clker |
Malam bulan bulat
sempurna. Nyanyian burung camar berjejal di udara. Hembusan angin menghujam tanpa pilah. Sebuah bintang kejora seakan
berputar sirkular di muka laut berkabut. Akan halnya bulan dan matahari, ia seperti
membuntuti tanpa henti. Cahayanya merah keemasan berkilat-kilat. Membuat
siapapun yang menatapnya terhipnotis seketika itu juga.
Ada cerita usang yang
mengatakan bahwa kemunculan bintang kejora akan membawa keberuntungan kepada
siapapun yang melihatnya.
Namun sampai saat ini
aku tak pernah percaya dengan mitos macam itu atau mitos bintang berekor api
yang dikarang oleh para lelulur. Bagiku bintang itu sama saja dengan miliyaran
bintang lain yang berserak di langit. Tak ada yang istimewa. Meski cahayanya
kini mengepungku.
Tak pula ada
perbintangan yang membawa sial.
Cahaya sang kejora masih
menyembul di antara fajar yang mulai membiru. Warna yang sedari tadi seakan tak
pernah muncul disini. Di Dermaga kecil ini. Karena gelap satu-satunya cahaya
yang tersisa.
Biru.
Warna itu pula yang kini
ku lihat terbentang sejauh mata memandang dari kapal feri butut ini. Moda
transportasi kelas ketengan yang kian lama kian berkarat. Dulu, aku takut
sekali dengan laut. Sebabnya sederhana, karena sebuah berita.
Benar, sebuah berita.
Berita karamnya kapal berpenumpang
di Laut Banda, dan para penumpang yang hilang ditemukan dalam perut ikan hiu,
Siapa pula yang tak bergidik mendengar berita macam itu? Menjadi santapan hiu!
Tapi kini, dengan dalih
ekonomi, kapal feri jadi satu-satunya alat transportasi yang paling bisa mengerti.
Tentu mengerti kedalaman kantungku. Perduli setan dengan rasa takut! Apalagi
upah tiga bulan ini belum kuterima. Memang, kadang menyoal uang dalam kamusku
itu urusan belakangan. Mimpiku kini telah nyata. Aku bisa menumpas orang-orang
jahat seperti cita-citaku di kala kecil dulu, layaknya seorang kesatria. Mau
apa lagi? Itu yang terpenting.
Tapi faktanya sekarang,
kondisiku memang mengenaskan. Miskin dan butuh uang.. Tak bisa disangkal.
Seperti juga buruh-buruh upahan yang acap berdatangan ke Ibukota. Malah, demi lembaran
benda mati itu banyak orang yang rela melakukan apa pun. Apa pun.
Pernah terbersit sejenak untuk aku melakukan hal-hal yang demikian -kau
tahu- seperti orang kebanyakan, merampas semua yang ada di depan congor tanpa
pikir panjang, meski tak jelas asal-usulnya. Apakah dari langit atau keping
recehan dari neraka, sungguh tipis bedanya. Tapi ku tahu itu tak akan pernah
memberikan kebahagian bahkan sampai mati kelak.
Aku mesti bertahan. Aku dilahirkan bukan untuk berperan sebagai pengumpat.
Dari atas selat sunda
ini, bias cahaya merah sang kejora yang berbalut gelombak masih menjadi
penampakan tak wajar. Orang-orang di atas kapal tak menggubris, tak minat. Padahal
langit serta anasir laut lain saru dengan kekelaman malam. Malam yang kedua. Hanya
kejora itu saja yang tampak menyolok mata. Apakah orang-orang tak lagi peduli
dengan selain dirinya sendiri? Mungkin jika matahari terbelah pun, mereka tetap
antipati.
Baru sepertiga jalan.
Mercusuar yang sejak awal jelalatan di tepi dermaga itu telah lenyap di balik
laut yang telentang. Begitu pula dengan daratan. Hanya deru kapal ini saja yang
memecah hening malam. Keheningan yang lambat laun justru makin menyeramkan.
Tapi sesekali pesawat
udara di ketinggian melintas tepat mengatapi kapal. Kelap-kelip merah tanda
cahaya berbaur dengan ratusan bintang yang bertabur di angkasa. Membelah langit
malam.
Mungkin seseorang di
dalamnya punya tujuan yang sama denganku, hanya nasib yang membuatnya demikian berbeda.
Aku di bawah, ia di atas. Persis seperti kasta masing-masing kita, ku pikir.
Kenapa dunia ini begitu
sinis? Membelah kehidupan ke berbagai kasta. Kasta orang susah dan kasta orang
mudah. Walaupun kau dan aku tahu klasifikasi yang paling sejati adalah antara
yang hidup dan yang mati, demikian sederhana.
Geladak kini
dikerubungi dengan sekelompok muda, mereka para mapala. Sayup-sayup kudengar
mereka akan ke Gunung Kerinci. Salah satu gunung tertinggi di negeri ini. Di
puncaknya, langit hanya sejengkal jaraknya. Awan-awan berarak tepat di depan
hidung kita. Bunga-bunga edelweis kerap tumbuh seakan tak pernah layu. Belum
lagi ada mahluk dengan telapak kaki terbaliknya yang termasyhur. Misterinya
membuat sensasi lain dalam menapaki gunung di tengah Sumatra itu.
Setelah menyantap mie
seduh hangat yang kubeli dari kantin kapal, perutku sudah mulai bersahabat,
keonaran yang sedari tadi siang mengancam kenyamanan tampak telah berdamai. Meski
tak terlalu kenyang, setidaknya perutku kini terisi.
Bertahun-tahun sudah
aku tak pulang ke rumah. Terjebak dalam carut-marut kehidupan metropolis. Bahkan
terjebak dalam segala asa dan cita. Andai saja aku tahu akan seperti ini, tentu
aku tak mau ke Ibukota. Dimana gemerlap kepalsuan menjadi satu-satunya impian
para manusianya.
***
“Tolong, t-t-tolong
lepaskan aku! Aku tak bersalah! Hah..hah..hah..” suara sang laki-laki terdengar
parau. Nafasnya tersenggal seakan udara kian tipis dalam kantung hitam yang membungkus
kepalanya. Sesekali isaknya terdengar dengan keadaannya yang bertelungkup duduk
di atas lutut. “Tolooong..” ratapnya lagi.
--DOR!--
Tiga
butir peluru akhirnya menembus dadanya. Tak terdengar lagi suara-suaranya yang
menjengkelkan. Eksekusi berhasil.
Aku hanya terpekur
sejenak, seperti biasa, layaknya ritual setelah melakukan tugas mulia sebagai
algojo. Bukan kali ini saja para terpidana mati mengerang-ngerang minta
keadilan. Beberapa diantaranya bahkan mesti dikendalikan oleh enam orang
petugas. Namun ada juga yang terdiam pasrah, seakan menerima sebagai bentuk
rasa penyesalan atas apa yang telah dilakukan.
Pernah suatu kali aku
mendapati terpidana mati kasus pembunuhan berantai. Sesosok laki-laki gagah, sinar
matanya teduh, wajahnya pun menenangkan, tak sedikitpun ada aura pembunuh dalam
dirinya. Bahkan ia sempat tersenyum kepadaku suatu ketika. Andai ia tahu bahwa
ia akan mati ditanganku apakah ia akan tersenyum seperti itu?
Seringkali aku merasa
amat bersalah.
Keraguan kerap bercokol
di benakku. Benarkah aku telah menumpas orang-orang jahat seperti cita-citaku
di kala kecil dulu layaknya seorang kesatria? Seorang algojo pantaskah disebut
sebagai kesatria?
Alamak, seharusnya tak
usah ku terima pekerjaan ini. Tapi memang tak bisa ku sangkal, bujukan Munawir
membuat diriku terhipnotis. Dalihnya dulu kepadaku agar kejahatan berkurang
benar-benar berhasil. Namun sayang hidupnya harus berakhir di tanganku sendiri
setahun yang lalu.
Ya, Munawir dihukum mati.
Padahal ia seorang hakim.
Sebelum peluruku
menembus jantungnya, ia sempat berkata,”Kawanku Pen, pernahkah kau memandangi
langit akhir-akhir ini? Semakin hari bintang bertambah banyak bukan? Andai nanti
jiwaku menjelma satu di antaranya.”
Meski kepalanya
terbungkus kantung hitam, aku masih ingat betul setiap kata-kata orang yang
menjerumuskanku ke pekerjaan tak elok ini.
O Tuhan, harus bicara
apa aku pada istri dan keluarganya? Mereka sudah ku anggap sebagai keluargaku
sendiri. Sedang aku membunuh tulang punggung mereka. Takdir apa lagi yang
hendak kau berikan padaku?
Ah, takdir.
Mungkin itu pula yang
merubahku dari seorang anak nelayan menjadi sang penumpas kejahatan. Seorang
algojo. Seseorang yang tugasnya melulu menumpas penjahat yang kejahatannya luar
biasa jahat.
Tak pernah terbersit
sedikit pun olehku ada profesi macam begitu. Yang ku tahu hanya soal ombak dan
arah angin. Itu pun setelah seumur hidup memperhatikan bagaimana Atuk dulu
bekerja mencari ikan.
Padahal Atuk tak pernah
mencicipi pendidikan, namun ia satu-satunya orang yang paling mahir dan
dituakan dalam kampungku, kampung nelayan. Orang kampung menjulukinya “Kara”
yang berarti “Karang”. Ya, Atuk memang terkenal tangguh di laut lepas, segala
ombak seakan-akan jinak di hadapannya.
“Kau mesti sabar, tak
usahlah kau lawan ombak dan angin itu, biarkan mereka melebur dan menyatu
dengan dirimu”, ucapnya suatu ketika saat ku tanyakan apa rahasia menjadi
pelaut ulung.
Aku nurut, mengangguk
tanda setuju, meski dalam hati banyak sekali pertanyaan --menjurus protes-- mengenai
kata-kata Atuk itu. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan dalam gulungan ombak
dan terjangan angin jika satu-satunya pertahanan yang paling baik tak boleh
dilakukan? Ya, bukankah pertahanan yang baik adalah melawan? Bagaimana pula
kita bisa bertahan jika tak juga melawan?
Ada sebuah penyesalan
ketika aku tak juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Atuk. Karena
tiap kali melaut dan membiarkan ombak serta angin membawaku ke dalam arusnya,
aku terjungkal, terus berulang-ulang.
Dan pada akhirnya aku
tetap diam terbungkam tanpa satu pun mendapati jawaban, karena nyatanya hanya
pengalaman sajalah yang berbaik hati memberitahukan segala rahasia.
--DOR!—
Satu orang lagi telah
tereksekusi. Matanya masih nyalang tak terpejam sempurna.
***
Waktu pun nyaris pagi.
Garis arsir kuning mengkilat terombang-ambing di muka air merupa bentara fajar.
Deru kapal usang ini belum juga menampakkan tanda lelahnya, berbanding terbalik
dengan para anak buah kapal yang lusuh dan berpeluh. Bahkan sebagian yang lain
seperti ikut kontes mendengkur, dimana suara-suara dengkuran saling sahut satu
sama lain. Pertanda kerja keras mereka selama dalam bahtera ini tak menguap percuma.
Tampak di kejauhan di
sudut lain pesisir pantai, muka dermaga yang sedari tadi berupa bintik-bintik
kecil kini telah semakin jelas bentuknya. Sesak oleh kapal-kapal yang tenang di
tepian dan para pelancong yang baru saja
datang berjubel berebut mencari jalan keluar. Suara tangisan bayi berpadu
dengan suara-suara teriakan penumpang kapal yang tak sabar, serta suara-suara panggilan
sanak-saudara yang sudah menunggu lama kedatangan salah satu kenalan mereka.
Tak ada yang
menjemputku. Karena tak seorang pun yang kuberi tahu kabar kedatanganku kali
ini. Meski demikian entah kenapa mataku tetap saja awas mencari-cari seseorang
yang tak mungkin juga datang.
Entahlah. Mungkin aku
terlalu berharap pada intuisi. Intuisi yang sedang kurasa kuharap juga
dirasakan oleh istri dan kedua anakku. Dan aku percaya intuisi akan
mempertemukan kita dengan cara yang ajaib seperti biasanya.
“Bang Pen! Bang Pen!”
terdengar suara samar di antara suara-suara yang terlalu banyak dari atas
dermaga ini. Pusat suara pun belum bisa kupetakan. “Bang Pen! Bang Pen!” ada
lagi. Tak diragukan seseorang memanggil namaku.
Aku beringsut ke pusat
suara dan terbelalak melihat pelaku yang memanggilku berulang-ulang ternyata
Sandewi! “Bang Pen, apa kau melihat suamiku Munawir?” mulainya. “Jika ia tak
juga pulang hanya kaulah orang yang tahu keberadaannya, katanya suatu hari
kepadaku,” raut mukanya perlahan sendu “Benarkah itu Bang? Kau tahu?”
Seketika semuanya menjadi
hening, menggerak lambat. Diriku masih mematung tanpa melakukan apa-apa.
Bintang kejora yang sejak awal seperti membuntutiku, kini semakin jelas
kehadirannya bersamaan dengan bintang-bintang lain yang serupa. Semilir angin
menyentuh tengkukku dengan hati-hati sekali. Semilir angin yang sama dengan
semilir angin di atas kapal barusan.
Jakarta, Mei 2014