The Truth Seeker Media

Rabu, 18 Januari 2012

The Story of Alexander Graham Bell and BlackBerry


The Story of Alexander Graham Bell and BlackBerry

Cerita Tentang Alexander Graham Bell dan Buah Berry yang Berwarna Hitam
















I

Dulu, ketika belum ada jejaring wireless atau koneksi-koneksi setingkat perangkat digital apalagi sistem yang terotomasi seperti sekarang. Alexander Graham Bell setengah mati bergelut dengan gelombang-gelombang elektromagnetik, seperangkat kabel dan rumus-rumus yang tentu lebih rumit, lebih ilmiah ketimbang gelagat Ki Joko Bodo, Ki Kusumo, Ki Ageng, serta Ki-Ki lainnya. Sekelumit pergelutan tersebut tidak sampai membuat ia galau lalu ngupdate status atau ngetwit 140 karakter. Penjelasan hukum newton, momentum, atau apa itu resonansi, apa itu longitudinal, apa itu herzt tidak juga membuat ia browsing di Google atau Wikipedia karena memang otaknya masih lebih steril dan lebih higienis dari makanan cepat saji, minuman bersoda, bahkan susu formula sekalipun. Bersamaan dengan pengaktualisasian Bell, publik baru saja menemukan lapangan kerja baru bagi mereka yakni bertani. Sebelum akhirnya pada awal abad ke-19 telah megalami banyak perkembangan dan buruh adalah karir yang paling difavoritkan pada masa itu.
Saat itu petani hanya memanen tanaman yang menjadi makanan pokok kebanyakan orang macam beras, gandum serta umbi-umbian lain. Buah-buahan seperti jeruk, pear, rambutan, kecapi, pisang, kurma, salak pondoh, duren, sawo dibiarkan begitu saja. Bahkan apel pun yang di masa depan begitu mendominasi dunia perbuahan hingga mempunyai simbolnya sendiri (Apple tergigit), tak ada artinya kala itu. Sedangkan di Lampung masyarakat sekitar bukannya sibuk dengan kelapa sawit, malah sibuk melatih kawanan gajah liar untuk duduk. Jadi jangan heran jika pergi ke Lampung banyak orang yang mengenakan sarung, semata-mata itu merupakan tanda seorang penjinak gajah. Dan Sumbawa, di Sumbawa koloni sapi dan sebangsanya sedang mengalami masa reses, masa-masa kemunduran implikasinya berpengaruh pada keberadaan susu segar. Anak-anak mereka mengalami kekurangan gizi, air ASI dari payudara-payudara wanita pribumi pun tak mempunyai arti yang signifikan karena sudah habis oleh para lelakinya, dan seorang penduduk lokal berinisiatif mendayagunakan kuda liar yang saat itu surplus. Maka terciptalah susu kuda liar asal Sumbawa. Haha



