The Truth Seeker Media

Rabu, 09 Januari 2013

Berserba Anonim



Commando Steve


Kala itu malam di Bontang, mungkin malam yang ke-48 semenjak bersisepi dengan huru-hara antara pikiran dan perasaan. Terlalu membanci dan manusiawi. Namun apa mau dikata? Ya, sebegitu itulah. Niat awal adalah membunuh nelangsa dengan diam. Lalu akhirnya pergi ke tanah seberang, jauh dari polusi udara serta polusi manusia praksis dan pragmatis Ibu Kota. Serta jauh juga darimu Mayku sayang. Namun, Dan ternyata,  hal demikian terlalu indah untuk segera dihabiskan. Terlalu menyenangkan, meski kebahagiaan didapat menyusul belakangan, wahai Zahraku! Sungguh, kesendirian sungguh indah jika kita telah terlalu begah dengan kesemerawutan yang benar-benar mengendalikan. Jangan sampai keruwetan itu mengendalikan! Jangan pernah!
Lalu entah dari mana datangnya ketika keintiman dengan muram mencapai puncak keromantisannya, tiba-tiba telepon genggam yang tidak pernah belajar itu bisa kedatangan tamu tak diundang berupa dernyit pertanda pesan singkat yang bisa-bisanya masuk ke dalam kotak simbol hegemoni silaturahmi itu secara gaib. Tanpa nama, cuma nomer yang tak familiar +6283863008318,  serta beberapa bait syair. Syair yang tak kan pernah bisa dimengerti oleh seseorang yang tak kan pernah dikenal.


Jangan angggap diriku kalah, karena aku mengalah..
Bukan berarti aku kalah..
Di balik kelembutanku tersimpan beribu duri..
Kapan saja bisa menyakiti..
Jika ada yang mengusik dini hari..
Karena akulah “SANG MAWAR BERDURI”..
Jika kau tak bisa menghargai..
Maka kau akan tahu, betapa jahatnya diriku ini..
Sang mawar takkan melukai..
Jika kau perlakukan dengan hati..
Tapi jika kau perlakukan dengan seenaknya hati..
Maka kau akan terluka oleh duri yang melindungi..

04-Januari-13  19:21


Lalu apa? Entah! Kata-kata secure tersebut tak mungkin firman Tuhan Yang Maha Tuhan. Tak mungkin pula sabda-sabda suci Sang Manusia Sempurna, lantas apa? Bergelumut pertanyaan-pertanyaan sumbang menari dalam kepala yang tak jelas apa isinya. Semua terhijab. Tertutup kabut yang begitu lebat seperti jembut yang menutupi kantong amunisi penciptaan manusia. Harus dinilai bagaimana? Seorang Putu Wijaya atau Seno Gumira Ajidarma pun tak pantas rasanya membedah huruf-huruf mati itu menjadi sebuah kontes pembenaran dan teori leksikal argumentatif. Apalagi jika harus menilai. Agaknya tulisan yang dipandang jalang itu mempunyai hidupnya sendiri. Tanpa apa-apa.
Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar