The Truth Seeker Media

Senin, 23 Januari 2012

Rokok Dahulu dan Rokok Sekarang : Sebuah Identitas?



Jika menafsirkan secara bebas bunyi redaksi “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin” yang sebagian orang sudah hafal di luar kepala tersebut, bisa dibilang isinya ialah berupa imbauan agar kita menjauhi rokok atau (jangan-jangan) terselip sebuah ajakan secara diam-diam bagi orang yang curiga. Bagaimana tidak? Kata per kata terlihat sangat santun dan seakan merayu kita untuk mencobanya kemudian ingin membuktikannya, membuktikan kalau semua yang ditulis itu bohong, dan tidak akan terjadi apa-apa jika anda merokok. Kita pun pelan tapi pasti mulai mencoba untuk merokok. Bagi saya penggunaan serta penambahan kata “Jangan!” atau “Dilarang!” punya magnet serta maksud tersendiri dalam konteks sebuah larangan atau imbauan bagi yang membaca dan berakal sehat tentunya. Juga memberikan kesan bahwa rokok itu memang benar-benar berbahaya. Walaupun sebenarnya tidak akan berpengaruh banyak karena terlanjur akutnya sikap apatis masyarakat dan kita pun akan terus merokok sampai mampus. Mungkin saja, tapi yang jelas isi pesan yang ingin disampaikan dari kalimat tersebut sangat serius dan tidak ada maksud lelucon sedikit pun. Sebagai seseorang yang mempunyai akal sehat (lagi-lagi) hal seperti itu (merokok) bisa mereka tolak tapi bagi yang lain –di luar kategori ‘akal sehat’- secara pribadi saya meragukannya.
Saat ini saya akan bicara mengenai rokok, siapa yang tidak tahu dengan rokok? Dari orang dewasa, remaja hingga anak-anak kini sudah paham betul bagaimana cara menghisap rokok yang baik dan benar meski sebagian dari mereka bahkan tidak tahu menahu unsur-unsur yang terkandung di dalamnya apalagi sejarahnya. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) WHO pada 2006 mengungkap 37,3% anak-anak usia 13-15 tahun di Indonesia sudah membakar (menghisap) rokok. Dan dalam GYTS 2007, jumlah perokok anak usia 13-18 tahun di Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia. Bahkan tiga dari supuluh pelajar SMP di Indonesia (30,9%) mulai merokok sebelum umur 10 tahun. Jumlah ini  diperkirakan terus meningkat 4% tiap tahunnya. Malah, Komnas Perlindungan Anak (KNPA) mencatat, tren merokok kian bergeser ke usia yang jauh lebih muda : lima tahun! Padahal dalam pasal 44-47 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa anak-anak harus dibebaskan dari ancaman zat adiktif. Tapi apa boleh buat lingkungan -dalam hal ini orang dewasa sampai media (komersial)-  terus-menerus mempengaruhinya. Maka jangan heran kelak atau mugkin sekarang sudah muncul generasi rokok.
Sejatinya rokok merupakan produk dari hasil olahan tembakau dan bukanlah sesuatu yang baru di dunia. Warga asli benua Amerika sejak 1000 tahun sebelum masehi yakni Suku Maya, Aztec dan Indian telah lebih dulu menggunakan tembakau baik dikunyah maupun dihisap menggunakan pipa. Sebuah tradisi membakar tembakau dilaksanakan mereka untuk menunjukkan persahabatan dan persaudaraan saat beberapa suku yang berbeda berkumpul, serta sebagai pengobatan. Ingat, pengobatan! Barulah kemudian Colombus cs membawa tradisi membakar tembakau lewat pipa ini ke peradaban di Inggris dan pada akhirnya menyebar ke seluruh penjuru eropa. Namun sejarah lain mengatakan tradisi -rokok dan merokok- ini juga berasal dari Turki semenjak periode Dinasti Ottoman. Dinasti yang dulu sempat berjaya di muka bumi ini atau biasa dikenal juga dengan Khilafah Utsmaniyah. Di Indonesia sendiri rokok dimulai dari kretek yang telah melegenda. Rokok kretek ialah rokok yang menggunakan tembakau murni (bukan buatan) dan dipadukan dengan cengkeh. Cerutu merupakan salah satu contoh dari produk rokok kretek ini. Alkisah, kota Kudus adalah asal-muasal rokok kretek ini diciptakan, bermula dari Haji Djamhari pada akhir abad ke-19 yang bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau kemudian dilinting menjadi rokok untuk mengobati sakit pada bagian dadanya. Hasil eksperimen Haji Djamhari inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya produsen-produsen (perusahaan) rokok dewasa ini seperti PT. HM Sampoerna, PT. Djarum, PT. Gudang Garam dll, dst. Dan bisa dipastikan jumlah merek rokok kini mencapai ratusan item.
Perbedaan rokok-rokok yang beredar saat ini dengan rokok milik Pak Haji pun tentu saja ada, meskipun itu tidak berdasarkan fakta-fakta ilmiah atau sejarah hanya analisa seadanya tapi perlu juga untuk diketahui, misalnya ketika Haji Djamhari membuat rokok untuk mengobati sakit di dadanya tembakau yang digunakan pastilah tembakau yang segar yang berada di perkebunan karena realitanya ketika itu memang belum ada (penjual) rokok apalagi pabrik rokok jadi tembakau pun belum terlalu menjadi sebuah komoditi saat itu dan masih bisa dirasakan kualitasnya. Jika tembakau yang didapat Haji Djamhari tanpa melewati proses yang rumit untuk kemudian menjadikannya sebatang rokok, tembakau yang berada di produsen-produsen rokok kemungkinan mengalami beberapa proses yang secara tidak langsung mereduksi kualitas tembakau tersebut dari segi higienis dan medis. Belum lagi rokok-rokok dari produsen kapital tersebut sengaja diciptakan memang bukan untuk kepentingan medis. Anda pasti tahu kepentingan yang dimaksud.
Melihat dari benang merah penjelasan singkat mengenai rokok di atas, sesungguhnya rokok diciptakan niscaya sebagai alat bantu pengobatan seperti yang dilakukan suku-suku di benua Amerika dan awal mula di Indonesia. Tapi ironisnya hal yang demikian tentu tidak bisa kita temukan lagi di wujud rokok-rokok saat ini. Karena perlu diketahui asap yang terkandung dalam rokok kini terdiri dari unsur-unsur toksik berbagai logam-logam berat seperti arsenik, kadium dan timbal. Arsenik (Arsen, Arsenikum) adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol AS dan nomor atom 33. Senyawa ini biasa digunakan sebagai pestisida, herbisida, insektisida dalam berbagai aloi. Pelaku pembunuh mendiang aktivis Munir tentu sangat paham akan benda (unsur) yang satu ini. Lalu Kadium adalah senyawa logam beracun (karsinogen) yang dapat mempengaruhi ginjal dan perkembangan otak, biasa ditemui dalam batu baterai. Sedangkan Timbal adalah unsur kimia (Pb) yang biasa digunakan sebagai bahan pembuatan pipa air yang tahan korosi, bahan pembuat cat, batu baterai dan campuran bahan bakar bensin tetraetil. Keracunan akibat kontaminasi timbal bisa menumbulkan berbagai macam hal diantaranya ; menghambat aktivitas enzim dalam pembentukan hemoglobin, memperpendek umur sel darah merah serta berbagai masalah lainnya.
Selain itu rokok yang sedang terbakar menghasilkan lebih dari 4000 zat kimia dan sekitar 40 zat kimia yang ada di dalamnya menyebabkan kanker. Seperti formaldehida, karbon moniksida, ammonia, asitelena, metanol, sianida dan tentu nikotin. Lalu kemudian ada fakta menarik lainnya, kalau ternyata telah ditemukan dalam sebuah filter rokok senyawa hemoglobin (darah) babi. Hal demikian telah diungkapkan Profesor Simon Chapman yang berasal dari Universitas Sydney, Australia. Mungkin saja ini yang membuat MUI merumuskan fatwa mengenai rokok, tapi itu pun jika MUI tahu tentang masalah ini jika tidak entah atas dasar apa. Tapi kita berdoa saja semoga rokok-rokok yang dimaksud tidak terdapat di Indonesia.