II

Sudah hampir sepanjang jalan kenangan, atau telah lebih dari sepasang mata bola bagaimana eksperimen yang dilakukan Alexander Graham Bell. Para petani juga sedang giat-giatnya menanam dan memanen. Hasil yang didapat diluar perkiraan! Petani-petani angkatan pertama ini mendadak kaya raya, bisa saja mereka membeli Toyota Alphard beberapa unit mengingat ukuruannya yang cukup untuk membawa hasil panen tapi itu urung terjadi karena alasan kemacetan. Kehidupan buruh pun 11-12 dengan para petani, buruh angkatan pertama ini diperlakukan lebih manusiawi dibanding buruh-buruh penerusnya di masa depan. Jam kerja yang tidak ditentukan, tanpa tekanan, tanpa terikat oleh sesuatu apa pun dan upah yang lebih dari cukup menjadikan seorang buruh lebih merdeka dari bangsanya sendiri. Melihat hal tersebut Leonidas naik pitam, para prajuritnya yang berjumlah 300 itu berubah haluan menjadi petani dan sebagian yang lain menjadi seorang buruh. Tak ada lagi jiwa spartan dalam diri mereka. This is not Spartan! Xerxes yang saat itu menguasai Persia juga kalang kabut tak karuan seluruh anak buahnya yang berjuta-juta banyaknya menjadi petani dan juga buruh. Hitler dan Stalin pun pada akhirnya masuk juga ke dalam dunia ini. Tentu saja Munir dkk kelak mempunyai pekerjaan rumah yang cukup berat, disamping harus mengusut kasusnya sendiri.
Di tempat lain, Inggris yang baru saja mengalami revolusi dan merupakan era baru bagi perindustrian diam-diam ternyata telah membina anak-anak kecilnya untuk bermain bola, disusul kemudian dengan Perancis dan beberapa Negara barat lainnya seperti Jerman, Italia serta Spanyol. Jepang, Korea selatan, Iran dan Irak juga tak mau ketinggalan padahal perang masih berkecamuk dianatara mereka. Hal demikian memang sengaja disembunyikan dari media karena takut Brazil yang saat itu memegang predikat juara dunia terbanyak melakukan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu. Padahal semua orang sudah tahu, tanpa ada pembinaan usia dini pun Brazil tak pernah habis memproduksi pemain bola kelas wahid. Mungkin saja kini Soekarno sedikit mengalami penyesalan, karena setelah berevolusi dia tidak sama sekali memikirkan sepakbola selain infrastruktur seperti senayan dan monas; ekonomi; politik dan poligami. Agaknya itulah mengapa orang-orang seperti Gary Speed, Robert Enke, Justin Fashanu, Sergio Lopez Segu, serta Paul Vaessen mudah sekali mengakhiri hidupnya. Semoga tidak dengan Patrich Wanggai, Chris John, Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti. Lho? Hihi



III

Sementara itu, di Mengkasar Zainuddin masih saja memikirkan Hayati gadis pujaan hatinya asal Minang. Mereka sering berbalas surat tanpa ada pantun di dalamnya, dan surat ketika itu memang menjadi alat komunikasi primadona sebelum ada Sony Ericsson, Nexian de el el, de es te. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau sebut saja HAMKA tahu betul tentang itu, dan kapal Van Der Wicjk menjadi saksinya. (Hmm… jadi inget kapal Titanicnya Leonardo DiCaprio. Hehe.) Ngomong-ngomong, di sudut kota Turin banyak sekali muda-mudi yang nongkrong. Vespa Piaggio dan Lambretta menjadi tunggangan mereka kemana pun kapan pun. Tapi tetap saja belum ada alat komunikasi yang canggih selain merpati pos. Burung merpati yang katanya simbol kesetiaan ternyata merupakan pelaku sejarah komunikasi dunia. Dari Turin, Stalingrad, Kairo hingga semenanjung Beirut sudah pernah menerima service burung ini. Pantesan, banyak bocah yang sering mainin burung ini di pinggir-pinggir jalan. Ada rumor mengatakan kekalahan pasukan nazi jerman di Stalingrad disebabkan oleh pembantaian burung merpati dengan cara menggigit lehernya sampai putus. Tradisi itu hingga kini masih dilakukan di atas panggung-panggung death metal. Wallahu a’lam bish shawab.



IV

Lain lagi cerita di Uganda dan Somalia. Ke dua Negara ini merupakan yang terkaya di dunia melebihi Negara mana pun. Kehidupan masyarakatnya begitu layak. Penghasilan mereka bahkan di atas rata-rata UMR benua eropa. Berbagai jenis emas, berlian hampir ada di setiap jengkal tanah mereka. Minyak bumi, batu bara tak ada habis-habisnya. Raja di kedua Negara tersebut sangat baik hati. Tidak menarik pajak, tidak ada peraturan bahkan setiap penduduk tidak canggung jika harus main poker baik on-line maupun face to face dengan sang raja. Begitulah, kehidupan yang menyenangkan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Mereka semua orang kaya. Tidak ada pengemis, tidak ada gelandangan, semua hidup sejahtera. Namun satu-satunya masalah yang dihadapi oleh negeri makmur ini ialah pendidikan. Orang-orang di Uganda dan Somalia tidak bisa baca tulis. Jangankan teknologi, hitung-menghitung saja tidak ada satupun yang bisa.
Kemudian dengan tiba-tiba The Changcuters menjadi sebuah fenomena dan mendunia. Kekreativitasan dan originalitas mereka tidak ada matinya. Wajar jika kelak ia menjadi legenda. Pemuda-pemudi secara spontan dan otomatis menggilai mereka, gayanya pun menjadi hits saat itu. Remaja dari New York, London, Dubai, Tokyo hingga ke Ciamis berdandan ala mereka. Musik mereka tak kalah meledak-ledaknya. Grup-grup amatir seperti Rolling Stones, The Who, The Beatles dan beberapa grup mods pinggiran inggris diam-diam menjadi copy cat The Changcuters. Luar biasa! Bagaimana dengan di Aceh? Nampaknya fenomena The Changcuters tidak sampai ke sana. Remaja Aceh lebih mengidolai Rancid, Sex Pistols, Ramones, serta The Casualities yang di masa depan akan menggelar konser di Jakarta. Mungkin saja mereka punya misi merubah image Aceh yang dikenal dengan ladang ganja. Atau barangkali mereka tahu mana yang orisinil. Hihi



V

Kembali ke Alexander Graham Bell, singkat kata, penemuannya membuat dunia gempar! Setiap orang mulai membicarakan dirinya dan penemuan yang ia dapatkan. Era baru teknologi komunikasi & informasi baru saja lahir pada saat ini. Selamat tinggal untuk para merpati, selamat tinggal juga untuk surat Zainuddin. Andai dulu ada media dan infotaiment bisa jadi Alexander Graham Bell menjadi hot topics dan lebih popular dari Obama, Su-Ju, Paus, Habib Rizieq, Mark Zuckerberg, Briptu Norman , Melinda Dee dan Sutanto. Seperti air yang mengalir ke muaranya, Bell pun lambat laun menjadi millionaire. Tapi uang yang ia dapatkan hanya berujung pada sebuah sepeda ontel dan penelitian-penelitian selanjutnya. Konon katanya Bell berhasrat sekali ingin menciptakan selongsong bel di atas sepedanya. 
Kemudian seorang petani jagung yang melihat kesuksesan Bell diam-diam ikut bereksperimen. Ia mulai menanam tanaman yang jarang di panen, yakni buah berry. Buah yang tidak menjadi favorit itu tetap ia panen setiap musimnya, padahal tidak banyak pembeli. Tapi atas nama eksperimen ia kuatkan pendirian meskipun banyak buah berry yang mulai membusuk dan berubah warna menjadi hitam. Konon katanya, jika memakan buah itu segigit saja seluruh tubuh akan mengalami kejang-kejang, air liur tak henti-hentinya keluar dari mulut, otak keram, jari-jemari keriting, congek keluar dari kedua telinga, upil mengeras, mata merah karena jarang tidur, sembelit dalam waktu yang lama tapi juga seringkali diare tak ada henti-hentinya, mencret-mencret pula! Pori-pori membesar dan bau tidak sedap keluar dari ujung rambut sampai ujung kaki yang biasa dikenal dengan sikil. Namun ia tetap ngotot dan terus memanen buah itu sambil menjual buah-buahnya yang mulai menghitam membusuk. Anehnya, justru buah berry yang berwarna hitam itulah yang laku dipasaran. Sampai akhirnya ia memiliki perusahaan buah berry sendiri, RIM namanya, letaknya di utara benua amerika dan sebut saja petani tersebut Mike Lazaridis.


Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar