pertarungan antara kebodohan dengan kekuatan. Entah siapa yang bodoh, siapa
yang kuat. Satu-satunya tontonan yang paling menakjubkan bagi Aduar ialah pada
medio 98 lalu. Selain itu hanya sebuah percikan bukan lagi ledakan.
Mahasiswa itu
keterlaluan bebal! Katanya. Perlawanan mereka itu tak ada artinya. Kalaupun
berarti paling hanya beberapa hari menjadi headline
berita-berita di surat kabar dan televisi. Lantas setelah itu kehidupan
berjalan seperti biasa lagi. Anak bau kencur bicara perubahan. Cuih!
Persis sama dengan apa
yang para pejabat pemerintah lakukan. Bicara segala pernak-pernik perubahan
dengan dihiasi kata-kata menawan. Tapi apa? Sekali korup selamanya korup. Dan
orang-orang macam itu keterlaluan tak tahu malu. Mungkin sudah putus urat
malunya, atau barangkali tak punya lagi kemaluan.
Selepas bosan dengan
tontonan yang monoton. Aduar beranjak pergi lagi.
Tatapan mata-mata sinis
selalu menghiasi derap Aduar selangkah demi selangkah. Tak jarang pula dengan
bumbu-bumbu intimidasi. Ah, betapa Aduar bahagia sekali diperlakukan sebegitu
istimewa. Baginya ia layak mendapatkan penghargaan seperti itu. Pertanda bahwa
ia satu-satunya sang pembeda dari sekian banyak kasta. Kasta tertinggi, kasta
orang hidup. Selebihnya masuk ke dalam kasta orang mati. Para mayat.
Banyak para ahli
mengatakan kasta di dunia ini dibagi dengan istilah-istilah yang menggelikan.
Kasta priyayi dan kasta kawula. Atau kasta borjuis dengan kasta proletariat.
Kasta si ningrat dengan kasta si budak. Dan yang paling mudah diingat tentu
kasta untuk para orang kaya dan orang miskin. Keterlaluan goblok!
Sebenar-benarnya kasta adalah si hidup dan si mayit. “Hahahaha!” Aduar tak bisa
lagi menahan gelaknya memikirkan para mayat masih saja menatapnya dengan
merendahkan. “Hahahaha!”
Namun dalam sekejap,
huru-hara lebih dahsyat pecah di depan kedua mata Aduar. Kali ini antara pemuda
berpakaian serba loreng hitam-oranye dengan sekelompok orang berlogat kasar yang
katanya putra daerah Ibukota. Peperangan kali ini murni tanpa sebab yang jelas,
meski bau tengik mulut-mulut mereka menjadi semacam penjelasan yang lain.
Mereka mabuk. Emosi mereka senewen layaknya seorang gadis datang bulan. Melihat
itu Aduar girang bukan kepalang. Satu lagi spectacle
yang sedikit bisa menghibur dirinya dari suasana serba kaku dan palsu. Betapa
ia terkesima dengan umpatan serta beringasnya orang-orang dalam medan
pertempuran. Tak ragu mereka saling tikam dan hunus berbagai senjata tajam.
Sungguh artistik.
Dalam ekstase yang
seolah tak berkesudahan, mendadak sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya.
Langkah yang sedari tadi plong seketika membatu. Acaranya pun terganggu. Empat
orang berpakaian serba hitam tanpa aba-aba menyergap Aduar yang telanjang. “Mau
apa kalian?” berontak Aduar. “Sudah diam! Masih untung ada yang mau peduli sama
sampah macam kau!” bentak salah seorang. “Brengsek! Kalian para mayat tak
pantas bersanding dengan diriku! Kalian para mayat tak patut memeperlakukan satu-satuya
orang yang hidup di dunia ini seperti ini! Kalian para mayat sok mengerti hidup
padahal kalian sendiri sudah lama mati! Kalian para mayat….!” Aduar terus saja
mengerang bak singa kalah pertempuran. Sepanjang perjalanan orang-orang asing
itu menangkap beberapa orang lagi sebelum sampai di sebuah bangunan lapuk.
Bangunan itu adalah
sebuah panti. Dipenuhi dengan orang-orang yang mengidap gangguan kejiwaan.
Mereka dalam proses rehabilitasi.
Melihat hal itu Aduar
semakin meronta-ronta. “Bajingan! Kau pikir aku ini gila? Aku ini satu-satunya
orang hidup di dunia ini dasar kalian para mayat! Kalian tak lebih dari
bangkai! Lepaskan aku sekarang!” Sebuah obat bius pun terpaksa membungkam
dirinya untuk beberapa saat.
Pada sebuah alam bawah
sadar. Aduar kini bediri di atas haluan. Satu-satunya haluan yang ia temukan
sejauh sudut mata memandang. Tak ada apa-apa selain maha latar gelap nan serba
hitam. Dari atas tempat ia berdiri, terdapat beberapa persimpangan, persis arah
delapan penjuru mata angin. Namun lambat laun segala penampakan itu makin lama
semakin menghilang. Dan mata Aduar terbuka dengan sempurna. Aduar telah sadar.
TERSIBAK!
Setelah berjam,
bermalam, bahkan berhari-hari di bangsal busuk ini. Aduar tetap tak terima
dengan keadaan. Ia belum juga berdamai, dan tak akan pernah berdamai dengan para
mayat yang tak tahu diri-tak tahu diuntung itu. Kebahagian yang ia bangun kini
harus tertawan oleh para najis yang selama ini kerap ia kutuk. Kebahagian
sejati. Tanpa ada andil serta pretensi apa pun. Bukan kebahagian yang melulu
diukur dengan materi serta popularitas seperti kebahagian para mayat. Sungguh
tak bisa diterima. Kebahagian miliknya kini terancam. Dan parahnya lagi, mereka
anggap Aduar gila dengan konsekuensi segera direhabilitasi. Sebuah lelucon yang
benar-benar tidak lucu.
“Andai saja tangan
serta kakiku tak dipasung sedemikian hina mungkin aku telah menemukan jalan
keluar dari tempat ini,” bisiknya dalam hati.
Dari balik pintu
tiba-tiba seorang pria paruh baya datang mendekat. Seorang dokter. Dokter yang
sama dengan hari-hari lalu. Sejurus, ia keluarkan stetoskop dan sebilah jarum
suntik. Aduar pun lagi-lagi kalap. Segala caci maki begitu deras keluar dari
mulutnya. Tapi tetap ia tak bisa berbuat apa-apa. Belenggu pada seluruh
persendiannya terpasang begitu kencang. Seinci pun ia tak bisa bergerak.
“Bangsat! Mau apa lagi kau setan alas! Berani-beraninya kau perlakukan seorang
raja seperti ini! Aku ini rajamu! Cepat kau sujud di hadapanku! Minta ampun
secepatnya!”
Sang dokter tak
bergeming. Selepas pemeriksaan dan pengambilan darah rutin, ia langsung
beringsut tanpa ekspresi apa pun. Sedangkan Aduar masih saja dengan rentetan
serapahnya.
Lama sudah Aduar tak
pernah semarah ini. Mungkinkah akibat sikap lunaknya belakangan ini kepada
dunia? Ataukah sikap permisifnya kepada orang-orang yang semestinya ia
musnahkan? Semesta kemungkinan berkecamuk dalam benak Aduar. “Harusnya aku
bantai mereka semua! Agar damai,” geramnya.
Lalu sang dokter muncul
lagi. Kali ini dengan beberapa orang di belakangnya. Sesuatu yang buruk tampak
akan terjadi. Pikir Aduar.
“Kalian para bangkai
busuk lekas lepaskan aku! Aku ini pewaris dunia. Satu-satunya yang hidup.
Sungguh lancang apa yang kalian lakukan!” terjang Aduar yang tak juga
ditanggapi. Mereka terus saja bergerak memindahkan Aduar. Tak lama mereka telah
berada dalam sebuah mobil. Mirip mobil jenazah, hanya sedikit lebih buruk.
Dalam perjalanan Aduar tak henti-hentinya menyumpah serapah. Wajahnya memerah.
Urat-urat di lehernya pun semakin terlihat kentara.
Kurang lebih tiga jam
perjalanan, lama waktu yang ditempuh sebelum mobil angker ini benar-benar
berhenti. Tepat di sebuah antah-berantah. Aduar yang sempat tertidur kini
terbangun. Burung-burung gereja terus saja mengeluarkan suara-suara khasnya
sambil terus bertengger dari satu dahan ke dahan lain. Belantara pepohonan
begitu rapatnya hingga tak menyisakan apapun.
Mereka terus saja
bergerak seperti mencari titik tertentu.
“Hei! Lepaskan aku
bajingan! Sebelum kau menyesal! Aduar mulai menyembur. Mereka tetap tak minat, sambil
terus menyisir sudut-sudut rimba. “Apa yang kalian lakukan? Aku ini manusia
kasta tertinggi! Kalian orang-orang mati harus segera melepaskan aku!” seolah
telah khatam dengan kata-kata Aduar. Mereka tetap dingin.
“Ini dia!” luap sang
dokter sambil menunjuk sebongkah batu hitam kusam persegi panjang. Aduar yang
sedari tadi membanyol tak karuan mendadak terdiam saat melihat batu hitam
ganjil itu. Semakin terhenyak setelah tahu bahwa itu adalah batu nisan sebuah
kuburan lama atas nama dirinya.