Masih berdasarkan WHO (World Health Organization), tapi kali ini hasil penelitian dari Tobacco-Free Initiative dalam laporan yang dikeluarkan (26/11/10) menyatakan, lebih dari 600.000 orang perokok pasif di seluruh dunia setiap tahunnya meninggal dunia. Sedangkan jumlah korban kematian dari perokok aktif adalah 5,1 juta orang per tahun. Hasil penelitian yang dilakukan di 192 negara tak jauh berbeda dengan data penelitian tahun 2004. Menurut hasil penelitian pada tahun 2004 untuk tingkat dunia, korban yang menimpa para perokok atas yang tidak merokok 40% anak-anak, 33% laki-laki dewasa dan 35% wanita yang tidak merokok. Yang mengejutkan dari hasil data penelitian pertama ini kemudian ialah dampak asap rokok tersebut banyak yang menimpa anak-anak. Sebanyak 165.000 atau sekitar 40% anak-anak meninggal dunia karena infeksi pernapasan. Sedangkan 30% lainnya menimpa pria yang tidak merokok. Korban anak-anak yang meninggal paling banyak berada di kawasan Asia Tenggara dan Afrika. Umumnya para korban adalah rakyat kecil dengan penghasilan pas-pasan. Beragam penyakit yang diderita perokok pasif ini, yakni sebanyak 379.000 orang meninggal karena sakit jantung, 165.000 orang meninggal karena penyakit pernapasan, 36.900 orang meninggal karena asma dan 21.400 jiwa meninggal karena penyakit kanker paru.
Setelah tahu apa bahaya rokok bagi kita, pemerintah dalam hal ini akan lebih bijak jika sedikit membatasi ruang gerak produk ini dalam ranah publik. Contohnya di luar negeri olahraga (sepakbola khususnya) sama sekali tidak boleh disentuh oleh berbagai jenis produk rokok entah itu menjadi sponsor utama maupun hanya bersifat kerjasama. Alasannya jelas karena memang bertolak belakang sekali substasi olah raga dengan ensensi rokok, yakni masalah kesehatan. Tapi kemudian lucunya di negeri ini malah produsen rokoklah yang menjadi sponsor utama dari berbagai kegiatan (kompetisi) olahraga yang berskala nasional maupaun internasional. Analogi idiotnya begini, kita diajak menonton acara olahraga sambil menikmati setiap hisapan rokok yang tersulut. Luar biasa dungu bukan?
Pun dengan berbagai iklan komersial lain tentang rokok dibuat semenarik mungkin, dan pangsa pasarnya juga sangat jelas : anak muda serta orang dewasa (mayoritas lelaki). Jika ditanya kenapa mereka merokok  bisa dipastikan tak ada alasan yang memadai dan diam-diam tanpa sadar mereka pun terkena sindrom adiktif akut. Lalu entah atas dasar apa sebagian dari mereka secara paksa mengkorelasikan sebatang rokok dengan kehidupan kesenian seperti musik, sastra dan hal-hal yang tak ada hubungannya sama sekali. Juga tak ada hubungannya dengan kegiatan-kegiatan yang didanai dengan jenis merk rokok tertentu, sungguh.  Mungkin inilah tendensi baru bahwa rokok menjadi lifestyle, menjadi budaya baru dalam gaya hidup dan sungguh tidak ada  kaitannya sama sekali dengan  Jimi Hendrix, Kurt Cobain, Chairil Anwar atau W.S Rendra yang kali ini saya sama sekali tidak setuju dengan kesaksiannya mengenai rokok kretek.
Memang benar adanya ketika kita menghisap asap rokok satu shoot atau beberapa shoot kita akan merasakan sensasi yang luar biasa belum lagi relaksasi yang kemudian timbul secara perlahan-lahan. Tapi perlu diingat itu hanya masalah sugesti yang telah melekat dalam kepala kita, karena sesungguhnya yang membuat demikian adalah tarikan napas kita (dalam-dalam). Menarik napas panjang dan dalam memang merupakan aksi yang bisa merelaksasi momentum tubuh kita. Tapi jika disertai dengan merokok akan lain ceritanya. Agaknya kita harus merubah pola pikir kita mengenai rokok, dan yakinlah ketika dalam sejenak saja atau seharian anda tidak bisa lepas dari rokok maka anda telah positif adiktif.
Kemudian contoh lain lagi datang dari tetangga kita Thailand, Malaysia dan Singapura, di sana iklan rokok sama sekali tidak diperbolehkan muncul ke hadapan publik alasannya sama, rokok tidak ada manfaatnya sama sekali dan memang destruktif. Indonesia sendiri kini sedang menuju ke arah demikian, tapi kembali lagi akan terbentur dengan masalah ekonomi, masalah lapangan kerja serta masalah tai kucing lainnya. Lalu dilema tersendiri hadir dikala pemerintah dihadapkan dengan realita bahwa pendapatan negara melalui cukai rokok tahun 2010 mencapai Rp. 60 triliun. Siapa pula yang tidak mau mendapat duit sebayak itu?
Lagi-lagi sebagai acuan ada baiknya jika kita menoleh ke negeri orang sejenak, Tiongkok. Negeri Tirai Bambu ini menerima pajak mencapai US$ 77,3 miliar pada tahun 2009. Ini berarti industri rokok menyumbang 7,5% dari seluruh pendapatan negara. Namun, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada 2011 ini, kontribusi negatif dari industri rokok mencapai 20%. Artinya, meski industri rokok menjadi sumber pendapatan negara, dana yang dikeluarkan untuk membiayai kesehatan akibat rokok justru jauh lebih besar dibandingkan jumlah dana yang diterima 7,5% itu. Fakta-fakta itulah yang kemudian mendorong Tiongkok menjadi Negara yang akhir-akhir ini begitu getol mengkampanyekan bahaya rokok. Negeri itu kini terus berupaya menyelamatkan rakyatnya dari bahaya rokok. Bagaimana dengan Indonesia?
Ada sebuah satir menarik tentang rokok bahwasanya seorang pengusaha rokok malah tidak menghisap rokok sama sekali. Ketika ditanya mengenai itu dengan entengnya sang pengusaha rokok menjawab “Lho? Untuk apa saya meracuni diri saya sendiri?”.
Demikian, seperti dua sisi mata uang rokok terus menggerus keluguan kita sampai secara perlahan membunuh kita diam-diam bahkan memusnahkan secara masal generasi-generasi yang akan datang tapi secara bersamaan memperpanjang napas kita untuk hidup dari setiap keping keuntungan serta pajak yang kita dapatkan, seakan-akan tidak ada yang salah dengan itu, tidak ada cara lain dan suka tidak suka kita harus merelakan hidup berdampingan dengan rokok. Rokok telah menjadi penghuni baru kehidupan di muka bumi ini, populasinya diduga akan terus meningkat dan berkembang biak sedangkan kita semakin berkurang dan punah kemudian. Umat manusia kini telah diinvasi oleh ciptaan-ciptaan tangan mereka sendiri. Terima saja! Ini kenyataaan.
Satu hal lagi! Sebenarnya ini tidak ada kaitannya dengan kapitalisme, saya berani bersumpah. Walaupun dengan gelagatnya saja secara terang-terangan kita sudah mengetahui apa dan bagimana. Tapi ini diantara kita saja, karena ternyata orang yang sangat antikapitalis pun justru merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari opini ini (rokok) maka dari itu saya menghindari istilah kapitalisme atau untuk sesaat kita kubur istilah tabu ini dalam-dalam agar mereka-mereka tidak tersinggung kemudian mencak-mencak tak karuan. Yang saya tahu pasti ini hanya masalah sederhana yakni sebuah identitas.




Catatan : Mudah-mudahan saya bisa berhenti merokok secara permanen.





*Dari Berbagai Sumber

Share

2 komentar: