Commando Steve |
Kala
itu malam di Bontang, mungkin malam yang ke-48 semenjak bersisepi dengan
huru-hara antara pikiran dan perasaan. Terlalu membanci dan manusiawi. Namun apa
mau dikata? Ya, sebegitu itulah. Niat awal adalah membunuh nelangsa dengan
diam. Lalu akhirnya pergi ke tanah seberang, jauh dari polusi udara serta
polusi manusia praksis dan pragmatis Ibu Kota. Serta jauh juga darimu Mayku sayang.
Namun, Dan ternyata, hal demikian
terlalu indah untuk segera dihabiskan. Terlalu menyenangkan, meski kebahagiaan
didapat menyusul belakangan, wahai Zahraku! Sungguh, kesendirian sungguh indah
jika kita telah terlalu begah dengan kesemerawutan yang benar-benar
mengendalikan. Jangan sampai keruwetan itu mengendalikan! Jangan pernah!
Lalu
entah dari mana datangnya ketika keintiman dengan muram mencapai puncak
keromantisannya, tiba-tiba telepon genggam yang tidak pernah belajar itu bisa
kedatangan tamu tak diundang berupa dernyit pertanda pesan singkat yang
bisa-bisanya masuk ke dalam kotak simbol hegemoni silaturahmi itu secara gaib. Tanpa
nama, cuma nomer yang tak familiar +6283863008318, serta beberapa bait syair. Syair yang tak kan
pernah bisa dimengerti oleh seseorang yang tak kan pernah dikenal.
Jangan angggap diriku kalah, karena aku
mengalah..
Bukan berarti aku kalah..
Di balik kelembutanku tersimpan beribu duri..
Kapan saja bisa menyakiti..
Jika ada yang mengusik dini hari..
Karena akulah “SANG MAWAR BERDURI”..
Jika kau tak bisa menghargai..
Maka kau akan tahu, betapa jahatnya diriku ini..
Sang mawar takkan melukai..
Jika kau perlakukan dengan hati..
Tapi jika kau perlakukan dengan seenaknya hati..
Maka kau akan terluka oleh duri yang melindungi..
04-Januari-13 19:21
Lalu
apa? Entah! Kata-kata secure tersebut
tak mungkin firman Tuhan Yang Maha Tuhan. Tak mungkin pula sabda-sabda suci Sang
Manusia Sempurna, lantas apa? Bergelumut pertanyaan-pertanyaan sumbang menari dalam
kepala yang tak jelas apa isinya. Semua terhijab. Tertutup kabut yang begitu
lebat seperti jembut yang menutupi kantong amunisi penciptaan manusia. Harus dinilai
bagaimana? Seorang Putu Wijaya atau Seno Gumira Ajidarma pun tak pantas rasanya
membedah huruf-huruf mati itu menjadi sebuah kontes pembenaran dan teori
leksikal argumentatif. Apalagi jika harus menilai. Agaknya tulisan yang
dipandang jalang itu mempunyai hidupnya sendiri. Tanpa apa-apa.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar