Sudah dua hari ini saya melihat Majelis Ta’lim menguasai jalanan. Ialah di sepanjang ruas jalan kali malang, dengan sedemikian rupa dan sedemikian cara jalan yang menghubungkan Jakarta-Bekasi itu disabotase seenaknya-enaknya. Lampu merah yang berjejer sudah mulai kehilangan fungsi begitu juga dengan polisi. Tampak di setiap sudut penglihatan orang-orang dengan menggunakan sarung, peci, baju koko, wanitanya berjilbab dan tak ketinggalan jaket hitam bertuliskan nama Ormas. Lalu terlintas dalam pikiran saya kala itu dan patut untuk dicurigai bahwa ternyata eksistensi masih menjadi primadona bagi kesenangan hati kita sendiri hari ini. Ingat! Eksistensi. Apa pasal? Lihat saja pemuda-pemuda tanggung berbendera di atap angkutan umum dan bak terbuka mungkin sedikit akan menjelaskannya, juga dengan umbul-umbul dan spanduk-spanduk besar terkait. Seperti dijelaskan dalam tulisan saya sebelumnya, mereka sedang berdakwah. Jadi jangan pernah diganggu, jangan pernah digugat jika tak mau kualat.
Waktu sekarang telah menunjukkan lewat tengah malam, mendekati pagi. Udara-udara sungguh luar biasa mengudara. Suasananya sejuk menentramkan. Pink Floyd dengan album The Wall, Mogwai serta Luduvico Einaudi dari OST This is England masih rapat di play list media player. Sengaja saya pilih lagu-lagu yang agak instrumental karena mungkin terpengaruh dengan suasana. Sedangkan di televisi ada derby della madonnina, teman-teman saya milanisti dan internisti sejenak mengibarkan bendera peperangan tanda persaingan. Sempat saya intip jalannya pertandingan namun rasa kecewa saya atas kekalahan Arsenal pada pertandingan sebelumnya membuat saya tidak melanjutkan apa yang barusan saya mulai. Selain karena memang merupakan salah satu pertandingan yang tidak penting (Harap dicatat). Akan lebih asyik jika diantara klub-klub besar eropa tersebut melakukan eksebisi di Senayan. Bukan apa-apa permasalahannya saya merindukan aksi-aksi Syahrini di “lapangan hijau” ketimbang di atas panggung.
Seteguk demi seteguk minuman berkarbonasi lokal bermerk Bintang terampas begitu saja dari botolnya. Botol terakhir, sisa dari kegalauan saya terhadap sesuatu. Sesuatu yang membuat saya meradang dan terkadang membentur-benturkan kepala saya ke dinding. Tak jarang pula saya loncat bebas dari atas gedung berlantai tiga puluh, atau jika hanya menabrakan diri ke KRL Tawang Jaya sudah berkali-kali saya lakukan meski masih dalam batas imajiner. Sampai sekarang pun masih. Suasana subuh itu pun mulai menghangat. Teringat saya ketika ikut-ikutan siaran di BerisikRadio Indie, radio streaming. Suasananya juga hangat, meski secara musikalitas saya tidak tahu apa-apa tentang musik indie selain Rumah Sakit, Efek Rumah Kaca, Pure Saturday, Seringai, The Safari atau band-band indie top lainnya, tapi saya begitu menikmatinya. Benar-benar sesuatu.
Di jejaring sosial twitter tempat puncak autistik lain saya, saya kerap mendeklarasikan seberapa autentiknya saya. Meski sesungguhnya orang yang autentik ialah orang yang tidak terpengaruh akan arus, dan tentu pula tidak punya akun twitter. Tapi peduli setan! Eksistensi itu penting melebihi penting itu sendiri. Serupa dengan fakta Ormas di atas. Jika tak percaya lihat Pak Komaruddin Hidayat (teman HMI saya memanggilnya dengan sebutan “Abang”) itu ngetwit saban hari. Isinya masih berkorelasi dengan latar belakangnya sebagai cendikiawan yang cukup (Jika tidak bisa dikatakan sangat) populer kini. Kadang ceramah keagamaan, kadang politik, sosial serta berbagai masalah lainnya dengan tingkat keintelektualan berstandar tinggi. Jangan harap engkau mendapat tanggapan darinya karena dia orang sibuk sampai-sampai tak bisa meladeni setiap orang yang bersinggungan dengannya di mikro blog macam itu.
Kemudian berbicara tentang hangat, ternyata ada yang lebih hangat ketimbang Bintang atau suasana siaran yang saya curhatkan dua alinea sebelum ini, dan itu merupakan pergolakan Politik Kampus di kampus saya, ciputat. Beberapa hari saya tidak ke kampus dan tersiar kabar bahwa telah terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan pihak keamanan kampus. Mahasiswa masih dengan tekadnya yakni menolak SK Rektor mengenai Senat. Pihak keamanan kampus juga masih dengan loyalitasnya terhadap kampus. Sebenarnya semua-muanya berasal dari Pemira yang terakhir kali tergarap, jelas-jelas cacat dan memalukan pada era Student Government (SG) dimana BEM-U nihil dari tampuk kepimpinan karena ulah partai kampus. Al hasil, Propesa (Ospek) dialih-tugaskan ke UKM dan yang terakhir ke fakultas masing-masing. Lucunya, mahasiswa masih ingin mempertahankan sistem SG itu yang katanya telah memenuhi syarat demokratif. Talk to my ass! Mungkin saja mereka mahasiwa baru yang masih didoktrin oleh seniornya, jadi maklum jika mereka beraksi tanpa landasan yang kuat serta hanya berdasar ‘katanya’. Atau jangan-jangan secara frontal saya tuduh mereka itu aktivis politik? Onde mande!
Sebenarnya apa itu senat? Senat jelas-jelas berbeda dengan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), jika BEM bersifat eksekutif dan semua tergantung oleh sang presiden atau terpusat oleh satu orang dengan kekuasaan tertinggi, tidak demikian dengan senat yang keputusannya diambil secara mufakat. Melihat fakta ini, orang-orang (Baca : Mahasiswa) partai tentu menolak dengan beringas. Kerena memang tujuan mereka ialah kekuasaan yang tertinggi. Eksistensi. Itulah sejatinya tujuan dari partai, apalagi partai kampus. Belum lagi jika mendengar kata-kata demokrasi atau diiming-imingi miniatur (Pemerintahan) Indonesia. Hahaha…!! Jadi cuma ditimpuk pakai pot, dilempar kursi, ditendang, dipukuli, atau apa pun itu sudah pasti tak ada harganya demi segenggam jabatan di alam Student Government. Satu hal lagi, asal engkau tahu, Student Government maupun Senat sama saja, selama masih tetap diiringi ketidakdewasaan mahasiswanya. Senat hanya akan menjadi problematika segar di kampus. Pernah saya tanyakan permasalahan ini kepada Rektor di akun twitter-nya tapi sekali lagi, tidak ada tanggapan. Selain eksistensi dirinya dan eksistensi mahasiswa.
*Sebelumnya mohon maaf jika tulisan ini tidak mewakili suara anda teman2 ku mahasiswa, karena memang aku tidak berharap mewakili siapa pun. Namun perlu diingat tulisan ini juga tidak sedikit pun merestui kebijakan rektor. Satu yang ku tahu pasti, aku cuma ingin eksis.
NGOK.
Hahahahha!
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar